Kosmologi
Keteladanan
Jannus TH Siahaan ; Pengamat Masalah Sosial dan Tinggal di
Bogor, Jawa Barat
|
SINAR
HARAPAN, 15 Agustus 2012
Kehidupan, sejatinya tak lebih dari jalinan
teladan yang berlangsung secara berkelindan. Sang Maha Pencipta telah menurunkan begitu
banyak firman suci untuk dijadikan pedoman bagi semua makhluk. Firman-firman
itu ada yang terkodifikasi dalam kitab suci, tetapi ada juga yang terserak di
jagat raya alam semesta dalam bentuk isyarat-isyarat.
Kehidupan, dengan begitu adalah manifestasi
dari kehendak Tuhan yang terejawantah melalui teladan yang Dia kalamkan dalam
alam semesta.
Maka sejujurnya pula tak ada yang “baru” dari segenap peristiwa yang terjadi di bentangan alam semesta selain pengulangan yang bertubi-tubi dari tumpukan kisah-kisah lama mengenai kemanusiaan.
Di sinilah sejarah menjalankan perannya. Peran itu akan diulang lagi, didaur ulang dan terjadi lagi pada setiap kurun yang berbeda-beda. Memang pelakunya berbeda, tetapi perannya nyaris tak ada yang baru. Kemunculan raja yang lalim selalu menemukan antitesisnya pada lahirnya seorang kestaria yang baik hati.
Drama seperti itu akan terus terjadi sampai Tuhan menggulung sendiri tirai panggung pementasan kehidupan. Karena semuanya pengulangan maka cerita kehidupan tak membutuhkan skenario baru pula.
Kita, manusia, tinggal menjalankan peran sesuai yang telah digariskan Tuhan melalui skenario yang terserak dalam banyak firman-Nya. Hanya mereka yang arif dan bijak saja yang akan mampu menangkap pesan-pesan Tuhan agar kehidupan dalam (dapat?, red.) dikelola dengan baik.
Kehidupan adalah panggung bagi siapa saja untuk memilih tawaran peran-peran yang telah dituliskan. Penerjemahan peran dalam praktik akan berjalan baik jika dilakukan sesuai skenario dan garis-garis yang ditetapkan Sang Sutradara. Karena itu, janganlah kita meminta sebuah peran dalam kehidupan jika, dengan segala kelebihan dan kekurangan, kita menyadari tidak akan sanggup memerankannya. Kelemahan kita sering terutama karena tidak menyadari betapa peran itu sesungguhnya bukanlah untuk kita.
Hal yang lebih ironis adalah jika keinginan untuk mendapatkan peran justru datang karena beragam motivasi tersembunyi, ambisi terselubung dan niat buruk. Dalam situasi demikian, kesadaran akan ketidakmampuan sebenarnya sudah muncul, tetapi nafsu angkara yang begitu kuat telah mencampakkan ke luar dunia realitas.
Inilah salah satu situasi terburuk ketika seseorang mengetahui bahwa dirinya tidak tahu, tetapi malah merekayasa situasi agar orang-orang di sekitar dapat dikelabui sehingga menyebut dirinya “orang yang tahu”.
Cermin Kejujuran
Lihatlah! Betapa semakin bengkak jumlah orang yang untuk mendapatkan peran tertentu dalam kehidupan, sering mematut-matut diri di depan cermin kejujuran.
Bayangkan, untuk kepentingan itu, tak jarang
di antara kita yang sampai hati menjual firman Tuhan dengan menggadaikan
kejujuran di depan cermin nurani. Padahal, sampai
kapan pun, sesuai fitrahnya, cermin akan tetap memantulkan gambar “apa adanya”
sesuai sosok yang tampak; bukan tampilan “ada apanya” sesuai keinginan kita.
Dalam konteks kehidupan kemasyarakatan, ketatanegaraan, serta kebangsaan Indonesia, sejarah pun telah berulang dan berulang secara signifikan pula. Paling kurang, rezim Orde Lama ditumbangkan oleh penguasa Orde Baru dan diyakini harus ditinggalkan agar rakyat Indonesia dapat berkonsentrasi melakukan pembangunan. Namun karena menjalankan sebagian peran yang salah dari Orde Lama, Orde Baru akhirnya ditumbangkan oleh pejuang reformasi. Kini, rezim Orde Reformasi tengah bekerja keras untuk mendapatkan sintesis antara Orde Lama dengan Orde Baru.
Dalam masa-masa pencarian sintensis tersebut, beberapa periode kepemimpinan nasional sudah dilalui. Dalam kaitan itu pula, peran-peran penting dan peran-peran tak penting yang dimainkan adalah baju lama yang sudah disiapkan sejak berdirinya Orde Lama dan dikenakan oleh Orde Baru.
Kini, karena pencarian sintesis seperti berada dalam lubang labirin, kenangan masa lalu mendadak muncul lagi. Maka tidak sedikit di antara kita yang merasa sebagai pihak yang paling representatif mewakili kekuatan masing-masing orde.
Situasi ini terjadi di setiap tingkatan pada setiap kelompok dalam masyarakat. Akibat terjadinya hubungan dialektis antarberbagai peran itu, jamaknya panggung kehidupan, maka untuk entah yang ke berapa kalinya, akan ada lagi pengulangan peran.
Akan tetapi kebaikan akan selalu berjalan paralel dengan keburukan. Kebaikan jelas tujuan akhirnya dan keburukan juga telah ditetapkan ujungnya. Tuhan sudah menjelaskan dalam firman-Nya dan Dia mustahil mengingkari janji-Nya. Namun begitu, Tuhan selalu membuka penawaran. Syaratnya, negosiasi masih mungkin dilakukan di atas pentas kehidupan.
Jika kehidupan berada di ujung, begitu banyak kitab suci menjelaskan, maka segala bentuk negosiasi hanya akan menjadi sia-sia. Demikianlah persepsi yang dapat kita tangkap dari pesan-pesan tertulis. Namun, kalau kita masih bisa berharap munculnya “keajaiban”, tentu Tuhan Maha Kuasa melakukan semuanya. Mengapa? Karena kita tak lebih dari wayang dengan serangkaian teladan peran yang sudah ditawarkan Tuhan.
Sebagaimana kita lahir sendirian maka kita juga akan dijemput maut
sendirian. Tuhan akan memanggil kita sendiri-sendiri ke hadapan-Nya. Mungkinkah ada yang menemani dan membela kita di sana? Demikianlah kosmologi keteladan telah dipersiapkan Tuhan agar kehidupan dapat berlangsung sebagaimana telah dikehendaki oleh-Nya.
Kosmologi keteladanan merupakan cermin paling terang benderang yang tidak menyisakan ruang untuk lahirnya tafsir ganda. Dalam cermin kosmologi keteladanan kebaikan terang adanya dan keburukan jelas adanya.
Mencampuradukkan keduanya akan menempatkan kita dalam kemunafikan. Inilah dunia paling absurd, dunia yang yang paling tidak disukai oleh siapa pun. Bahkan, Tuhan sekalipun tak berkenan “diduakan”.
Peran-peran itu seperti berjejeran di dalam lemari firman. Ada peran protagonis seperti pemimpin yang baik, pedagang, ulama, kiai, pendeta, pastor, kardinal, imam, moralis, presiden, gubernur, bupati, walikota, camat, kepala desa, lurah, kepala dusun, ketua RW, ketua RT yang semuanya baik.
Tapi ada juga antagonis, seperti dengan peran yang sama, pemimpin yang culas, pedang yang culas, ulama dan kiai yang culas, pendeta dan pastor yang culas, serta yang terutama adalah presiden, gubernur, bupati, wali kota, camat, kepala desa, lurah, kepala dusun, ketua RW serta ketua RT yang semuanya culas. Kapankah semua peran itu mulai mewujud? Ada sejak dunia ini diciptakan dan melakukan tugasnya sejak kehidupan dimulai.
Bahkan, menurut keyakinan keagamaan kita, peran-peran itu sudah ada sejak Tuhan menetapkan garis nasib semua anak manusia. Demikianlah kosmologi keteladanan akan terus berulang dan berulang.
Pepatah mengatakan bahkan keledai pun tak sudi terperosok dua kali ke dalam lubang yang sama. Para pemimpin dan kita semua pernah mengalami kegagalan, karena itu jangan lagi mengambil peran sebagai orang-orang yang gagal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar