Senin, 06 Agustus 2012

Holocaust Rohingya Sepi Pembela

Holocaust Rohingya Sepi Pembela
Saharuddin Daming ; Komisioner Komnas HAM  
SINDO, 06 Agustus 2012


Jika umat Islam sejagat berpacu merebut keberkahan Ramadan dengan penuh kegembiraan dan ketenangan, muslim Rohingya di Myanmar justru berpuasa dengan penindasan dan kezaliman. 

Semula hal itu dilakukan oleh etnis mayoritas Buddha Rakhine yang menebar kebencian terhadap Rohingya yang dianggap sebagai orang asing. Parahnya karena provokasi kebencian berlatar belakang etnis tersebut, menyelinap masuk ke dalam tubuh ideologi pemangku negara di Myanmar. Secara sosio-historis, Rohingya adalah etnis yang kebanyakan beragama Islam di negara bagian Rakhine Utara di Myanmar Barat.

Mereka terkonsentrasi di dua kota utara negara bagian Rakhine (sebelumnya disebut Arakan). Populasi mereka 4% (1,7 juta jiwa) dari total penduduk, 42,7 juta jiwa. Catatan pada dokumen Images Asia ‘’Report On The Situasion For Muslim In Burma” pada Mei 1997 menyebutkan bahwa umat muslim di Myanmar mendekati 7 juta jiwa. Jumlah itu menurun drastis akibat pembantaian maupun eksodus ke wilayah lain. Ketika meletus kerusuhan akhir Mei 2012, terjadi penindasan di kalangan etnis Rohingya. Pada 10 Juni pemerintah mengumumkan keadaan darurat di sertai pengerahan pasukan militer untuk memadamkan kerusuhan.

Namun, operasi militer tersebut berlangsung tidak netral. Mereka memihak etnis mayoritas dalam bentuk pembiaran etnis Rohingya dibantai dengan cara yang sangat mengenaskan. Selama kerusuhan berlangsung hingga 28 Juni 2012, 650 muslim Rohingya tewas, 1.200 lainnya hilang, dan 90.000 orang telah telantar, ribuan rumah mereka dijarah, dibakar, atau dihancurkan, serta80.000orang mengungsi di sekitar Kota Sittwe dan Maungdaw. Hampir semua hak dasar mereka dirampas termasuk pendidikan dan pekerjaan.

Pemerintah Myanmar membatasi gerak mereka dan tidak memberi hak atas tanah dan layanan publik. Jauh sebelum konflik 2012, sebenarnya etnis Rohingya telah mengalami holocaust selama puluhan tahun, baik oleh negara maupun etnis mayoritas di Myanmar, yang kebetulan beragama Buddha. Sejak sebelum Burma merdeka pada 1942, sudah ada aksi kekerasan kepada Rohingya. Mereka mengalami kekerasan dan diskriminasi oleh negara maupun etnis mayoritas karena dianggap bukan bagian dari Burma akibat mereka beragama Islam. Holocaust tersebut terus berlanjut hingga Burma merdeka.

Melalui operasi militer yang paling sadis adalah Na Sa Ka telah melegalkan kekerasan, pengusiran, Burmanisasi, halangan untuk menikah, dan pemerkosaan bagi kaum Rohingya. Dalam hal ini, Islamofobia memang sangat kental dalam operasi tersebut. Mereka yang beragama Buddha justru mendapat perlindungan dan dukungan meski ia adalah etnis Rohingya. Pada 1978 dan 1991, militer Burma meluncurkan operasi khusus untuk melenyapkan pimpinan umat Islam di Arakan.

Operasi tersebut memicu eksodus besar-besaran dari kaum Rohingya ke Bangladesh. State Law and Order Restoration Council (SLORC) yang merupakan rezim baru di Myanmar memprovokasi terjadi pergolakan anti-Islam di Taunggyi dan Prome. Burma Digest juga mencatat, pada 2005 telah muncul perintah bahwa anak-anak muslim yang lahir di Sittwe, negara bagian Rakhine (Arakan), tidak boleh mendapatkan akta kelahiran. Akibatnya, banyak anak-anak yang tidak mempunyai akta lahir.

National Registration Cards (NRC) atau kartu penduduk di negara Myanmar sudah tidak diberikan lagi kepada mereka yang memeluk agama Islam. Mereka yang sangat membutuhkan NRC harus rela mencantumkan agama Buddha pada kolom agama mereka. Pemerintah Myanmar bahkan sengaja membuat kartu penduduk khusus untuk umat muslim yang tujuannya untuk membedakan dengan masyarakat yang beragama Buddha sebagai penguasa. Umat muslim dijadikan warga negara kelas tiga sehingga mengalami diskriminasi di bidang pekerjaan dan pendidikan.

Mereka yang tidak mengganti agamanya tak akan bisa mendapatkan akses untuk menjadi tentara ataupun pegawai. Ditilik dari aspek apa pun, kebijakan negara yang menolak eksistensi kehidupan kelompok manusia atas dasar etnik, ras, dan agama, selain bertentangan dengan Konvensi 1954 tentang Status Orang Tak Berkewarganegaraan Jo Konvensi 1961 mengenai Pengurangan Keadaan Tak Berkewarganegaraan, juga menyimpang dari Deklarasi Universal HAM (DUHAM) 1948.

Dalam Pasal 13 dan 15 DUHAM antara lain menegaskan: “Setiap orang tanpa pengecualian berhak tinggal,bergerak, serta berhak atas sesuatu kewarganegaraan, dan tidak seorang pun dapat dicabut kewarganegaraannya dengan semena- mena”. Tak hanya itu, kebencian penguasa dan kelompok mayoritas terhadap kaum muslim Rohingya juga merupakan pelanggaran nyata Pasal 18 DUHAM jo Kovenan Hak Sipil dan Politik serta Konferensi Dunia di Durban 2001 tentang Melawan Rasisme, Xenopobhia dan Intoleransi.

Jika diperhatikan rangkaian kejadian seperti dikemukakan di atas, sulit untuk tidak berkesimpulan bahwa kaum Rohingya telah menjadi korban holocaust ala Myanmar dalam bentuk state violence, di mana negara melakukan genosida, ethnic cleansing (pembantaian etnis), maupun kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana tertuang dalam Statuta Roma pada 1998 tentang International Criminal Court (ICC). Pelanggaran HAM berat dimaksud terarah pada dua kemungkinan, baik kumulatif maupun alternatif yaitu genosida dan kejahatan kemanusiaan.

Betapa tidak karena semua fakta yang dikemukakan di atas cocok dengan rumusan delik yang menjadi yurisdiksi ICC tentang genosida dan kejahatan kemanusiaan yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma. Ironisnya, karena meski bukti holocaust terpampang di pelupuk mata, PBB yang direpresentasikan oleh Dewan Keamanan dan Dewan HAM lebih peduli pada tragedi Batman di Colorado daripada penderitaan Rohingya di Myanmar.

Amerika Serikat yang selama ini memusuhi junta militer Myanmar justru sibuk mendiskusikan kepentingan bisnis kedua negara sebagaimana tampak pada kunjungan Hillary Clincton baru-baru ini di Myanmar tanpa sedikit pun menyinggung tragedi holocaust di negeri pagoda itu. Herannya karena ASEAN yang telah melahirkan deklarasi HAM ASEAN juga bungkam seribu bahasa demi memelihara solidaritas kawasan dan membiarkan pelanggaran HAM serius berlangsung di wilayahnya.

Penerima hadiah nobel perdamaian sekelas Aung San Suu Kyi juga membisu atas holocaust yang terjadi di negaranya. Hebatnya lagi, karena aktivis HAM yang selama ini sangat lantang meneriakkan kebebasan beragama di Indonesia seperti Wahid Institut, Setara Institute, Human Rights Working Group, dan jaringannya, semuanya tiarap tanpa nyali. Mungkin karena pihak yang menjadi korban holocaust tak berkoneksi dengan kepentingan Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar