Koruptor Pun
Menjelma Jadi Singa
Bayu Dardias ; Ketua
Klaster Penelitian Governance dan Korupsi,
Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol
UGM
|
KOMPAS,
16 November 2012
Mungkin sudah saatnya perumpamaan koruptor
dengan tikus diganti. Selain tak tepat,
personifikasi tikus cenderung menyesatkan, terutama bila dikaitkan
peristiwa-peristiwa terakhir. Koruptor lebih tepat diibaratkan singa yang
berkuasa. Tikus dipersonifikasi sebagai binatang kecil, mencuri remah-remah
dan akhirnya lari terbirit-birit saat kepergok manusia. Dengan sapu tikus
bisa diusir, dan dengan jebakan tikus bisa dimusnahkan.
Namun, koruptor di negeri
ini sama sekali tak mirip dengan personifikasi tikus. Koruptor tak mencuri
sisa ikan di tempat sampah, tetapi mengambil porsi utama di meja makan,
bahkan di dapur yang belum sempat dihidangkan. Jebakan, seandainya
tertangkap, toh hanya sementara. Setelah satu atau dua tahun, koruptor tetap
dipromosi menduduki posisi penting sebagai kepala dinas, yang membawahi
ratusan bahkan ribuan birokrat.
Jika tikus langsung lari
ketika ada suara gerakan kaki manusia, tak demikian dengan koruptor
Indonesia. Tak seperti di negara lain, koruptor Indonesia malah menggelar
konferensi pers dengan kepala tegak, dengan jas mahal yang dibeli dari hasil
korupsi. Didampingi pengacara- pengacara top, yang membentuk tim dengan
spesifikasi tugas yang rumit, koruptor kita siap menghadapi proses hukum.
Jika koruptornya
perempuan, tiba-tiba hadir dengan jilbab besar dan cadar. Cadar yang selama
ini sering dipakai penganut Islam taat di Timteng berubah jadi pakaian utama
koruptor perempuan. Lagi-lagi, tetap didampingi tim pengacara andal. Jika
lari ke luar negeri, koruptor kita pun tak malu-malu menggelar konferensi
pers.
Pernyataannya ditayangkan berulang-ulang di stasiun televisi, dianggap
sebagai kebenaran.
Jika koruptor yang dibidik
adalah orang penting dalam institusi dengan semangat korps kuat, perlawanannya
berubah jadi institusional. Akibatnya, proses antikorupsi yang awalnya
menyasar oknum berubah jadi konflik antarinstitusi. Lagi-lagi dengan
kerumitan hukum yang tak dimengerti oleh masyarakat.
Jika Polri menuntut KPK
dan katakanlah menang, tak jelas dana dari mana untuk membayar ratusan miliar
rupiah tuntutan. Baik KPK maupun Polri dibiayai oleh APBN. Lalu apakah akan
terjadi perputaran uang dari APBN di KPK ke APBN Polri? Lalu, apakah Polri
menjadi punya tambahan dana dari keberhasilannya menuntut KPK?
Jika ini benar terjadi,
seluruh institusi—termasuk 530 lebih daerah otonom—akan punya alternatif baru
menambah anggaran, yaitu menuntut daerah lain. Ratusan konflik perbatasan
antardaerah dapat jadi alternatif pundi-pundi anggaran, selain pemasukan daerah
dari pendapatan asli daerah. Daerah tak perlu lagi lobi ke pusat untuk
menaikkan anggaran. Semua bisa dilakukan melalui proses hukum. Bukankah
Indonesia negara hukum? Jadi, semuanya bisa dicapai dengan hukum, termasuk
menambah anggaran. Ini tentu berbahaya.
Kita jadi kehilangan
semangat berbangsa dan bernegara. Indonesia raya mengerdil menjadi institusi,
institusi kita. Itulah yang sekarang dipraktikkan Polri sebagai penegak hukum
di Indonesia ketika menggugat KPK.
Koruptor di negeri ini
sudah menjelma kuasa. Terlalu lama tikus-tikus itu dibiarkan sehingga tak
hanya menguasai keranjang sampah dan sisa remah-remah, tetapi dia sudah
menguasai seluruh rumah. Koruptor itu jadi tuan di rumah Indonesia setelah
setahap demi setahap menguasai dapur, meja makan, ruang keluarga, kamar, dan
ruang tamu.
Koruptor berpikir dengan
sangat rasional. Mereka mengalkulasi untung-rugi melakukan korupsi. Jika
risiko korupsi (jika tertangkap) lebih kecil dibandingkan keuntungan yang
didapat, korupsi terus terjadi. Biaya modal yang diperhitungkan koruptor
adalah biaya pengacara, kepala rutan agar bisa izin berobat, hakim, dan
jaksa. Beda ceritanya jika hukuman koruptor adalah hukuman mati. Berapa pun
keuntungan korupsi, tak ada gunanya jika toh akhirnya mati.
Institusi-institusi telah
dikuasai koruptor yang menciptakan pola kerja institusional yang mendukung
korupsi. Mereka yang tak terlibat akan terlihat aneh dan unik dan menyalahi
norma korupsi yang telah menjadi norma institusi. Masyarakat antikorupsi
kemudian tersingkir dan terus coba merebut kembali rumah Indonesia yang telah
dikuasai tikus-tikus pemimpin yang menjelma singa kuasa. Usaha ini tidak
mudah, tetapi akan terus dikenang sejarah.
Indonesia pernah punya
cerita indah pemimpin yang tak mengeruk keuntungan pribadi. Bung Hatta tak
memberi tahu Bu Rahmi tentang kebijakan sanering sehingga uang yang
dikumpulkan jadi tak cukup membeli mesin jahit. Bung Karno, ketika di luar
negeri, pernah berurusan dengan ongkos taksi yang jumlahnya tak besar. Sudah
saatnya kita singkirkan tikus-tikus kuasa dari rumah Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar