“Killer
Batman” dan Kepemilikan Senjata Warga AS
Silvia Werner ; Alumni Free
University of Berlin dan kini menetap di Hanover, Jerman
JARINGNEWS.COM,
27 Juli 2012
“Hak atas kepemilikan
senjata memiliki akar sejarah panjang dan tidak bisa ditiadakan begitu saja.”
Setiap orang boleh memiliki
senapan dan pistol di Amerika Serikat. Kejadian penembakan si "Killer
Batman" di Aurora, Colorado, pinggiran Denver, beberapa waktu yang
lalu tentu tidak akan mengubah kebijakan kepemilikan senjata di AS. Alasannya,
hak atas kepemilikan senjata tersebut memiliki akar sejarah panjang dan tidak
bisa ditiadakan begitu saja.
Secara historis, tepatnya lebih dari 250 tahun yang lalu ketika prinsip di Eropa masih sama seperti pada abad pertengahan dimana hanya bangsawan saja yang diperbolehkan untuk membawa senjata, situasi berbeda dengan di Amerika Serikat. Di AS hukumnya berbeda karena dalam arti tertentu daerahnya masih liar. Kepemilikan senjata secara individu masih sangat dibutuhkan untuk keselamatan. Tidak berlebihan jika mayoritas masyarakat di sana bersenjata, termasuk kaum perempuan dan anak-anak.
Kepemilikan senjata ini berkaitan erat dengan masa-masa koboy dan terutama di daerah barat AS yang masih liar hingga awal abad ke-20. Di kawasan barat dan selatan AS, pemakaian senjata tetap menjadi simbol kemandirian dan khusus untuk para laki-laki muda menjadi simbol kebaruan untuk memasuki usia dewasa.
Dalam catatan media dari dalam dan luar negeri serta di berbagai literatur, pemilik senjata AS selalu diidentikan dengan si Redneck yang primitif. Redneck adalah istilah yang digunakan untuk menghina orang miskin, petani kulit putih tak berpendidikan, terutama dari Amerika Serikat bagian selatan. Hal ini mirip dalam arti untuk cracker (terutama di Georgia dan Florida), udik (terutama di Appalachia dan Ozarks) dan sampah putih.
Dalam beberapa dekade terakhir, istilah ini telah diperluas artinya untuk menyebut fanatik, reaksioner jelek yang menentang cara-cara modern dan sering digunakan untuk menyerang konservatif Selatan.
Meski kepemilikan senjata banyak diidentikkan dengan mereka yang primitif dari Selatan ini, tidak berarti semua pemilik memiliki ciri-ciri yang sama yaitu primitif dan tidak berpengetahuan luas. Meski demikian, secara historis mereka ini memang orang biasa yang hidup di kawasan pertanian dan pinggiran hutan.
Nah, ketika krisis besar tahun 1930-an meledak, dimana seluruh ekonomi AS ambruk dan pengganguran meningkat sampai 30 persen, orang-orang yang tinggal dekat hutan inilah yang paling beruntung. Mereka bisa bertahan dengan berburu daging di hutan. Pada masa perang, mereka pun ikut berjuang sebagai tentara. Setelah Perang Dunia II usai, banyak tentara membawa pulang senapannya. Setelah itu, anak-anak diajari cara menggunakannya. Sejak itu senjata makin gampang ditemui di tiap warga, meski ada kesepakatan untuk selalu disimpan dengan baik.
Dari kajian histroris ini menjadi jelas mengapa tingkat pembunuhan di AS hingga kini jauh lebih tinggi daripada di Eropa. Ini semua selalu berhubungan dengan hukum kepemilikan senjata.
Secara historis, tepatnya lebih dari 250 tahun yang lalu ketika prinsip di Eropa masih sama seperti pada abad pertengahan dimana hanya bangsawan saja yang diperbolehkan untuk membawa senjata, situasi berbeda dengan di Amerika Serikat. Di AS hukumnya berbeda karena dalam arti tertentu daerahnya masih liar. Kepemilikan senjata secara individu masih sangat dibutuhkan untuk keselamatan. Tidak berlebihan jika mayoritas masyarakat di sana bersenjata, termasuk kaum perempuan dan anak-anak.
Kepemilikan senjata ini berkaitan erat dengan masa-masa koboy dan terutama di daerah barat AS yang masih liar hingga awal abad ke-20. Di kawasan barat dan selatan AS, pemakaian senjata tetap menjadi simbol kemandirian dan khusus untuk para laki-laki muda menjadi simbol kebaruan untuk memasuki usia dewasa.
Dalam catatan media dari dalam dan luar negeri serta di berbagai literatur, pemilik senjata AS selalu diidentikan dengan si Redneck yang primitif. Redneck adalah istilah yang digunakan untuk menghina orang miskin, petani kulit putih tak berpendidikan, terutama dari Amerika Serikat bagian selatan. Hal ini mirip dalam arti untuk cracker (terutama di Georgia dan Florida), udik (terutama di Appalachia dan Ozarks) dan sampah putih.
Dalam beberapa dekade terakhir, istilah ini telah diperluas artinya untuk menyebut fanatik, reaksioner jelek yang menentang cara-cara modern dan sering digunakan untuk menyerang konservatif Selatan.
Meski kepemilikan senjata banyak diidentikkan dengan mereka yang primitif dari Selatan ini, tidak berarti semua pemilik memiliki ciri-ciri yang sama yaitu primitif dan tidak berpengetahuan luas. Meski demikian, secara historis mereka ini memang orang biasa yang hidup di kawasan pertanian dan pinggiran hutan.
Nah, ketika krisis besar tahun 1930-an meledak, dimana seluruh ekonomi AS ambruk dan pengganguran meningkat sampai 30 persen, orang-orang yang tinggal dekat hutan inilah yang paling beruntung. Mereka bisa bertahan dengan berburu daging di hutan. Pada masa perang, mereka pun ikut berjuang sebagai tentara. Setelah Perang Dunia II usai, banyak tentara membawa pulang senapannya. Setelah itu, anak-anak diajari cara menggunakannya. Sejak itu senjata makin gampang ditemui di tiap warga, meski ada kesepakatan untuk selalu disimpan dengan baik.
Dari kajian histroris ini menjadi jelas mengapa tingkat pembunuhan di AS hingga kini jauh lebih tinggi daripada di Eropa. Ini semua selalu berhubungan dengan hukum kepemilikan senjata.
Karena kasus pembunuhan dengan
senjata dari waktu ke waktu makin merajalela, kini sebanyak 40% warga AS
menginginkan hukum kepemilikan senjata yang lebih ketat. Sayangnya, meski hukum
kepemilikan senjata sudah diperketat di AS sejak 1960-an lalu, tetap saja angka
pembunuhan terus melonjak hingga 1990-an.
Seandainya angka statistik yang mendukung urgensi kontrol senjata meningkat dan tidak hanya sebatas 40% saja, mungkin akan memudahkan pengurangan posisi National Rifle Association (NRA). Sayangnya, sejak 1990-an hukum kepemilikan senjata semakin bertambah longgar dan angka pembunuhan terus turun.
Seandainya angka statistik yang mendukung urgensi kontrol senjata meningkat dan tidak hanya sebatas 40% saja, mungkin akan memudahkan pengurangan posisi National Rifle Association (NRA). Sayangnya, sejak 1990-an hukum kepemilikan senjata semakin bertambah longgar dan angka pembunuhan terus turun.
Kenyataan di atas memang tidak
berlebihan karena mayoritas warga AS memang menyetujui kepemilikan senjata.
Kelompok pendukung dan pelobi penggunaan senjata api AS National Rifle Association (NRA) belum lama ini melakukan poling secara online kepada 1.922 responden. Hasil dari poling elektronik yang
dilakukan sejak sepekan itu menunjukkan, 68 persen atau dua pertiga responden
setuju penggunaan senjata, bahkan di tempat umum sekalipun.
Fakta di lapangan ini jelas makin menyulitkan presiden AS Barack Obama ataupun pesaingnya Mitt Romney untuk meminta para pecinta senjata membuang senjata yang dimilikinya. Kedua kandidat presiden AS itu pun lantas tidak banyak mengeluarkan statement terkait kebijakan kepemilikan senjata pasca kasus penembakan si "Killer Batman" di Denver. Keduanya banyak memilih diam. Alasan terpenting dari kebisuan ini adalah fakta historis bahwa senjata selalu menjadi ciri khas orang AS.
Kekhasan ini pun bisa kita tengok dalam sejarah ketika AS berupaya membebaskan diri dari bangsawan Inggris pada tahun 1776. Orang-orang AS waktu itu kuat karena tiap warganya memiliki senjata di rumahnya. Sejak itu mereka memaknai arti demokrasi atas kepemilikan senjata.
Setelah kemerdekaan, sebagian besar dari masyarakat ragu apakah pemerintahan baru di Washington akan berubah menjadi tirani lagi. Karena itu sebagai pencegahannya, amandemen kedua atas UUD dilakukan sehingga makin menjamin izin untuk kepemilikan senjata. Sayangnya, para pengkritik kepemilikan senjata berpendapat, bahwa amandemen UUD itu kadaluarsa atau salah diinterpretasikan untuk situasi di masa kini. Mahkamah Agung mempertimbangkan lagi amandemen kedua itu. Uniknya, keputusannya adalah bahwa amandemen tersebut benar-benar menegaskan bahwa setiap warga AS iizinkan untuk memiliki senjata.
Keputusan Mahkamah Agung ini tentu dipandang oleh pihak opisisi yang menentang kepemilikan senjata sebagai kemenangan yang tragis. Kepemilikan senjata yang tetap diizinkan meski dengan kontrol ketat ini, tentu saja tidak akan meminimalisir kasus-kasus pembunuhan dengan senjata api di masa-masa yang akan datang di AS. ●
Fakta di lapangan ini jelas makin menyulitkan presiden AS Barack Obama ataupun pesaingnya Mitt Romney untuk meminta para pecinta senjata membuang senjata yang dimilikinya. Kedua kandidat presiden AS itu pun lantas tidak banyak mengeluarkan statement terkait kebijakan kepemilikan senjata pasca kasus penembakan si "Killer Batman" di Denver. Keduanya banyak memilih diam. Alasan terpenting dari kebisuan ini adalah fakta historis bahwa senjata selalu menjadi ciri khas orang AS.
Kekhasan ini pun bisa kita tengok dalam sejarah ketika AS berupaya membebaskan diri dari bangsawan Inggris pada tahun 1776. Orang-orang AS waktu itu kuat karena tiap warganya memiliki senjata di rumahnya. Sejak itu mereka memaknai arti demokrasi atas kepemilikan senjata.
Setelah kemerdekaan, sebagian besar dari masyarakat ragu apakah pemerintahan baru di Washington akan berubah menjadi tirani lagi. Karena itu sebagai pencegahannya, amandemen kedua atas UUD dilakukan sehingga makin menjamin izin untuk kepemilikan senjata. Sayangnya, para pengkritik kepemilikan senjata berpendapat, bahwa amandemen UUD itu kadaluarsa atau salah diinterpretasikan untuk situasi di masa kini. Mahkamah Agung mempertimbangkan lagi amandemen kedua itu. Uniknya, keputusannya adalah bahwa amandemen tersebut benar-benar menegaskan bahwa setiap warga AS iizinkan untuk memiliki senjata.
Keputusan Mahkamah Agung ini tentu dipandang oleh pihak opisisi yang menentang kepemilikan senjata sebagai kemenangan yang tragis. Kepemilikan senjata yang tetap diizinkan meski dengan kontrol ketat ini, tentu saja tidak akan meminimalisir kasus-kasus pembunuhan dengan senjata api di masa-masa yang akan datang di AS. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar