Memiskinkan
Koruptor
|
Rimawan Pradiptyo ; Dosen Jurusan
Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS,
22 Agustus 2012
Ide memberikan hukuman untuk
menjerakan koruptor banyak dikemukakan oleh para pihak di negeri ini. Mulai
dari ide pengenaan seragam khusus, pembangunan penjara khusus, pemiskinan
koruptor, hingga hukuman mati.
Upaya pemiskinan koruptor
mendapat dukungan luas masyarakat. Koruptor dipercaya sebagai individu serakah
dan selalu berusaha menumpuk harta. Jika harta menjadi tujuan utama, logis
untuk memiskinkan koruptor karena kemiskinan adalah hal yang dipercaya paling
menakutkan koruptor. Strategi ini dianggap memberikan efek jera kepada koruptor
dan mampu mencegah orang untuk melakukan korupsi. Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah apakah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No 31/1999 jo UU
No 20/2001) yang ada sekarang memungkinkan upaya untuk memiskinkan koruptor?
Evaluasi atas putusan
pengadilan terhadap koruptor bisa dilakukan dengan menggunakan data putusan
Mahkamah Agung dari tahun 2001 hingga 2009, terdiri atas 549 kasus dengan 831
orang terdakwa. Berdasarkan data ini, terbukti bahwa koruptor skala gurem
(merugikan negara/ perekonomian negara kurang dari Rp 10 juta) dan skala kecil
(antara Rp 10 juta dan kurang dari Rp 100 juta) mendapat hukuman lebih berat
daripada koruptor skala menengah, besar, dan kakap.
Perlu dicatat, koruptor
skala menengah merugikan keuangan/perekonomian negara senilai Rp 100 juta
sampai kurang dari Rp 1 miliar, koruptor besar senilai Rp 1 miliar sampai
kurang dari Rp 25 miliar, dan koruptor kakap dengan nilai Rp 25 miliar ke atas.
Jenis Hukuman
Jenis hukuman yang
dijatuhkan kepada koruptor, antara lain, adalah penjara/ kurungan badan, denda,
denda subsider, uang pengganti, subsider uang pengganti, perampasan barang
bukti, dan biaya peradilan.
Ditinjau dari lama hukuman
penjara, rata-rata lama penjara yang dijatuhkan MA kepada koruptor dari
berbagai skala adalah 58,8 persen dari lama penjara yang dituntut. Koruptor
gurem, kecil, dan sedang rata-rata dituntut penjara berturut- turut 1 tahun 10
bulan, 1 tahun 9 bulan, dan 4 tahun 5 bulan.
Ketika kasus mencapai MA,
hukuman penjara yang dijatuhkan kepada koruptor adalah 1 tahun 2 bulan untuk
koruptor gurem, 1 tahun 3 bulan untuk koruptor kecil, dan 2 tahun 9 bulan untuk
koruptor sedang.
Selanjutnya, koruptor besar
dan kakap rata-rata dituntut penjara masing-masing 6 tahun 7 bulan dan 9 tahun
8 bulan. Meski demikian, rata-rata lama penjara yang dijatuhkan MA adalah 3
tahun 8 bulan untuk koruptor besar dan 4 tahun 10 bulan untuk koruptor kakap.
Perlu dicatat, lama penjara
ini adalah lama penjara rata-rata yang diputuskan di tingkat MA. Kenyataannya,
sebagian besar koruptor tidak perlu tinggal di penjara sepanjang masa hukuman
karena selalu ada keringanan hukuman yang diberikan pemerintah setiap tahun.
Biasanya hukuman penjara yang dijalani koruptor 50-65 persen dari lama penjara
yang dijatuhkan MA.
Mari kita definisikan hukuman
finansial sebagai penjumlahan dari nilai denda, uang pengganti, dan nilai uang
hasil korupsi yang disita pengadilan. Biaya pengadilan tidak dimasukkan dalam
definisi ini mengingat hanya berkisar Rp 2.500 sampai Rp 10.000 sehingga
nilainya bisa diabaikan. Perlu dicatat bahwa nilai biaya pengadilan tersebut
tidak memperhitungkan berapa kali dan berapa lama sidang digelar untuk suatu
kasus.
Tercatat 22 pelaku korupsi
skala gurem dan 128 pelaku korupsi skala kecil dinyatakan bersalah oleh MA.
Total nilai kerugian yang diakibatkan oleh koruptor gurem dan kecil
berturut-turut Rp 108,4 juta dan Rp 6,3 miliar. Angka ini didasarkan pada harga
konstan tahun 2009.
Meski demikian, koruptor
gurem dan kecil dituntut hukuman finansial hampir 17 kali dan hampir 2 kali
lipat dari kerugian eksplisit yang mereka akibatkan. MA mengganjar koruptor
gurem dan kecil dengan hukuman finansial senilai hampir 11,5 kali dan 4 kali
lipat dari kerugian yang mereka akibatkan.
Yang Besar Diuntungkan
Hal sebaliknya justru
terjadi pada koruptor skala besar dan kakap. Tercatat 122 koruptor besar dan 30
koruptor kakap yang dinyatakan bersalah oleh MA. Total kerugian
negara/perekonomian negara yang diakibatkan koruptor besar dan kakap
berturut-turut adalah Rp 735,5 miliar dan Rp 72,2 triliun (harga konstan tahun
2009). Dari nilai kerugian tersebut, kedua
kelompok hanya dituntut membayar hukuman finansial sebesar 65,6 persen untuk koruptor besar dan 44
persen untuk koruptor kakap. Putusan MA mengganjar mereka dengan hukuman
finansial masing-masing 49,4 persen (koruptor besar) dan 6,7 persen (koruptor
kakap) dari kerugian negara yang mereka akibatkan.
Biaya eksplisit korupsi dari
tahun 2001 hingga 2009 senilai Rp 73,01 triliun. Namun, total nilai hukuman
finansial yang dijatuhkan hanya Rp 5,32 triliun (harga konstan 2009). Selisih
nilai keduanya adalah Rp 67,75 triliun, dan celakanya bukan dibayar oleh
koruptor, melainkan justru menjadi beban para pembayar pajak yang budiman.
Dalam hal ini, pembayar pajak bukanlah terbatas pada mereka yang memiliki NPWP
saja.
Para mahasiswa yang mengisi
pulsa, anak-anak yang membeli permen, dan ibu-ibu rumah tangga yang membeli
sabun colek adalah juga pembayar pajak. Di sinilah terjadi ironi, di mana di
Indonesia justru koruptor yang kaya disubsidi oleh rakyat yang sebagian besar
miskin!
Temuan di atas membuktikan
bahwa pemberian hukuman terhadap koruptor ternyata dipengaruhi skala korupsi
yang dilakukan. Semakin besar korupsi yang dilakukan, semakin (relatif) ringan
hukumannya jika dibandingkan dengan hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor
skala rendah. Pelaksanaan UU Tipikor memiskinkan koruptor gurem dan kecil,
tetapi justru menguntungkan koruptor besar dan kakap.
Setelah memahami fenomena
ini, sebagian besar orang mungkin akan menyalahkan para hakim karena telah
memberikan hukuman yang ringan kepada koruptor besar dan kakap. Kesimpulan ini
belum tentu seluruhnya benar mengingat hakim dilarang menjatuhkan hukuman lebih
berat daripada yang telah diatur dalam UU Tipikor.
Aturan Undang-Undang
UU Tipikor secara jelas
mengatur bahwa maksimum denda adalah Rp 1 miliar dan maksimum penjara/kurungan
adalah 20 tahun. Ironisnya, di sisi lain, UU Tipikor mengatur bahwa korupsi
dengan nilai minimum Rp 5 juta atau lebih saja yang akan ditangani. Ini
berarti, nilai korupsi bisa bernilai tak berhingga rupiah atau bahkan senilai
APBN, dengan kepastian hukum bahwa koruptor tidak akan didenda lebih dari Rp 1
miliar.
Lalu, siapa yang bertanggung
jawab dalam pembuatan undang-undang seperti ini? Tentu saja para legislator
(pembuat undang-undang), yang tak lain dan tak bukan adalah para wakil rakyat
di Senayan. Inilah fakta yang menyesakkan dada, tetapi terjadi di Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar