Iklan Syariah:
Sebuah Percobaan
M Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SINDO, 03 Agustus
2012
Kita
baru sadar, bisnis syariah—dalam banyak bidang—bergerak di sekitar kita.
Mungkin, yang sudah lebih mapan, bisnis perbankan. Publik kurang begitu
menyadari ada perubahan sistem nilai,cara bertindak, sikap, dan bentuk-bentuk
tingkah laku ekonomi baru yang menawarkan paradigma baru.
Kemudian muncul
kebutuhan akan iklan syariah, yang sama mengejutkannya bagi kita. Di Aceh
sebuah seminar, diselenggarakan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia
(P3I), membahas perkara ini. Akademisi, para praktisi dunia iklan, para
pebisnis, tokoh-tokoh masyarakat, juga media hadir. Dua cara pandang
muncul.
Satu pihak beranggapan, iklan “konvensional”, yaitu iklan yang sudah kita kenal
selama ini, pada dasarnya dianggap sudah merupakan iklan syariah selama iklan
tersebut menjaga etika beriklan. Memojokkan atau menyalahkan iklan dan produk
lain yang diiklankan tak dibenarkan. Menyalahi kepantasan dan segenap tata
krama juga dilarang. Syukur memiliki semangat mendidik masyarakat. Secara
esensial, pendeknya, itu semua sudah dianggap iklan syariah.
Tapi, iklan syariah meminta agar tokoh perempuan yang mengiklankan suatu produk
haruslah berjilbab dan pakaian rapi. Laki-laki pengiklan harus bercelana
panjang dan mengenakan pakaian rapi pula. Jika ini ukurannya, iklan syariah
sungguh barang baru dan usaha kita mewujudkannya dengan sendirinya merupakan
sebuah percobaan.
Kita akan menampilkan suatu produk kebudayaan yang sifatnya baru, dengan etika
dan segenap orientasi nilai baru, dan aturan-aturan serbabaru. Saya ikut
berbicara di forum itu. Saya memahami semangat dan aspirasi mengenai iklan
syariah sebagai kehendak dan kebutuhan mengislamkan iklan yang sudah ada selama
ini. Islam di sini bisa berarti ajaran Islam, bisa berarti sejarah Islam,
filsafat Islam, atau hukum Islam.
Bisa juga diartikan peradaban Islam. Jika pemaknaan yang begitu luas ini
diterima, bagaimana kita menerjemahkan begitu banyak hal yang mendalam dan
kompleks itu ke dalam bahasa iklan: bahasa rupa, bahasa suara, dan
ungkapan-ungkapan simbolik, yang menawan, dan mencerahkan cita rasa para
konsumen? Apakah dengan sendirinya lalu diperlukan juga apa yang disebut
“bahasa Islam” untuk meneguhkan proses pengislaman iklan tadi? Islam bahkan
seperti apa yang diperlukannya?
Bagaimana membedakannya dari bahasa Arab? Pertanyaan ini menjadi penting
mengingat ungkapan-ungkapan bahasa Arab tak selamanya semangat keislaman dan
nilai-nilai Islam? Di sini kearaban dan keislaman tidak identik. Anggapan bahwa
sebuah iklan dianggap sudah merupakan iklan syariat jika perempuan yang
mengiklankannya berjilbab dan berpakaian rapi, atau jika laki-laki yang
mengiklankannya, bercelana panjang dengan pakaian rapi, bagi saya tak
memadai.
Betapa sederhananya cita rasa keislaman kita bila perkara yang begitu kompleks
dan mendalam itu cukup diwakili jilbab dan pakaian rapi. Berjilbab dan
berpakaian rapi itu baru menyangkut bahasa rupa. Iklan syariah tidak cukup
sekedar memenuhi syariah yang begitu sederhana. Jika, sekali lagi, iklan
syariah berarti pengislaman iklan, iklan tersebut tidak cukup sekadar mengganti
penampilan para pengiklan dengan pakaian rapi belaka.
Bagaimana menggambarkan iklan suatu jenis kasur yang bisa membikin tidur kita
nyaman? Apakah gambaran di ruang tidur itu perempuan harus berjilbab dan
berpakaian rapi juga, padahal di ruang tidur orang tak berjilbab? Ini memang
merupakan perkara yang tak sederhana. Tapi, aspirasi keislaman kita, yang
menghendaki iklan syariah sebagai suatu kebutuhan dasar, kita harus mampu
memecahkannya secara etis maupun estetis agar bisa memenuhi prasyarat dasar
“syariah” yang hendak kita perjuangkan.
Kemudian, bagaimana mewujudkan bahasa suara menjadi suatu iklan syariah? Suara
yang bagaimana yang dianggap mampu mewakili syariah dengan baik? Haruskah kita
membedakan lebih dulu, suatu jenis suara yang bersifat Islam, dan suara yang
bukan Islam. Bagaimana mengidentifikasikan secara teliti, cermat dan benar, suara
tertentu yang secara Islam diterima dengan baik? Dalam aspirasi penuh semangat
untuk menampilkan iklan syariah yang belum jelas ini, saya berpendirian bahwa
iklan syariah belum ada dan belum tercipta.
Prasyarat jilbab dan pakaian rapi tidak memadai, dan tidak cukup meyakinkan
kita bahwa dengan pakaian macam itu kita bisa menyatakannya sebagai iklan
syariah. Iklan syariah memiliki tuntutan kebutuhan lebih kompleks, lebih
mendalam, dan substansial. Sumbangan saya pada seminar tersebut, yang menyatakan
bahwa iklan syariah belum ada, dan belum tercipta, tak boleh dipahami sebagai
sikap skeptis terhadap aspirasi penting ini.
Saya mendukung usaha pembaruan dan semangat menciptakan perubahan- perubahan
sosial agar kita punya tawaran nilai, cara pandang, sikap, etika, dan
norma-norma baru bagi dinamika hidup yang kelihatannya sudah “lelah” ini. Tapi,
tawaran kita harus mentereng dan mengandung substansi lebih mendalam agar
gebrakan kulturalnya terasa penting. Sekali lagi, ini bukan perkara mudah, yang
bisa dirumuskan dalam satu dua seminar.
Diperlukan banyak seminar lain yang lebih fokus, lebih mendasar untuk
mengungkap seluruh kemungkinan yang kita hadapi. Kecuali itu, diperlukan juga
eksperimen terencana, sistematis, dan selalu siap menghadapi kegagalan di
lapangan. Iklan—di sini iklan syariah— tak akan terfokus pada renungan
filsafat, teori komunikasi, dan budaya pop perkotaan, yang lebih menuntut
renungan melainkan sebaliknya.
Iklan itu produk kebudayaan materiil, yang praktis, fleksibel, dan bergerak
cepat, lebih cepat dari kapasitas imajinatif para konsumen. Maka, sebagai
sebuah percobaan, lebih baik lakukan. Kita menempuh strategi “trial and error”
tanpa mengenal lelah, tak jemu-jemu mencipta, dan haram untuk merasa putus asa.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar