Mengeja Polling
Politik Jokowi dan Hatta
Anonim ; Penulis di Koran Tempo
|
KORAN
TEMPO, 01 September 2012
Sumber
:
Unggulnya Joko Widodo alias
Jokowi dan pasangannya, Basuki Tjahaja Purnama alias Zhong Wan Xie atau Ahok,
sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta pada putaran pertama
hasil pencoblosan, memunculkan sinisme terhadap banyak lembaga survei di
Indonesia, karena beberapa bulan sebelumnya rata-rata lembaga survei itu
menempatkan Fauzi Bowo alias Foke, kandidat incumbent,
dan Nachrowi Ramli di posisi teratas.
Belakangan, tudingan bernada
curiga diam-diam juga dialamatkan kepada Jaringan Survei Indonesia (JSI), yang
pada 12 Agustus 2012 melansir hasil survei mereka perihal kandidat Presiden
Republik Indonesia 2014. Tudingan itu dipicu oleh nama Hatta Rajasa kini
Menteri Koordinator Perekonomian yang menempati posisi kedua di bawah Prabowo
Subianto. Padahal, dalam sederet survei sebelumnya, nama Ketua Umum Partai
Amanat Nasional (PAN) yang berbesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu
senantiasa berada di luar lima besar, disisihkan oleh nama-nama Prabowo
Subianto, Aburizal Bakrie, Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Wiranto, dan
Dahlan Iskan.
Retorika sinis pun terlontarkan:
jangan-jangan JSI dibayar Hatta Rajasa atau orang-orangnya, termasuk di
dalamnya orang-orang PAN, atau Muhammadiyah. Sinisme merebak dan
mengulang-ulang pernyataan yang pernah dilontarkan beberapa pihak, termasuk
Amien Rais dan Effendi Ghazali, yakni: jangan-jangan yang melakukan survei
sekaligus juga menjadi konsultan politik untuk pemenangan masingmasing
kandidat.
Galibnya, tidak ada kode etik
yang menggariskan bahwa lembaga survei tidak diperkenankan menerima bayaran
atau pesanan penyurveian. Hal ini tidak hanya terkait, yakni bahwa survei
membutuhkan biaya, tapi juga memang tak ada pelanggaran apa pun terhadap survei
pesanan maupun survei yang dibayar.
Indonesia memang belum memiliki
kode etik survei, sedangkan di Amerika Serikat ada asosiasi riset/survei yang
memaktubkan berderet kode etik bagi laku survei; namanya American Association for Public Opinion Research (AAPOR). Selain
harus dijelaskan tujuan survei, salah satu kode etiknya menyatakan bahwa nama
institusi pemberi sponsor atau penyandang dana harus disebutkan saat hasil
survei dipublikasikan.
Kejelasan metodologi,
transparansi deretan kuesioner, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam
wawancara terhadap responden juga menjadi kewajiban etik laku survei. Jika
berbagai kode etik yang elementer itu tak terpenuhi, media massa bukan hanya
berhak tidak memuat hasil survei, bahkan media massa bisa tersalahkan jika
mengkhalayakkan hasil survei yang minim kode etik.
Mungkin karena Indonesia belum
memiliki kode etik survei, juga belum meratifikasi kode etik ala AAPOR, dalam
berbagai pemberitaan di media massa perihal hasil survei selama ini, kerap tak
ada kejelasan dalam beberapa hal: siapa sponsornya, apa tujuan survei, bahkan
yang paling elementer metodologi sebuah survei. Media massa relatif tidak
pernah menjelaskan pola kerja metode multistage
random sampling, misalnya, yang dipergunakan JSI dalam melakukan survei,
yang menempatkan nama Hatta Rajasa pada urutan kedua.
Selain metodologi, perihal
penyebaran sampling, misalnya, sejauh mana kemungkinan perbedaan dan persamaan
di antara masing-masing lembaga survei, publik tak pernah mendapatkan pemahaman
dari pemberitaan media. Apalagi jika menelusuri sejarah masing-masing lembaga
survei tersebut. Lingkaran Survei Indonesia merupakan “pecahan” Lembaga Survei
Indonesia dan keduanya disingkat LSI sementara beberapa personelnya yang pernah
bekerja di salah satu LSI kemudian “memecahkan” diri mendirikan IndoBarometer, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), selain beberapa
personel JSI (terkadang terpahami sebagai Jaringan Survei Indonesia, sesekali
tertulis Jaringan Suara Indonesia) juga pernah bekerja di LSI.
Dari deretan lembaga survei yang
para pekerjanya bisa dikatakan “satu guru satu ilmu” itu, apakah yang lantas
membedakannya dengan Centre for Strategic
and International Studies (CSIS) dan Soegeng
Sarjadi Syndicate (SSS), yang juga melakukan survei perihal kandidat
presiden negeri ini. Jadi, pertanyaan retorisnya, apakah media massa tidak
memenuhi kode etik atau bahkan ikut andil bersalah karena kurang informable terhadap publik?
Kembali ke kasus unggulnya Jokowi
dalam realitas putaran pertama pemilukada Gubernur DKI dan “naik”-nya nama
Hatta Rajasa di salah satu survei, bagaimanakah mereka menjelaskannya? Terus
terang, media massa sama sekali tak menjelaskan dan tak hendak memperjelas,
sementara lembaga-lembaga survei juga lebih memilih membiarkan pelbagai
tudingan sinis itu diarahkan kepada mereka.
Yang sedikit dapat diraba adalah:
survei terhadap Jokowi versus Fauzi dilakukan pada jauh-jauh minggu dan
dilakukan secara longitudinal atau bergelombang saban pekan. Hasil survei saban
pekan itu memang menunjukkan kecenderungan Foke berada di posisi atas. Publik
tak pernah tahu kecenderungan publik pada dua dan satu minggu menjelang hari H
pencoblosan. Lembaga-lembaga survei itu tidak mengumumkan hasil survei mereka
karena ada larangan agar tidak mensurvei pada saat minggu tenang itu.
Akan halnya penempatan Hatta
Rajasa pada urutan kedua dalam survei JSI, hal ini juga harus dieja secara
lebih saksama. Terminologi yang dipakai JSI berbeda dibanding LSI-1, LSI-2,
SMRC, CSIS, dan lain-lain. JSI menggunakan istilah tingkat kepantasan, bukan
tingkat keterpilihan atau elektabilitas (dan popularitas) sebagaimana dilakukan
lembaga-lembaga riset lainnya. Ada perbedaan mencolok dari dua istilah
tersebut. Kepantasan tak berbanding lurus dengan layak pilih dan/ataupun
derajat popularitas. Perbedaan makna ini jugaterumuskan dalam pertanyaan yang
juga berbeda.
Dalam hal popularitas dan
elektabilitas, bisa saja pertanyaannya sama sekali tanpa menyebutkan nama,
sehingga para respondenlah yang mengisi, sementara dalam hal kepantasan, dalam
kuesioner bisa saja terjadi pembandingan, misalnya: dibandingkan dengan Jusuf
Kalla, Wiranto, Megawati Soekarnoputri, dan Hatta Rajasa, manakah yang dianggap
paling pantas. Semakin banyak nama yang diperbandingkan, persentase perolehan
angkanya bisa terhitung kecil jika dibandingkan dengan pembandingan atas
sedikit nama. Dengan demikian, sangat bisa jadi nama Hatta Rajasa dibandingkan
dengan banyak nama, sementara nama Prabowo Subianto dibandingkan dengan
nama-nama lainnya lagi, dengan jumlah nama pembandingan yang tidak sebanyak
saat Hatta Rajasa diperbandingkan, lalu masing-masing persentase perolehan
disandingkan dan dibandingkan. Kalkulasi persentase inilah yang kemudian
diurutkan, dan nama Hatta Rajasa terhitung memiliki kepantasan di bawah nama
Prabowo.
Pelbagai hal ini tidak dipaparkan
berderet lembaga survei. Juga hal-hal yang sama ini tidak dikuak media massa,
apa pun jenisnya: cetak, radio, televisi, daring,
bahkan media sosial. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar