Puasa,
Kemerdekaan, dan Lebaran
|
Asep Salahudin ; Wakil Rektor
IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
|
KOMPAS,
18 Agustus 2012
Tanggal 17 Agustus 1945,
ketika Indonesia diproklamirkan Soekarno dan Hatta di Pegangsaan Timur Nomor
56, terjadi pada bulan puasa. Bukan kebetulan setelah 67 tahun siklus
peringatan kemerdekaan itu kembali saat berpuasa.
Merdeka dan puasa
sesungguhnya memiliki garis sinergisitas yang sangat erat. Beririsan satu
dengan lainnya. Tujuan substansial puasa itu sendiri tak lain ”memerdekakan”
jiwa agar tidak tersandera nafsu primitif. Nafsu itu dapat bernama hasrat yang
tak terkendali, watak tamak yang tak pernah tamat, dan tubuh dengan
kecenderungan memuja daulat benda dan nafsu destruktif lainnya. Termasuk nafsu
memonopoli kebenaran dan merasa paling benar sendiri.
Bukankah kemerdekaan RI
tersebut, ketika diikrarkan, memiliki maksud yang tidak berbeda: membebaskan
tubuh bangsa dari kolonialisasi asing yang telah menghinakan harkat kita, baik
sebagai bangsa atau sebagai manusia. Seperti tampak dari risalah-risalah yang
ditulis manusia pergerakan semisal Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir, Yamin,
dan Natsir.
Memerdekakan ”negara” dari
watak rakus bangsa lain yang telah mengisap kekayaan alam warisan nenek moyang
kita. Bahkan juga memerdekakan fisik dari kerja romusa dan rodi, yang telah
mengakibatkan ribuan bahkan ratusan ribu korban nyawa, menjadi ”pahlawan” yang
tak sempat dicatat sejarah nasional.
Konon, bahkan bangsa Mesir
kuno, Babilonia, dan Persia pun ketika hendak melakukan peperangan mereka
terlebih dahulu berpuasa. Dalam keyakinan mereka, puasa dapat memompa semangat
bertempur sekaligus menginjeksikan gelora optimisme mengalahkan sang lawan.
Dalam diri yang ”kosong”, pandangan mata semakin awas dan sensitivitas batin
kian tajam. Inilah yang dalam spiritualisme tirakat Jawa disebut anuning ning.
Dalam cerita purba
diteguhkan tentang pertempuran ganjil, tidak seimbang, antara Talut dan Jalut.
Fragmen hikayat itu justru memutarbalikkan ketidakmungkinan itu. Talut yang
compang- camping, dengan peralatan perang seadanya, keluar sebagai pemenang.
Salah seorang pahlawannya adalah Daud (David). Ketika ditanya tentang heroisme
dan mentalitasnya yang sempurna dia menjawab, ”Berpuasa satu hari. Tidak satu
hari.”
Daud yang rajin bertirakat
dan mengencangkan ikat pinggang ternyata mampu mengalahkan pasukan Jalut yang
memiliki persenjataan dan armada lengkap. Dia akhirnya bisa memerdekakan
bangsanya dari perbudakan dan segala bentuk tirani.
Selepas Merdeka
Selepas merdeka, inilah
sejatinya yang menjadi urusan bersama. Setelah ”kekoeasaan d.l.l.,
diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang
sesingkat-singkatnja” relatif dapat kita lakukan, ternyata ”merdeka” tidak
sekadar itu.
Hari ini, dalam atmosfer
pengujung puasa, dengan kebeningan jiwa kita layak melakukan refleksi. Refleksi
ihwal sebuah fakta bernama Indonesia yang kian terpelanting jatuh dalam
kenyataan yang jauh panggang dari api dengan apa yang difantasikan para pejuang
tempo dulu. Tentang ”atas berkat rahmat Allah” sebagai pengakuan metafisik,
yang kian lamat terdengar tergerus nafsu menghapus sila ”monoteisme” dengan
syahwat moneytheisme, di mana uang jadi tujuan utama yang menjadi cikal bakal
merebaknya korupsi sekarang.
Juga tentang bangsa yang
berada di ranking ke-63 dari 177 negara di dunia sebagai kelompok negara gagal.
Indonesia tidak lebih baik daripada negara tetangga, semisal Singapura (157),
Brunei (123), Malaysia (110), Vietnam (96), dan Thailand (84).
Tekanan demografis,
ketidakpuasan kelompok dengan menjamurnya kekerasan terhadap kelompok minoritas
dan aksi demonstrasi yang tidak terkendali, dan masalah sosial kemiskinan—baik
kultural ataupun struktural—yang semakin menggurita disebut-sebut menjadi sebab
utama kegagalan itu. Kegagalan membangun tata kelola negara yang benar.
Ujungnya, kegagalan menegakkan keadaban publik.
Kalau demikian adanya,
mungkin benar apa yang pernah ditulis penyair Sutardji Calzoum Bachri bahwa
diam-diam ”tanah air” itu telah bermetamorfosa menjadi ”tanah airmata”.
Saat ini kita merayakan
kemerdekaan di usia ke-67 dengan sejumlah pekerjaan rumah, karena substansi
kemerdekaan telah punah. Kemerdekaan di ambang batas absennya substansi politik
yang menawarkan akal sehat, hilangnya kesejahteraan dari ekonomi, raibnya
kepastian dari ranah hukum, dan punahnya kesantunan dari ruang sosial.
Nasib kemerdekaan Republik
Indonesia mungkin serupa dengan puasa yang setiap tahun kita lakoni. Puasa yang
semestinya menanamkan sikap beragama yang kian dewasa, dalam kenyataannya puasa
itu kerap berhenti sebatas ritus rutinitas formalistik. Jangankan di luar
Ramadhan, bahkan ketika sedang di bulan puasa pun yang mencuat adalah fakta
kontradiktif. Justru di bulan ini nafsu berbelanja seolah menemukan katupnya,
apalagi di pengujung Ramadhan: saat menyambut Lebaran.
Puasa kehilangan makna
sebagai ikhtiar melawan godaan syahwat kebendaan. Puasa lebih dimaknai sebagai
bentuk ”kekhawatiran transendental” dengan mengikuti keharusan perintah Tuhan
walaupun kehilangan pesan moral di belakangnya.
Memang di sana-sini tampak
lonjakan kegairahan beragama. Surau yang sesak, tayangan TV pun makin religius.
Bahkan, spanduk lembaga zakat tak kalah semarak dengan spanduk calon bupati,
gubernur, atau politisi narsis yang mengucapkan selamat hari raya di tiap
belokan jalan.
Namun, hampir dipastikan,
selepas Lebaran semuanya kembali pada habitat kita: cermin tentang sebuah
kegagalan menangkap pesan tersembunyi wahyu Sang Kuasa. Tak ubahnya kegagalan
kita menyingkap makna di balik pekik ”merdeka” yang dahulu digelorakan para
leluhur dengan darah dan air mata; lewat lapar dan dahaga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar