Rabu, 15 Agustus 2012

Paradigma Parsel

Paradigma Parsel
Susidarto ; Praktisi Bisnis Perbankan
REPUBLIKA,  15 Agustus 2012


Setiap kali mendekati perayaan Hari Raya Idul Fitri, persoalan bingkisan parsel senantiasa mengundang kontroversi tersendiri. Maklum, di balik gebyar peringatan hari besar keagamaan itu, parsel senantiasa hadir menyertainya.
 
Bahkan, bisnis parsel belakangan ini semakin menggurita, menjadi sebuah bisnis dengan omzet miliaran rupiah. Bisnis parsel telah berubah menjadi bisnis musiman yang menggiurkan dan menjadi tumpuan banyak kalangan.

Karena skalanya mega maka orang yang terlibat dalam bisnis ini juga sangat besar. Mulai dari para pengrajin keranjang parsel, penjual keranjang parsel, kemudian para produsen barang pengisi parsel yang sangat beragam, mulai dari makanan dan minuman ringan, buah-buahan, hingga berbagai barang kebutuhan lainnya. Belum lagi, bicara tentang berbagai outlet toko ataupun pedagang yang menawarkan parsel. Pendek kata, bisnis ini telah berubah menjadi bisnis skala raksasa yang melibatkan berbagai industri, mulai dari hulu hingga hilir.

Motif Tak Sehat

Fenomena parsel, hadiah, bingkisan, atau apa pun namanya jika ditelurusi memang menunjukkan satu ciri khas. Bahwa, di balik setiap pemberian parsel sekecil apa pun, pasti terkandung motif-motif (agenda) tertentu di dalamnya.
Sangat jarang, misalnya, seseorang mengirim parsel tanpa motif apa pun.
Bisa saja motifnya sederhana, agar pesahabatan bisa langgeng, agar relasi bisnis tidak putus di tengah jalan, atau alasan dan motif lainnya. Intinya, tanpa itu semua, bisnis parsel tidak akan berkembang pesat.

Singkatnya, pasti ada motif tertentu di balik pemberian parsel. Baik si pengirim parsel maupun si penerima parsel, biasanya, sudah memiliki hubungan (bisnis) tertentu sebagai pihak yang menerima maupun memberi sebuah aktivitas/ kegiatan/proyek tertentu. Oleh sebab itu, parsel merupakan refleksi dari hubungan yang baik (simbiosis mutualisme) antara pihak-pihak yang terlibat. Dan dengan parsel, hubungan itu dapat semakin ditingkatkan.

Jika kemudian ranah (wilayah) parsel ini berkembang menyeruak di kalangan para pejabat negara seperti fenomena yang mendukung premis di atas dapat dikatakan bahwa pasti ada “udang di balik batu” di balik setiap pemberian bingkisan parsel. Tanpa ada hubungan dan motivasi semacam itu, rasa-rasanya parsel juga tidak banyak muncul ke permukaan. Oleh sebab itu, tidak terlalu mengherankan kalau masalah parsel ini kembali diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengantisipasi maraknya budaya suap dan sogok secara halus.

Untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, KPK belum lama ini kembali mengingatkan seluruh jajaran penyelenggara negara dan jajaran direksi badan usaha milik negara (BUMN) untuk tidak memberi dan menerima parsel. Parsel dalam kadar/jumlah tertentu dapat dikategorikan dalam pengertian suap. Terlebih belakangan ini, bingkisan parsel sudah berubah wujud. Parsel tidak hanya berwujud paket makanan dan minuman ringan, namun sudah berubah bentuk mulai dari perlengkapan memasak, perlengkapan tidur, kristal, handphone, barang elektronik, dan lainnya yang nilainya bisa mencapai Rp 20 juta.

Maklum, seperti diungkapkan di atas, setiap pemberian parsel pasti dilandasi motif (bisa positif maupun negatif) tertentu. Pemberian parsel yang dilakukan dengan motif agar si penerima parsel akan merasa “utang budi” dan kemudian memberi semacam “proyek”, setidaknya dapat dikategorikan sebagai bentuk uang sogok atau uang suap kemasan baru. Terlebih, apabila jumlahnya cukup besar, bisa dipastikan merupakan bentuk suap terselubung, suap halus, suap tertutup. Namun, apa pun namanya, hakikatnya adalah suap.

Paradigma Baru

Inilah sulitnya membedakan fenomena parsel sebagai bentuk pemberian yang tulus ikhlas dibandingkan dengan zakat, derma, hibah, atau pemberian karitas lainnya. Bisakah parsel disamakan dengan semua pemberian tanpa “ikatan apa-apa“ layaknya zakat dan kawan-kawannya itu? Bisakah parsel disamakan dengan pemberian hadiah tanpa motivasi apa-apa? Kendati sulit, inilah tantangan baru.

Kita semua harus memulai kebiasaan dan paradigma baru bahwa parsel seharusnya merupakan pemberian hadiah dari atasan ke bawahan atau dari pihak yang memiliki kelebihan ke pihak yang masih kekurangan. Para pejabat atau orang yang sudah berkecukupan jangan justru menjadi objek pemberian parsel. Sebaliknya, mereka justru yang seharusnya memberikan parsel ke pihak yang masih kekurangan/bawahan.

Kendati sangat jarang dijumpai parsel dikirim oleh menteri tertentu ke bawahannya setingkat dirjen atau pejabat BUMN, dari atasan ke bawahan, atau dari pemilik/pemberi proyek ke penerima proyek sudah saatnya dimulai.
 
Bingkisan/hadiah parsel semestinya dikirim dari orang-orang kaya ke orang-orang miskin di sekitarnya. Fenomena semacam itu sangat langka terjadi.

Oleh sebab itu, jangan disalahkan kalau ada yang memahami bahwa parsel sangat dekat dengan fenomena suap dan sogok dalam bentuk yang sangat halus. Ia berkorelasi dengan pemberian dengan motif untuk menerima “sesuatu“ kelak di kemudian hari. Bingkisan parsel, semestinya bersifat netral dan seharusnya merupakan wujud karitas (berbagi) dengan sesama.

Sedari awal, parsel sendiri sebenarnya merupakan bingkisan yang memiliki arti sebagai barang pemberian sebagai tanda bakti, hormat, dan sebagainya. Parsel hakikatnya sama dengan pemberian hadiah. Sedangkan, suap memiliki pengertian sebagai uang sogok.

Sayangnya, parsel kemudian berubah menjadi pemberian yang berkonotasi suap dan sogok. Parsel semestinya dikembalikan ke pengertian semula hanya sekadar pemberian untuk tali asih agar persaudaraan bisa langgeng agar hubungan yang sudah ada menjadi lebih baik lagi. Sederhana saja kok, tidak usah dibikin ruwet. Marilah kita memulai berbagi parsel bagi sesama yang kurang beruntung, yang masih kekurangan, dan yang miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar