Kamis, 16 Agustus 2012

Konsep Fitrah dan Kejahatan Sistemik


Konsep Fitrah dan Kejahatan Sistemik
Novriantoni Kahar ; Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina
KORAN TEMPO, 16 Agustus 2012


Setiap hari raya Idul Fitri, kata "fitrah" menjadi trending topic pembicaraan para khatib dan alim ulama. Namun sedikit sekali dari mereka yang menjabarkan makna fitrah secara filosofis. Padahal ini merupakan topik penting dalam filsafat etika. Pertanyaan dasarnya: apakah watak primordial manusia itu baik atau jahat? 

Filsuf Stoik dan Sokrates menyatakan bahwa pada dasarnya watak manusia itu baik. Mereka akan jahat bila bergaul dengan orang-orang yang jahat. Akibat bergaul dengan kejahatan, manusia condong memperturutkan nafsu, tanpa mempertimbangkan baik-buruk tindakan mereka.

Filsuf lain, seperti Plotinus, cenderung menyatakan bahwa watak primordial manusia pada dasarnya jahat. Mereka tak akan menjadi baik kecuali melalui pembinaan dan pendidikan. Namun ada saja jenis manusia yang benar-benar jahat dan tidak mungkin dapat diubah dengan cara-cara pembinaan dan pendidikan. Immanuel Kant dan kaum behavioris cenderung menandaskan bahwa seorang bayi, sejak lahir sampai umur tertentu, sesungguhnya tak punya kehidupan etis. Karena itu, watak dasar mereka tak bisa disifati baik-buruk, karena mereka belum mampu menalar perbuatan. 

Kelompok terakhir ini berpendapat bahwa manusia pada dasarnya baik, tapi itu sedikit. Yang juga sedikit adalah mereka yang benar-benar jahat dan tak mungkin diubah. Bagian terbesar dari umat manusia ada di tengah-tengah. Dengan pembinaan, mereka akan menjadi orang baik. Dan lewat pergaulan dengan orang-orang jahat, mereka akan menjadi jahat. Lalu bagaimana pandangan filsafat etika Islam tentang watak dasar manusia?

Filsafat Etika Islam

Dalam filsafat etika Islam, konsep fitrah merupakan konsep yang sangat sentral. Yang dimaksud dengan fitrah adalah "kesiapan dasar primordial pada diri manusia untuk menerima kebaikan-kebaikan". Kesiapan dasar itu secara transendental sudah terinstal dalam diri manusia sejak zaman azali. 

Menurut Murtada Mutahhari dalam kitab Al-Fitrah, datangnya para nabi pun merupakan respons saja terhadap kesiapan dasar manusia. Pada pokoknya, para nabi dan para bijak bestari hanya berfungsi menyalakan kembali kesiapan dasari yang sudah tersimpan di dalam diri tiap-tiap manusia untuk berbuat baik. Apa yang diinginkan manusia lewat fitrahnya, itu pulalah yang disampaikan para nabi dalam misinya. Para nabi tidak memulai misi dari sesuatu yang nihil (alla syai), namun menstimulasi kesiapan dasar yang benar-benar sudah ada pada jiwa manusia (Mutahhari, 1990: 198).

Konsep fitrah sebagai kesiapan dasar untuk menerima kebajikan ini tersimpulkan dari beberapa ayat Al-Quran. Surat Al-Rum ayat 30, misalnya, menyatakan: "Tegakkanlah mukamu untuk menyambut agama secara lapang dada. Itulah fitrah Tuhan yang telah disematkan-Nya kepada umat manusia." Menurut Mutahhari, yang dimaksud fitrah di sini adalah jenis tertentu dari watak manusia yang sudah tercipta secara semula. Watak dasar yang siap sedia menerima kebajikan itulah yang merupakan tabiat manusia yang tidak akan berubah. Namun seperti apakah watak dasar manusia itu? 

Konsep "perjanjian primordial" atau al-mitsaq, yang terjalin antara manusia dan Tuhan di 
zaman azali, menjelaskan karakter dasar watak tersebut. Al-Quran surat Al-A'raf ayat 172 menyegarkan memori manusia akan perjanjian primordial antara anak cucu Adam dan Tuhan. Konon Tuhan bertanya, bukankah engkau mengenal aku sebagai Tuhanmu? Manusia menjawab: tentu saja! Lewat perjanjian primordial itu, secara metaforis manusia dikonsepsikan sebagai makhluk yang secara naluriah gampang mengenal kebenaran dan kebajikan. Pengenalan akan kebenaran dan kebajikan itu, secara esoteris, merupakan manifestasi dari pengenalan akan Tuhan.

Namun perjanjian primordial rupanya tak hanya melibatkan Tuhan dan manusia. Di lain kisah, ada pula janji segi tiga antara Tuhan, manusia, dan setan. Dalam surat Yasin ayat 60 dijelaskan bahwa manusia berikrar kepada Allah untuk tidak menyembah setan sebagai simbolisasi segala kejahatan. Ini artinya, sekalipun manusia pada dasarnya memiliki kesiapan dasar untuk mengenal kebajikan, godaan akan kejahatan selalu tersedia pula baginya. Dalam surat Al-Balad ayat 10 dijelaskan bahwa kepada manusia memang ditunjukkan rute dua jalur sekaligus. Tinggal berpulang kepada mereka untuk memilih jalur mana yang akan ditempuh. 

Karena itu, sekalipun memiliki kesiapan dasar untuk kebajikan, tarikan menuju kejahatan juga tidak kalah hebatnya pada umat manusia. Dalam hadis yang dikeluarkan At-Tirmidzi dinyatakan bahwa "Setiap bayi yang dilahirkan orang tua kafir atau muslim pada dasarnya mempunyai kesiapan dasar yang sama (fitrah). Hanya, simbol kejahatan--berupa setan--akan senantiasa menghampiri dan menyelewengkannya dari jalur kebajikan." Hadis yang lebih populer lagi secara spesifik menekankan pentingnya peran orang tua dalam menentukan baik-buruk anaknya kelak. Oleh Muthahhari, yang dimaksud orang tua di sini tak lain adalah faktor-faktor eksternal non-primordial yang akan mempengaruhi watak dan karakter si anak di suatu hari kelak.

Kejahatan Sistemik

Dalam kitab Al-Aqidah min Khilal al-Fitrah fi al-Quran, Ayatullah Jawadi Amili menyebutkan bahwa, dalam kehidupan nyata, fitrah dasar manusia pada hakikatnya akan selalu dalam tegangan antara imbauan-imbauan kebajikan (indzar) yang disuarakan para nabi dan bijak bestari dengan godaan dan rayuan kejahatan (waswas) yang dikumandangkan setan sebagai simbolisasi kejahatan. Tarik-menarik antara energi kebajikan dan kejahatan itulah yang akan selalu berlaku di alam raya. 

Karena fitrah atau kesiapan dasar manusia hakikatnya hanya bersifat potensial saja, tarikan di antara keduanya ini sangat menentukan hitam-putihnya watak manusia atau suatu tatanan sosial. Bila seruan moral dan imbauan kebajikan (indzar) para nabi dan bijak bestari lebih mampu mempengaruhi masyarakat, suatu masyarakat akan menjadi bajik dan paripurna. Namun, bila magnet kejahatan lebih kuat dan mempesona, yang akan tampil adalah demoralisasi dan hancurnya tatanan masyarakat. 

Dengan menggunakan terminologi Al-Quran, terkonsolidasinya kuasa kejahatan ini disebut sebagai menangnya komplotan atau partai kejahatan (hizbus syaithan). Akibat dari hegemoni dan koersi partai kejahatan ini bukan hanya tergerusnya kesiapan dasar manusia untuk berbuat bajik, tapi juga runtuhnya seluruh sistem moral yang masih percaya bahwa kebajikan adalah mungkin. Karena itu, tidak mengherankan bila, dalam suatu petuahnya, Ali bin Abi Thalib menyatakan "kebajikan-kebajikan individual yang non-sistemik akan dapat dikalahkan kejahatan yang terkonsolidasi secara sistemik".

Saya kira, banyak sekali contoh terbuang dan tersingkirnya kebajikan-kebajikan individual karena sistem korup yang tidak berpihak kepada nilai-nilai kebajikan. Karena itu, hari raya ini sejatinya tak hanya merupakan momentum untuk kembali ke fitrah, tapi juga mengandung dorongan etis untuk mewujudkan sistem yang mampu menyemai dan membiakkan fitrah kita. Semoga dan selamat berhari-raya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar