Kamis, 02 Agustus 2012

Proekonomi Kerakyatan

Proekonomi Kerakyatan
Imam Munadjat ; Alumnus S-3 Unair Surabaya,
Ketua Harian Sjafruddin Prawiranegara Centre for Islamic Finance Studies
Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang
SUARA MERDEKA, 02 Agustus 2012


DI tengah kegalauan masyarakat tentang pergeseran sistem ekonomi nasional dari ekonomi (amanat) konstitusi ke kapitalistik; juga dalam kondisi makin tertekannya kehidupan ekonomi masyarakat karena perekonomian nasional cenderung dikuasai asing, sebagaimana makin kita rasakan saat ini, pernah muncul secercah harapan seiring dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) 2012.

Ketika itu Prabowo Subianto mengatakan Harkitnas menjadi momentum kebangkitan kembali ekonomi rakyat Indonesia. Awalnya saya skeptis menanggapi tekad itu, jangan-jangan hanya retorika. Mengubah sistem yang telah berjalan dan membuat nyaman sebagian orang, bukan pekerjaan mudah.

Mengubah kemapanan paling tidak butuh dua hal. Pertama; komitmen yang dilandasai kesadaran dan semangat berubah untuk kepentingan rakyat banyak, dan kedua; power, kekuasaan untuk melakukan perubahan itu.

Mengapa kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan? Salah satu jawabannya adalah keresahan dan  kegalauan masyarakat terhadap sistem ekonomi Indonesia sebagaimana diungkap dalam diskusi Pekan Konstitusi UUD 1945, ''Amendemen dan Masa Depan Bangsa'' yang diselenggarakan International Conference of Islamic Scholars (ICIS).

Perubahan pasal-pasal UUD 1945 melalui amandemen tahun 2002, menjadi indikasi bangsa ini  kurang mempunyai kemerdekaan, kurang  berdaulat, serta kurang memperoleh keadilan dan kemakmuran. Yang sangat dirasakan, amendemen Pasal 33: masyarakat mengeluh telah terjadi penjajahan baru di Indonesia melalui dominasi asing dalam bidang ekonomi.

Gambaran dominasi itu diperlihatkan oleh bebas dan derasnya barang impor yang antara lain dimaknai sebagai penggusuran kepentingan petani oleh pihak asing melalui serangan beras, bawang, dan kentang justru pada musim panen yang mengakibatkan kerugian besar petani kita.

Menurut Sultan Hamengku Buwono X,  amendemen UUD tahun 2002 adalah titik awal pergeseran keberpihakan sistem perekonomian nasional. Sebelumnya, sistem perekonomian kita berpihak kepada rakyat. Melalui amendemen, secara tersembunyi dimasukkan sistem kapitalistik yang berakibat tak dapat dihindarinya dominasi kapitalisme pada pelaksanaan undang-undang atau peraturan lain sebagai penjelasan ataupun petunjuk pelaksanaannya.

Harga Sosial

Ekonomi pasar bebas menciptakan kompetisi ekonomi, menggiring economized, yakni lahirnya dunia yang tidak ramah, tidak demokratis, dan tidak manusiawi demi memenuhi ambisi dan keuntungan yang lebih tinggi. Sebuah paradoks antara angan-angan dan realitas. Bagaimanapun kapitalis tetap kapitalis, seperti kata Iraj Toutounchian (2009).

Kebersamaan, gotong royong, semengat saling menolong, kekeluargaan sebagaimana digagas ekonomi konsitusi kini makin jauh panggang dari api. Keberpihakan kepada (ekonomi) rakyat makin menjadi utopia ketika pejabat negeri ini makin leluasa mengizinkan pendirian mal dengan menggusur pasar tradisional.

Mal, supermarket, dan minimarket adalah simbol pembangunan ekonomi di banyak daerah. Membangun pasar tradisonal dianggap langkah mundur. Secara anekdotis Prof Swasono (2011), dalam seminar di Universitas Negeri Semarang (Unnes) menyindir kepala daerah yang terkagum-kagum mendapat pemasukan Rp 1 miliar dari royalti pemberian izin pendirian restoran siap saji di dekat alun-alun kotanya.

Bangga dengan besarnya royalti tetapi tak pernah berpikir besaran ekonomi rakyat yang hilang tersedot pasar modern yang sanggup memberikan royalti sebesar itu. Kebanggaan alun-alun sebagai tempat berkumpul dan berjualan makanan tradisional masyarakat tidak pernah disadari telah begeser, bahkan hilang, demi membayar harga sosial dan ekonomi. Persoalannya, tidak mudah mengembalikan pola pikir ekonomi konstitusi masyarakat, apalagi mengeliminasi pikiran kapitalistik pejabat dan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar