Sabtu, 03 November 2012

Menang di MK, Kalah di DKP Pemilu


Menang di MK, Kalah di DKP Pemilu
Moh Mahfud MD,  Guru Besar Konstitusi
SINDO, 03 November 2012


Rabu (31/10) malam,tiga hari lalu,seorang wartawan menghubungi saya, menanyakan posisi hukum hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. 

Pasalnya, sore itu Mahkamah Konstitusi (MK) memutus bahwa hasil pemilukada yang diselenggarakan KPU Kabupaten Tulang Bawang adalah sah sehingga pasangan Hanan- Wardoyo terpilih sebagai pasangan bupati-wakil bupati. Padahal,sore itu juga dirilis pengumuman oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKP Pemilu) bahwa semua anggota KPU Kabupaten Tulang Bawang dipecat karena telah melakukan pelanggaran etik dalam melaksanakan tugasnya. 

Yang ditanyakan oleh sang wartawan tersebut, apakah dengan adanya fakta bahwa KPU Tulang Bawang melakukan pelanggaran etik berat sehingga dipecat, hasil pemilukada tetap sah? Apakah kemenangan Hanan- Wardoyo tetap sah sesuai dengan putusan MK? Saya tahu, wartawan yang mengajukan pertanyaan tersebut sudah tahu jawabannya. Dia hanya ingin jawaban yang sudah diketahuinya itu dikatakan oleh saya sebagai ketua MK. Jawabannya jelas: vonis MK yang menyatakan kemenangan Wayan-Handoyo itu berlaku final dan pasangan itu dapat segera dilantik sebagai bupati dan wakil bupati.

Adapun keputusan DKP Pemilu yang memberhentikan semua komisioner Kabupaten Tulang Bawang juga berlaku sebagai keputusan yang sah terkait pelanggaran etik. Masih banyak warga masyarakat yang sering mencampuradukkan persoalan hukum dan etika.Banyak orang yang sering geregetan (jengkel) karena melihat orang petentengan (berlagak) padahal terlihat dan terasa yang bersangkutan melakukan pelanggaran. Orang yang seperti ini banyak yang tak dijerat oleh hukum,malah kalau dibawa ke pengadilan sering menang dan bebas. 

Makanya,sering kali timbul tudingan bahwa penegak hukum bersikap pandang bulu, tidak netral,atau takut sehingga tak mau menggelandang si tukang petentengan ke pengadilan untuk dihukum.Memang bisa saja ada penegak hukum yang berlaku tidak profesional, melindungi seseorang dengan berkolusi, baik karena takut maupun karena penyuapan, sehingga seseorang terlepas dari proses hukum. Tapi jauh lebih mendasar dari sekadar “ketakprofesionalan” itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sesuai dengan ideologi dan konstitusi, memang ada perbedaan tegas dalam penyelesaian pelanggaranhukum dan pelanggaran etik. 

Meskipun etika itu menjadi sumber materiil dari hukum, etika itu sendiri tidak dengan sendirinya menjadi hukum. Oleh sebab itu penjatuhan hukuman, prosedur, dan jenis hukuman pada etika dan hukum diatur secara berbeda. Dalam keterkaitan ini, antara pelanggaran etik dan pelanggaran hukum bisa digambarkan dalam tiga hubungan. 

Pertama, ada orang melanggar etik, tetapi tidak melanggar hukum; kedua, ada orang melanggar etika dan melanggar hukum sekaligus karena etika itu sudah dijadikan (diformalkan) menjadi hukum sehingga pelanggarnya bisa dihukum; ketiga, ada orang melanggar etika dan melanggar hukum sekaligus, tetapi tidak dihukum karena pelanggarannya tidak signifikan untuk memengaruhi sebuah produk keputusan yang diperkarakan. 

Dalam konteks orang memerkarakan hasil pemilukada di MK memang banyak sekali ditemukan pelanggaran yang dilakukan KPU, baik pelanggaran hukum maupun pelanggaran etik, tetapi tidak semua dijatuhi hukuman. Banyak yang oleh MK dinyatakan bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu melakukan kesalahan, tetapi hasilnya tetap dikuatkan sebagai keputusan hukum yang sah. 

Untuk membatalkan hasil pemilukada karena pelanggaran oleh KPU, MK menggunakan ukuran tertentu,yaitu apabila kesalahan itu berpengaruh secara signifikan terhadap komposisi kemenangan atau hasil penghitungan suara dan pelanggaran itu dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif.Meskipun ada bukti nyata terjadinya pelanggaran, MK takkan membatalkan hasil pemilukada kalau pelanggaran itu tidak signifikan mengubah komposisi kemenangan dan pelanggarannya hanya dilakukan secara sporadis. 

Pelanggaran etik, kalau benar ada di KPU Tulang Bawang, bukanlah bukti hukum yang berpengaruh terhadap hasil penghitungan suara dan komposisi kemenangan tiap pasangan peserta pemilukada sehingga tidak membatalkan hasil pemilukada yang telah ditetapkan KPU Tulang Bawang. Lantas apakah pelanggaran- pelanggaran yang nyata terjadi tidak bisa dijatuhi sanksi atau hukuman? Pasti bisa dan harus. Hanya saja jalur penghukumannya berbeda. Dalam pelanggaran etik, hukuman bisa dijatuhkan melalui badan kode etik atau komisi disiplin. 

Dalam pelanggaran pidana yang tidak signifikan atau tidak bisa dibuktikan akibat langsungnya terhadap hasil penghitungan suara, hukumannya bisa diajukan melalui peradilan pidana. Bahkan kalau ada pelanggaran perdata dan administratif, hukuman kepada KPU tetap bisa dijatuhkan melalui peradilan perdata dan PTUN tanpa mengaitkannya dengan kefinalan vonis MK. Banyak kasus, pemilukada sudah sah berdasar hukum konstitusi di MK,tetapi kemudian komisioner KPU atau pemenang pemilukada dijatuhi hukuman pidana. 

Alhasil,dalam kasus Pemilukada Tulang Bawang, putusan MK dan keputusan DKP Pemilu sama-sama sudah final dan harus dilaksanakan secara serempak sesuai dengan kasus masing-masing. Bahkan pelanggaran-pelanggaran pidana atau pelanggaran lain yang disebutkan dalam vonis MK (tetapi tidak signifikan untuk membatalkan hasil pemilukada) masih bisa diajukan lagi ke pengadilan umum atau pengadilan lain untuk dijatuhi hukuman sesuai dengan bidang kesalahannya tanpa boleh membatalkan vonis MK dankeputusan DKP Pemilu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar