Inilah Filosofi
Lebaran
Syafiq Basri Assegaff ; Konsultan Komunikasi,
Dosen Komunikasi di
Universitas Paramadina, Jakarta
|
INILAH.COM,
16 Agustus 2012
Apa filosofi yang dapat kita petik saat
lebaran? Apa makna mudik?
Sejatinya, ada pelajaran menarik di dalam
setiap pergantian hari, bulan dan tahun, pada setiap perubahan waktu. Kapan
saja, termasuk juga pada setiap Ramadhan dan Syawal. Ada makna dari ’napak
tilas’ bergulirnya waktu – yang terkait dengan realitas dan filosofi kehidupan
kita.
Tapi apa sih realitas itu? Berhubung panca
indera kita mencerap informasi (baca: pesan) secara sangat baik, kita jadi
mudah melihat realitas atau ’kenyataan’ di sekitar kita. Apa yang tampak oleh
mata, suara yang terdengar, dan rasa yang dicecap lidah, semua menentukan
’kenyataan’ yang kita ’persepsi’.
Sayang, tidak semua ’pesan’ kita terima
sesuai kenyataan. Ada saatnya ia seperti menipu. Ketika kita di perjalanan
mudik, misalnya, kita menerima ’pesan’ seolah dunia ini rata dan diam di
tempat, dan kendaraan kita saja yang bergerak. Padahal bumi ini bulat dan
berotasi.
Juga rel kereta yang kita tumpangi saat
pulang kampung tampak menyatu di kejauhan, padahal sebenarnya berjalan paralel.
Di situ ada ’pesan’ dari alam kepada kita,
agar manusia tahu jati dirinya, dan menjadi bijak. Ada hikmah pada setiap
pergantian waktu: bahwa manusia perlu belajar dari alam dan tidak menyimpulkan
berdasarkan panca indera semata. Seeing
is believing, dalam hal ini, tak dapat dijadikan sandaran.
Gejala alam -- yang kita kenal
sebagai Sunnah Ilahi atau sunnatullah berupa pergantian waktu itu,
antara lain, mengajarkan hikmah agar tidak beranggapan bahwa semuanya tetap dan
tidak berubah. Sebab kita tidak mungkin napak-tilas alur sungai yang
sama dua kali.
Begitu pula diri kita sendiri: secara sunnatullah selalu berubah, dan mengirim
sinyal setiap saat, selama bumi terus berputar. Tidak ada yang sama dari waktu
ke waktu. Itu semua ‘gejala’ kefanaan, lawan keabadian
Dalam kefanaan itulah sesungguhnya manusia
baru bisa merengkuh cinta kepada Tuhannya, kepada Sang *baqa’, Yang Abadi*.
Sebagaimana dikatakan Jalaluddin Rumi, puncak cinta
adalah kefanaan diri, dan dengan begitu ia dapat memasuki tahap *baqa' --
**keabadian. *Saat itu seseorang tidak lagi dibebani oleh kepentingan nafsu
rendah (atau *ego*-nya) dalam melaksanakan tugas kewajibannya – persis
sebagaimana dimaksudkan dalam tujuan mem-fana-kan diri lewat puasa, karena hakikatnya puasa dan ibadah-ibadah lain adalah menyerahkan diri secara total kepada Sang Cinta, Yang
Maha Baqa’.
Menurut Rumi, pencerapan
indera atau pengalaman empiris adalah kunci bagi ilmu-ilmu lahir, tetapi ia
tidak mampu membawa seseorang ke tingkat kerohanian yang tinggi (Abdul Hadi WM,
1985). Hanya lewat pengalaman rohani sajalah seseorang bisa naik ke tingkat
pengetahuan yang lebih tinggi. Oleh karenanya, tak
perlu ada pertentangan antara ilmu lahir dan rohani, antara kehidupan duniawi
dan kehidupan ukhrawi, sebab keduanya sama diperlukan, dan harus berjalan secara
seimbang.
Maka, hidup hendaklah diterima dengan penuh
tanggung jawab, sebab ia adalah anugerah Tuhan. Adapun segala musibah dan
ujian, kesulitan dan bahaya, mesti dihadapi dengan tabah, dengan kerja keras
dan cinta, dan dengan tekad meraih cita-cita.
Seorang yang beriman secara tegar akan
menghadapi bahaya dan kejahatan, dengan menerobos keterbatasan intelek,
sehingga pikirannya terbuka; tercerahkan. Dan itulah jalan bagi seseorang untuk
memperoleh pencerahan tentang hakikat kehidupan.
Pada gilirannya, ketika seseorang telah
mengalami pencerahan, ia akan mampu melihat dunia dalam perspektif yang
berbeda. Nah, dalam sejarah umat manusia, hanya para nabi --- serta ahli
makrifat dan para wali atau orang saleh, yakni mereka yang meneladani nabi –
sajalah yang mampu menunjukkan jalan kepada manusia apabila mengalami jalan
buntu. Sebab mereka telah mengalami pencerahan batin, sehingga mampu dengan
kekuatan rohaninya melihat dunia dalam perspektif yang berbeda.
Berhubung manusia berbeda dari hewan dalam
penalaran dan pemahamannya, mereka mesti selalu menggunakan keduanya. Tetapi
penalaran saja tidak dapat mengantar kita menuju pemahaman akan hakikat –
apalagi, sebagaimana kita sebut di atas, penalaran atau persepsi bisa
mengelabui.
Pemahaman akan hakikat akan tercapai bila
seseorang mampu menyatukan kehendak dirinya (*free-will*) dengan kehendak Pribadi Semesta (Tuhan).
Bila berhasil mencapai tahapan ini, tidak ada
lagi persoalan antara ‘takdir’ dan kehendak bebas (*free will*). Sambil terus menjalankan kehendak bebasnya meraih
cita-cita, ia tahu dirinya berada di jantung takdir, dan ia tidak akan goncang
karenanya.
Artinya, orang
hanya harus ‘berusaha’ sebaik mungkin – berdasarkan penalaran dan ilmu yang
dimilikinya -- dan kemudian menerima hasilnya (takdir), tanpa mempersoalkan
lagi apakah hasilnya itu sesuai dengan yang diinginkannya atau tidak – karena
ia yakin bahwa ‘segala yang sudah ditakdirkan (Tuhan) untuknya itu pasti
merupakan kebaikan’. Dan itulah hasil akhir ketakwaan kepada Tuhan.
Dalam puncak ketakwaan itulah kemudian orang
memperoleh makrifat, pencerahan. Lalu, pada saat orang sudah tidak lagi
mempersoalkan antara takdir dan kehendak bebasnya, maka baginya, "duka
cita akan menjadi suka cita, dan belenggu (Tuhan) akan menjadi kebebasan."
Inilah tahap pencerahan, tahap penemuan potensi atau jatidiri yang paling
tinggi.
Walhasil, saat lebaran ini kita belajar bahwa
sunnatullah adalah guru terbaik kita. Ia murni dan ‘pandai’ dari ‘sana’-nya,
bergerak dan bukannya statis -- diatur oleh pengelolaan ‘kontrol’ yang tak
kasat mata. Hukum alam memang absolut dalam
esensinya, saling bergantung dalam penerapannya, tapi independen, terlepas
bebas dalam ruang dan waktunya masing-masing.
Tujuannya: mengatur yang kacau,
menganugerahi cinta dalam kebencian, dan memberi kebijakan dalam ketidaktahuan.
Lewat pergantian waktu ini kita belajar bahwa
sunnatullah mengubah dunia, juga kita: saat lebaran
ini kita kian tua, dan cepat atau lambat kita akan berpisah dari yang fana
(dunia) dan dari segala yang kita cintai di dalamnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar