Jumat, 10 Agustus 2012

Membumikan Takwa


Membumikan Takwa
Abd A’la ; Guru Besar IAIN Sunan Ampel
KOMPAS, 10 Agustus 2012

Seiring kehadiran bulan Ramadhan 1433 H, umat Islam—tak terkecuali Muslim Indonesia—kembali menjalankan kewajiban puasa sebulan penuh.

Kewajiban ini tentu tak berlaku bagi yang berhalangan atau mendapat kemudahan secara agama. Kendati demikian, mereka harus tetap menangkap makna puasa dan menyebarkan nilai-nilai puasa dalam kehidupan. Melalui puasa, penguatan moralitas luhur, sebagaimana dijelaskan dalam Al Quran dan sunah Rasul diharapkan akan terjadi pada setiap individu Muslim. Pada gilirannya hal itu harus berdampak konkret pada kehidupan sosial. Persoalannya, apakah puasa kita sudah seperti itu atau belum, fenomena di sekitar bisa menjadi salah satu indikator.

Jika mau jujur, fenomena kehidupan yang menguat hingga saat ini tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda menuju kualitas kehidupan yang lebih baik sebagaimana tujuan dari puasa. Sekelumit contoh bisa diangkat dalam hal ini. Di jalan raya, para pengendara yang tentunya sebagian besar Muslim tetap saja mengemudikan kendaraan seenaknya. Sama seperti sebelum puasa tiba, mereka tetap kurang memperhatikan pengguna jalan yang lain. Kesantunan dan ketaatan pada peraturan tetap sulit ditemukan.

Di perkantoran pun setali tiga uang. Geliat untuk mengedepankan prestasi dan kerja keras, terutama di kalangan pegawai negeri, masih sulit dilihat secara mudah. Sebagian (besar?) mereka justru sekadar masuk kantor dan—jika bisa—mereka akan berusaha pulang secepatnya.

Kejahatan dalam bentuk korupsi atau kejahatan kerah putih lainnya tampaknya juga tetap berjalan ”normal”. Semua ini dilakukan oleh orang atau oknum yang bisa saja tetap menjalankan puasa. Sebagaimana dapat dibaca di media massa cetak dan ditonton di media elektronik, dugaan atau kasus korupsi tetap bermunculan hingga pada bulan puasa ini. Di balik itu, aparat penegak hukum terkesan kuat masih sedemikian lamban bertindak dan menuntaskan masalah sampai ke akarnya. Bahkan, nuansa politis dan penegakan hukum yang tebang pilih demikian kental terasa di mana-mana.

Konkretnya, gema Ramadhan lebih kelihatan pada semarak ritual bukan pada perubahan sikap dan perilaku masyarakat. Bahkan, budaya konsumtif yang sejatinya bertentangan dengan tujuan puasa menggejala kian kuat justru saat Ramadhan.

Bertentangan

Maraknya dosa atau kejahatan sosial itu senyatanya bertentangan secara diametral dengan tujuan puasa itu sendiri. Al Quran, surat Al-Baqarah ayat 183 menyebutkan dengan tegas, tujuan puasa adalah untuk mengantarkan setiap Muslim menjadi insan-insan yang bertakwa.

Ironisnya, ketakwaan sering diidentikkan sekadar kerajinan menjalankan ritual agama, semacam ketekunan menjalankan shalat malam, seringnya mengkhatamkan Al Quran, kesinambungan beriktikaf di masjid, dan sejenisnya. Penekanan pada transformasi nilai-nilai luhur ke dalam sikap dan perilaku kurang diperhatikan.

Implementasi nilai-nilai ketakwaan di ranah publik juga kurang mendapat ruang cukup luas untuk diupayakan secara sungguh-sungguh. Lebih dari itu, ukuran keberhasilan puasa sering hanya dikaitkan dengan kesemarakan tadarus Al Quran di masjid-masjid. Paling banter, indikator yang digunakan terkadang hanya diukur dari banyaknya penutupan tempat hiburan atau penyisiran minuman keras.

Kerajinan menjalankan berbagai ibadah tentu penting dan mutlak. Namun, lebih penting lagi adalah bagaimana umat Islam dapat menangkap makna di balik semua ibadah itu dan ber-mujahadah mengaktualisasikannya dalam kehidupan sosial. Dengan begitu, makna itu menemukan titik labuhnya dalam kehidupan.

Dalam konteks ini, apa yang disampaikan sahabat Ubay bin Ka’ab kepada Umar bin Khattab—mengenai takwa—menarik dicermati. Menurut Ubay, hakikat takwa adalah berusaha menghilangkan kejahatan di ranah publik secara intens, sistematis, dan berkelanjutan.

”Puasa” Sepanjang Masa

Kesenjangan cukup lebar antara tujuan puasa dan fenomena yang berkembang meniscayakan kita untuk mengevaluasi diri. Kita pun perlu mengagendakan strategi dan langkah konkret agar puasa bisa lebih bermakna. Keberpuasaan diharapkan benar-benar bernilai takwa yang dapat memberikan pencerahan dan kebaikan bagi kehidupan masyarakat dan bangsa.

Pencapaian ke arah itu menuntut kita untuk meneguhkan kembali niat puasa dan mengembalikan makna puasa ke makna asalnya. Dalam ajaran Al Quran, puasa jelas bukan tujuan, melainkan sarana untuk menggapai ketakwaan. Perlu ketulusan dan kejernihan hati untuk melakukan hal itu. Dalam ungkapan lain, sekali kita berniat berpuasa pada saat itu pula kita harus berkomitmen mengendalikan diri dari dorongan kejahatan nafsu dari yang tersamar hingga yang paling jelas. Setelah itu, kita lalu bersungguh-sungguh mengembangkan kebaikan, terutama yang akan berdampak nyata pada kehidupan sosial.

Tak cukup dengan itu. Agenda yang perlu dikedepankan adalah menjadikan komitmen itu tak bersifat individual semata. Ia harus menjadi sistem yang mampu mendorong setiap orang untuk melakukan hal serupa. Pada sisi ini, organisasi keagamaan mutlak tidak sekadar mengedepankan program yang berorientasi pada penyebaran kebaikan dan pencegahan terjadinya kemungkaran atau kejahatan semata. Lebih dari itu, organisasi-organisasi tersebut harus mewujudkan diri sebagai semacam lembaga penjamin mutu keberagamaan umat. Setiap organisasi keagamaan diharapkan mampu mengembangkan pola quality assurance yang dapat memantau religiositas setiap anggotanya.

Untuk itu, unit struktur paling bawah dari tiap-tiap jam’iyah itu, misalnya, diberi amanah berperan melakukan semacam pemantauan. Jika ada anggota organisasi yang melakukan hal-hal yang menyimpang dari pola keberagamaan yang digariskan organisasi, mereka hendaknya diberikan pembinaan melalui pola-pola yang dialogis dan memberdayakan.

Bisa saja hal itu dianggap mengada-ada dan tidak realistis, tetapi bukan sesuatu yang tak mungkin. Melalui pertemuan bulanan anggota, minimal pengurus di tingkat bawah yang langsung berhubungan dengan warga, upaya pengembangan semacam penjaminan mutu keberagamaan umat jadi agenda yang sangat mungkin, menantang, dan menarik dikembangkan.

Melihat karut-marut kehidupan bangsa yang dari saat ke saat tidak pernah terselesaikan secara tuntas, puasa kali ini perlu dijadikan momen untuk mengagendakan hal itu. Jika program ini bisa dijalankan, ketakwaan tidak lagi sekadar berwujud serpihan nilai yang hanya bermanfaat bagi pelaku, tapi akan jadi sistem kokoh yang akan membuahkan hasil besar bagi perubahan kehidupan umat. Bahkan hal itu akan sangat bermakna transformatif bagi pencerahan bangsa dan masyarakat secara keseluruhan.

Mari kita tunggu organisasi-organisasi Islam meresponsnya. Pemerintah tentu mutlak mendukung dengan penerapan kebijakan yang berbasis moralitas luhur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar