Belajar dari
Jokowi-Ahok
Adi Ekopriyono ; Direktur Eksekutif Budi Santoso Foundation
|
SUARA
MERDEKA, 21 September 2012
HASIL quick count menunjukkan, pasangan Joko
Widodo-Basuki Tjahaja Purnama memenangi Pilgub DKI Jakarta, mengalahkan Fauzi
Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara), 20 September 2012. Foke pun diberitakan sudah
menelepon dan mengucapkan selamat kepada Jokowi.
Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari kemenangan pasangan dengan panggilan akrab Jokowi-Ahok tersebut. Pertama; hasil sementara itu adalah kemenangan multikulturalisme. Jamak diketahui bahwa sejak awal pasangan ini selalu ’’disindir’’ dengan isu bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Hasil quick count menunjukkan bahwa masyarakat pemilih sudah makin kritis dan rasional.
Masyarakat tidak lagi mudah termakan isu tersebut. Rakyat sudah makin mampu melihat dengan jernih unsur manfaat dan mudarat mengedepankan aspek SARA di-bandingkan dengan program-program yang membumi. Isu tersebut, setidak-tidaknya dalam pilkada DKI ternyata tidak lagi mempan untuk memengaruhi pilihan konstituen. Terpenting bagi konstituen adalah calon pemimpin yang memberi harapan (nyata) bagi perbaikan keadaan dan peningkatan kesejahteraan rakyat, terlepas dari unsur SARA itu. Hal itu cukup memberi harapan karena mencerminkan menurunnya tingkat kerentanan terhadap isu yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
Komunikasi Horizontal
Kedua; kemenangan Jokowi-Ahok membuktikan bahwa komunikasi horizontal memang lebih ampuh dari komunikasi vertikal. Hal itu sangat jelas terlihat dari pendekatan yang dilakukan oleh dua calon itu. Jokowi-Ahok menerapkan komunikasi horizontal, antara lain dengan mendekati rakyat kebanyakan, misalnya pedagang kaki lima, penghuni permukiman kumuh. Program-program yang ditawarkan pun sangat horizontal, berkesan sederhana tapi realistis, didukung oleh data konkret hasil observasi langsung.
Agak berbeda dari pendekatan tersebut, pendekatan yang dilakukan oleh Foke-Nara lebih berkesan vertikal. Hal itu tampak misalnya dari cara bicara, berpakaian, yang berkesan elitis dan program-program yang lebih bersifat top down. Pada aspek komunikasi itulah keunggulan Jokowi sangat terasa, bahkan ia pun tidak sungkan mengatakan, ’’Spesialisasi saya memang menjalin komunikasi dengan masyarakat.’’ Wali Kota Surakarta itu memang piawai menjalankan komunikasi pemasaran. Tiga prinsip yang selalu digunakan adalah manajemen produk, manajemen merek (brand), dan manajemen pelanggan (customer).
”Produk harus bagus. Kalau produk kita bagus maka konsumen akan datang dengan sendirinya,” katanya di suatu forum. Selain produk, brand juga harus kuat, itulah sebabnya ia selalu memperkuat brand, antara lain dengan baju kotak-kotak. Sementara, customer harus dikelola dengan baik, dilayani aspirasi mereka.
Penerapan prinsip manajemen brand itulah yang mungkin mendorong kemunculan sindiran bahwa Jokowi lebih menekankan pencitraan. Orang lupa, selain memperkuat brand (lebih tepat: personal brand), Jokowi juga konsisten menjalankan manajemen produk dan manajemen pelanggan. Itulah sebabnya, pasangan Jokowi-Ahok pun kuat pada program yang mencerminkan produk dan pandai mengakomodasi aspirasi rakyat sebagai implementasi manajemen pelanggan.
Tidaklah mengherankan kalau kemudian Jokowi-Ahok mendapat simpati besar karena memosisikan konstituen sebagai pelanggan yang berhak mendapatkan kepuasan. Harapan akan dirasakannya kepuasan pelanggan itu yang kemudian mendorong banyak orang berbondong-bondong ke tempat pemungutan suara dan mencoblos mereka.
Pendekatan Jawa
Ketiga; kemenangan Jokowi-Ahok juga mengisyaratkan bahwa mesin partai belum tentu bisa berjalan dengan baik. Pendukung partai-partai besar yang ’’mengeroyok’’ Jokowi-Ahok ternyata tidak patuh pada instruksi elite partai untuk memilih Foke-Nara. Mengapa bisa begitu? Karena, sekaranglah era individu, seperti kata Thomas Friedman dalam World Is Flat. Individu-individu merasa memiliki kebebasan menentukan pilihan, tidak bergantung pada partai atau institusi apa pun. Inilah salah satu efek dari kemajuan pesat teknologi informasi dan transparansi komunikasi.
Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari kemenangan pasangan dengan panggilan akrab Jokowi-Ahok tersebut. Pertama; hasil sementara itu adalah kemenangan multikulturalisme. Jamak diketahui bahwa sejak awal pasangan ini selalu ’’disindir’’ dengan isu bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Hasil quick count menunjukkan bahwa masyarakat pemilih sudah makin kritis dan rasional.
Masyarakat tidak lagi mudah termakan isu tersebut. Rakyat sudah makin mampu melihat dengan jernih unsur manfaat dan mudarat mengedepankan aspek SARA di-bandingkan dengan program-program yang membumi. Isu tersebut, setidak-tidaknya dalam pilkada DKI ternyata tidak lagi mempan untuk memengaruhi pilihan konstituen. Terpenting bagi konstituen adalah calon pemimpin yang memberi harapan (nyata) bagi perbaikan keadaan dan peningkatan kesejahteraan rakyat, terlepas dari unsur SARA itu. Hal itu cukup memberi harapan karena mencerminkan menurunnya tingkat kerentanan terhadap isu yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
Komunikasi Horizontal
Kedua; kemenangan Jokowi-Ahok membuktikan bahwa komunikasi horizontal memang lebih ampuh dari komunikasi vertikal. Hal itu sangat jelas terlihat dari pendekatan yang dilakukan oleh dua calon itu. Jokowi-Ahok menerapkan komunikasi horizontal, antara lain dengan mendekati rakyat kebanyakan, misalnya pedagang kaki lima, penghuni permukiman kumuh. Program-program yang ditawarkan pun sangat horizontal, berkesan sederhana tapi realistis, didukung oleh data konkret hasil observasi langsung.
Agak berbeda dari pendekatan tersebut, pendekatan yang dilakukan oleh Foke-Nara lebih berkesan vertikal. Hal itu tampak misalnya dari cara bicara, berpakaian, yang berkesan elitis dan program-program yang lebih bersifat top down. Pada aspek komunikasi itulah keunggulan Jokowi sangat terasa, bahkan ia pun tidak sungkan mengatakan, ’’Spesialisasi saya memang menjalin komunikasi dengan masyarakat.’’ Wali Kota Surakarta itu memang piawai menjalankan komunikasi pemasaran. Tiga prinsip yang selalu digunakan adalah manajemen produk, manajemen merek (brand), dan manajemen pelanggan (customer).
”Produk harus bagus. Kalau produk kita bagus maka konsumen akan datang dengan sendirinya,” katanya di suatu forum. Selain produk, brand juga harus kuat, itulah sebabnya ia selalu memperkuat brand, antara lain dengan baju kotak-kotak. Sementara, customer harus dikelola dengan baik, dilayani aspirasi mereka.
Penerapan prinsip manajemen brand itulah yang mungkin mendorong kemunculan sindiran bahwa Jokowi lebih menekankan pencitraan. Orang lupa, selain memperkuat brand (lebih tepat: personal brand), Jokowi juga konsisten menjalankan manajemen produk dan manajemen pelanggan. Itulah sebabnya, pasangan Jokowi-Ahok pun kuat pada program yang mencerminkan produk dan pandai mengakomodasi aspirasi rakyat sebagai implementasi manajemen pelanggan.
Tidaklah mengherankan kalau kemudian Jokowi-Ahok mendapat simpati besar karena memosisikan konstituen sebagai pelanggan yang berhak mendapatkan kepuasan. Harapan akan dirasakannya kepuasan pelanggan itu yang kemudian mendorong banyak orang berbondong-bondong ke tempat pemungutan suara dan mencoblos mereka.
Pendekatan Jawa
Ketiga; kemenangan Jokowi-Ahok juga mengisyaratkan bahwa mesin partai belum tentu bisa berjalan dengan baik. Pendukung partai-partai besar yang ’’mengeroyok’’ Jokowi-Ahok ternyata tidak patuh pada instruksi elite partai untuk memilih Foke-Nara. Mengapa bisa begitu? Karena, sekaranglah era individu, seperti kata Thomas Friedman dalam World Is Flat. Individu-individu merasa memiliki kebebasan menentukan pilihan, tidak bergantung pada partai atau institusi apa pun. Inilah salah satu efek dari kemajuan pesat teknologi informasi dan transparansi komunikasi.
Keempat;
kemenangan Jokowi-Ahok menunjukkan kemenangan pendekatan Jawa. Coba perhatikan
dengan seksama, bukankah Jokowi selalu memperlihatkan kejawaannya? Kejawaan
yang bagaimana? Kejawaan yang andhap
asor, tepa selira, manjing ajur-ajer, mengesankan pentingnya keharmonisan,
keselarasan, keseimbangan. Saya
masih ingat, ketika dicap sebagai wali kota bodoh, Jokowi menjawab enteng, ’’Ya
memang, saya bodoh, masih harus banyak belajar.’’ Sikap itulah salah satu
contoh kejawaan yang justru menjadi endorser
dalam Pilgub DKI Jaya..
Kelima;
kemenangan Jokowi-Ahok adalah kemenangan kaum muda. Lihat saja bagaimana salam
yang dikembangkan pasangan ini: salam metal. Khas anak-anak muda. Ini
horizontal dan gaul.
Terakhir; kemenangan itu membuktikan bahwa zaman memang telah berubah. Sedang terjadi reformasi mental, setidak-tidaknya pada sebagian besar masyarakat DKI, dan mudah-mudahan juga masyarakat Indonesia. Mental yang lebih mandiri, sejalan dengan demokratisasi. ●
Terakhir; kemenangan itu membuktikan bahwa zaman memang telah berubah. Sedang terjadi reformasi mental, setidak-tidaknya pada sebagian besar masyarakat DKI, dan mudah-mudahan juga masyarakat Indonesia. Mental yang lebih mandiri, sejalan dengan demokratisasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar