Memerkosa
Pahlawan Devisa
Jeffrie Geovanie ; Sekretaris Majelis Nasional Partai NasDem
|
SINDO,
16 November 2012
Berita buruk tentang iklan penjualan tenaga kerja Indonesia
(TKI) di Malaysia masih belum lenyap dari ingatan kolektif kita, kini muncul
kembali berita yang jauh lebih buruk.
Seorang TKI berusia 25 tahun berinisial SM asal Batang, Jawa Tengah, mengaku telah diperkosa secara bergiliran oleh tiga polisi Diraja Malaysia.Peristiwa biadab ini terjadi Jumat (9/11/2012) pukul 06.00 saat korban pulang bekerja di sebuah kedai makan di Penang. Belum pula kasus perkosaan ini tertangani dengan baik, menurut Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, sudah ada lagi TKI,kali ini asal Aceh, diperkosa oleh majikannya sendiri di Malaysia. Berita pemerkosaan, khususnya terhadap SM,sekali lagi mencerminkan betapa tidak bermoralnya polisi Diraja Malaysia karena kebiadaban yang mereka lakukan bukan kali ini saja. Sudah terlampau banyak cerita tentang prilaku bejat polisi negeri jiran itu terhadap warga negara Indonesia, terutama para TKI, apalagi para TKI yang tidak dilengkapi keabsahan dokumen, bila tertangkap, mereka akan diperlakukan layaknya binatang. Kalau kita cermati, terungkapnya kasus pemerkosaan terhadap SM karena keberaniannya mengadukan kebejatan moral polisi Diraja Malaysia kepada Partai Persatuan Cina Malaysia (PCM). Padahal SM diancam untuk tidak memberitahukan peristiwa itu kepada siapa pun. Bisa jadi, masih banyak TKI yang nasibnya lebih buruk,namun tidak punya keberanian melaporkan diri. Mengingat sangat jarang TKI yang terkena kasus buruk punya keberanian melawan atau melaporkan diri, peristiwa pemerkosaan ini bisa jadi layaknya fenomena gunung es, hanya puncaknya yang tampak di permukaan,di bawahnya terdapat bongkahan besar peristiwa- peristiwa buruk lain yang tidak tampak. Buruknya Perlindungan Selain mencerminkan buruknya prilaku polisi Diraja Malaysia, diakui atau tidak, peristiwa rentetan pemerkosaan ini menjadi bukti betapa buruknya perlindungan TKI kita di luar negeri. Logikanya sederhana, kalau perlindungan terhadapTKI sudah bagus dan kuat, niscaya kecil sekali kemungkinan adanya perlakukan yang tidak berperikemanusiaan terhadap para tenaga kerja migran kita. Saya tak habis mengerti, apa yang selama ini dilakukan oleh para diplomat kita sehingga begitu lemahnya perlindungan terhadap warga negaranya sendiri. Banyak sekali kasus WNI dinistakan di luar negeri. Nasib WNI di luar negeri seolah bukan bagian dari tanggung jawab para diplomat. Sangat berbeda, misalnya, saat kita memperhatikan para diplomat negara-negara sahabat yang ditempatkan di Jakarta atau di kota-kota lain di Indonesia. Mereka tampak begitu peduli dengan nasib rakyatnya.Pada saat ada warga negaranya terkena kasus hukum, para diplomat ini begitu intensif melakukan pembelaan. Bahkan mereka tidak segansegan melobi pada pemerintah untuk meringankan hukuman atau bahkan meminta grasi kepada Presiden seperti yang terjadi pada Schapelle Leigh Corby terpidana kasus narkoba asal Australia. Tak Berimbang Apa yang diberikan pemerintah kepada TKI sama sekali tak berimbang dengan apa yang TKI berikan bagi negaranya.Sudah terlampau sering kita mendapatkan berita duka tentang nasib tragis yang menimpa TKI, padahal remitansi (pengiriman uang) yang mereka hasilkan sebagai devisa negara tidaklah sedikit. Karena itu tidak berlebihan jika para TKI disebut sebagai pahlawan devisa. Menurut data Migrant Care, dari tahun ke tahun remitansi TKI terus meningkat. Dari USD1,67 miliar pada tahun 2003 menjadi USD1,88 miliar pada 2004, USD2,93 miliar (2005), USD3,42 miliar (2006), USD5,84 miliar (2007), serta USD8,24 miliar (2008). Kita yakin, pada tahun-tahun berikutnya tetap mengalami peningkatan mengingat tambah banyaknya TKI yang mengadu nasib di luar negeri. Namun, yang perlu segera dicatat, dari tahun ke tahun,derita TKI juga terus meningkat. Kalau kita lacak berita-berita tentang nasib TKI di Google, misalnya, mesin pencari ini akan segera memberi tahu kita betapa banyak TKI yang mengalami nasib sangat buruk. Sekadar menyebut contoh,ada Sumasri (asal Blitar, Jawa Timur) yang selama tiga tahun bekerja di Malaysia tidak mendapatkan bayaran apa-apa kecuali siraman air panas di sekujur tubuh dan disetrika. Lalu ada Siti Hajar (asal Garut, Jawa Barat) yang bernasib sama seperti Sumarsih,selama tiga tahun bekerja di Malaysia tidak dibayar malah disiksa majikannya.Nasib yang lebih memilukan menimpa Nurul Widayanti (asal Ngawi, Jawa Timur) yang tewas gantung diri diduga karena tak tahan memikul penderitaan selama bekerja di Kajang, Selangor, Malaysia. Di luar Malaysia, nasib TKI juga tidak lebih baik. Di Timur Tengah, misalnya, banyak di antara TKI kita yang terancam hukuman mati, karena dituduh membunuh majikanatauyangsemacamnya. Padahal tuduhan yang ditimpakan pada mereka belum tentu benar. Kalau pun benar membunuh, bisa jadi karena mereka membela diri karena diancam dibunuh atau diperkosa. Apa pun sebabnya, terhadap mereka,Pemerintah Indonesia belum memberikan pembelaan dan perlindungan yang maksimal. Pemerintah bisa saja beralasan bahwa selain masalah TKI masih banyak masalahmasalah lain yang dihadapi bangsa ini, baik di dalam maupun di luar negeri dan semua masalah itu menuntut untuk segera diatasi. Dengan ketersediaan lapangan kerja dalam negeri yang kian menyempit, untuk sekadar mencegah ratusan atau bahkan ribuan TKI yang terus-menerus mengadu nasib di negara lain pun pemerintah belum sanggup, apalagi untuk melindungi mereka satu per satu. Padahal,sekali lagi, di balik nasibnya yang pahit, TKI adalah pahlawan devisa. TKI punya peranan penting dalam meningkatkan ketahanan perekonomian nasional, terutama bagi daerah-daerah yang mengirimnya. Melihat posisi dan peranannya yang demikian penting,kiranya tak ada alasan bagi pemerintah untuk mengabaikan nasib TKI. Kurang maksimalnya pembelaan negara terhadap TKI yang bekerja di luar negeri, semakin mempermudah mereka diperlakukan sewenang-wenang oleh majikan masing-masing. Mereka menganggap, menyiksa TKI, sama seperti menyiksa budak. Jika terus-menerus tak ada perlindungan, perlakuan buruk seperti pemerkosaan akan terus-menerus dilakukan. Saya kira, untuk mencegah tradisi buruk ini terus berlanjut, pemerintah dari Presiden, Menteri Luar Negeri, Menteri Tenaga Kerja, dan pejabatpejabat lain yang terkait harus bertindak tegas terhadap pemerintah negara lain yang memberlakukan TKI secara tidak manusiawi. Pengiriman nota protes saja tidak cukup, karena kita tahu nota protes tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak mengubah apaapa. Yang diperlukan adalah ketegasan sikap dan keberanian untuk melakukan tindakan yang lebih tegas terhadap siapa pun yang melecehkan TKI kita. Jika tak bisa melakukan perlindungan, secara tak langsung, pemerintah ikut andil memerkosa mereka. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar