Rabu, 15 Agustus 2012

Tata Cara Penyelesaian Kegagalan Peluncuran Satelit


Tata Cara Penyelesaian Kegagalan Peluncuran Satelit
H Priyatna Abdurrasyid ; Anggota American Institute of
Aeronautics and Astronautics (AIAA), New York, USA 
SINDO,  15 Agustus 2012

Gagalnya peluncuran satelit Indonesia yang dilakukan dengan kerja sama dengan perusahaan peluncuran Rusia berakibat pada sekian banyak faktor (khususnya teknologi maupun politik) bagi Indonesia.

Faktor-faktor ini perlu diteliti dan diusahakan ditinjau dari sekian banyak segi, antara lain evolusi perkembangan Hukum Ruang Angkasa (Space Law) yang selama ini mengikuti perkembangan kemajuan eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa. Disadari bahwa pemanfaatan ruang angkasa tersebut tidak luput dari risiko yang sangat tinggi yang seringkali tidak dapat terkendali.

Itulah mengapa tampak begitu banyaknya ketentuan-ketentuan pemanfaatan ruang angkasa dalam bentuk kesepakatankesepakatan internasional seperti konvensi-konvensi, kebiasaan- kebiasaan yang menghasilkan prinsip-prinsip hukum dan berlaku yang diterapkan dalam usaha kegiatan manusia di ruang angkasa.

Sejak beberapa waktu kegiatan manusia memanfaatkan ruang angkasa ini tampak dalam bentuk transportasi ruang angkasa, penginderaan jauh, siaran langsung dari satelit, laboratorium, kegiatan pangkalan-pangkalan militer, observasi, telekomunikasi, processing berbagai keperluan manusia di permukaan bumi, dan sebagainya.Kesemua kegiatan tersebut menghendaki pembentukan Hukum Ruang Angkasa yang mengarah kepada pembentukan Hukum Ekonomi Nasional bagi pemanfaatan ruang angkasa tersebut.

Wilayah negara secara tradisional kita ketahui terdiri dari 2/3 wilayah air,1/3 wilayah darat, dan yang tak banyak dibahas adalah seluruh wilayah ruang udara di atas air dan darat itu.Di luar ini terbentang luas ruang angkasa, dengan orbit geostationer di atas khatulistiwa. Di atas wilayah Indonesia, terbentang sepanjang +36.000 km (+12,8%) dan merupakan wilayah “milik bersama kemanusiaan” (common heritage of mankind).

Dengan sendirinya, di dalam usaha pemanfaatan-eksplorasi ruang angkasa tersebut, sulit dicegah terjadi kecelakaan atau kerusakan alatalat yang dipergunakan maupun korban-korban manusia di permukaan bumi maupun terhadap awak pesawatnya. Seperti halnya terjadi terhadap satelit milik Indonesia yang diluncurkan oleh Rusia barubaru ini. Segi hukum yang wajib diperhatikan dan diselesaikan oleh Rusia sebagai negara peluncur maupun pihak Indonesia sebagai pemilik satelitnya adalah yang berasal kontrak.

Di dalam kontrak tersebut diperinci alat-alat apa saja yang diatur dalam kontrak tersebut yang jumlahnya tidak kecil. Syarat utama dalam kontrak tersebut kemungkinan besar ada yang berbunyi sebagai berikut.

Neither ….X….nor the consignor has any obligation, now or in the future, to deliver possession of the lot. Since the lot is located on the …., and since laws currently in existence, or which may come into effect in the future, may develop or change, notwithstanding the Conditions of Sale, while title to the object is passing as of the date of sale, ….X…. is only conveying the current title rights of the owner, and makes no assurances, whether expressed or implied, in respect of future claims of title, by salvagers or otherwise”.

Dalam pada itu perlu pula diteliti validitas dan dampak mengikatnya pelayanan dari pihak peluncur kepada pihak pengguna jasa yakni Indonesia di dalam memakai jasa-jasa Rusia tersebut. Perjanjian peluncuran satelit selama ini oleh negara-negara manapun melalui perusahaan seperti General Dynamic, Martin Marielta, Arianespace,China Great Wall Industry, McDonnell Douglass, dan lain-lainnya.

Dalam perjalanan kontrak-kontrak ini tampak bahwa yang menguasai adalah dua perjanjian ruang angkasa Internasional yakni “liability convention” dan “registration convention” (berlandaskan kepada Space Treaty 1967). Yang juga dominan perlu diperhitungkan juga oleh pengguna jasa adalah masalah tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga bilamana terjadi kegagalan peluncuran.

Penyebaran risiko ke arah “inter party” yakni pihak ketiga selalu ditetapkan secara luas dan mendalam di dalam kontrak peluncuran. Sesuai dengan ketentuan- ketentuan hukum yang berlaku, kerugian yang diderita akibat penyelesaian atau kegagalan peluncuran dapat diderita oleh si peluncur, pelanggan/ kontraktor maupun subkontraktor/ suplier.

Pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah tanggung jawab negara peluncurdandalamhalinisiapa yang merupakan secara jelas launching stateyang pada akhirnya harus dikaitkan dengan “Registration Convention 1974”. Pokok masalah berikutnya adalah yang berkaitan dengan asuransi, negara dari mana peluncuran dilakukan biasanya mengalihkan tanggung jawab hukum berkaitan dengan peluncuran yang diatur oleh “Liability Convention” dan “Space Treaty 1967” kepada perusahaan peluncuran melalui ganti rugi mutlak.

Pertanyaannya berkaitan kegagalan peluncuran satelit Indonesia oleh suatu perusahaan Rusia perlu diteliti. Kerugian langsung dapat terjadi bukan saja hanya pada peluncuran, tetapi dapat juga terjadi kerugian terhadap manusia di permukaan bumi akibat pecahan-pecahan satelit dan alat peluncurannya, juga pencemaran yang terjadi terhadap lingkungan (space debris).

Pihak-pihak yang juga dapat terkait dengan tanggung jawab hukum ini ada pihak lain seperti perusahaan negara yang meluncurkan “paylord owners”, “manufactures”, “contractors”, dan lain-lainnya.  Wilayah dari mana satelit diluncurkan dan sebagainya. Juga pemilik transponder dan bank terkait yang mem-biayainya. Hampir semua satelit yang diluncurkan banyak keterkaitannya dengan pusat-pusat penyandang dana dengan bentuknya yang beragam seperti “pendanaan ekspor”, “pendanaan konstruksi”, “operasi”, dan lain-lain.

Pendanaan semacam ini kadangkala dapat terganggu oleh misalnya larangan-larangan di forum internasional oleh negara besar karena alasan-alasan politik. Demikian beberapa pokok permasalahan di bidang kegagalan peluncuran sebuah satelit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar