Dinamika Sosial
Mudik
|
Eriko Sotarduga ; Anggota
DPR Fraksi PDI Perjuangan
|
SINDO,
16 Agustus 2012
Datangnya bulan Ramadan 1433 H ini merupakan
anugerah besar bagi bangsa Indonesia yang mayoritas umat Islam. Selain
diwajibkan puasa, terdapat waktu istimewa dan menggembirakan pada bulan
setelahnya, yaitu datangnya Idul Fitri atau biasa disebut Lebaran.
Tanpa mengurangi
khidmatnya menjalani puasa, hampir semua kaum muslim menunggu datangnya
Lebaran. Beragam persiapan pun dilakukan, baik di perdesaan maupun perkotaan.
Bagi penduduk kota, membincang Lebaran tak dapat dilepaskan dari kata “mudik”.
Ya,mudik memang telah menjadi fenomena sosio-kultural bangsa Indonesia. Berbagai
alasan rasional seolah pun kerap dirajut untuk menjelaskan fenomena yang
teranyam rapat dalam nilai kultural bangsa Indonesia itu.
Pulang mudik sekali setahun tidak hanya melepas kerinduan pada kampung halaman, tetapi juga mengandung makna yang jauh lebih mendalam. Jika sekadar mengobati kerinduan pada keluarga atau kampung halaman, tentu dapat dilakukan di lain waktu, di luar waktu seputar Lebaran. Fenomena tersebut memperlihatkan betapa kuatnya hubungan batin antara penduduk yang hidup di kota dengan penduduk di desa walaupun telah ratusan hari atau tahunan berpisah.Budaya mudik Lebaran tetap saja lestari.
Ketika momentum mudik Lebaran tiba, wajah para pekerja atau perantau dihiasi dengan kegembiraan. Ketika mereka sampai di kampung halamannya, rasa syukur mereka diperlihatkan dengan beragam simbol dan pernik-pernik Lebaran. Mulai dari menu hidangan, pakaian baru hingga ucapan selamat hari raya.
Dinamika Sosial
Pulang mudik sekali setahun tidak hanya melepas kerinduan pada kampung halaman, tetapi juga mengandung makna yang jauh lebih mendalam. Jika sekadar mengobati kerinduan pada keluarga atau kampung halaman, tentu dapat dilakukan di lain waktu, di luar waktu seputar Lebaran. Fenomena tersebut memperlihatkan betapa kuatnya hubungan batin antara penduduk yang hidup di kota dengan penduduk di desa walaupun telah ratusan hari atau tahunan berpisah.Budaya mudik Lebaran tetap saja lestari.
Ketika momentum mudik Lebaran tiba, wajah para pekerja atau perantau dihiasi dengan kegembiraan. Ketika mereka sampai di kampung halamannya, rasa syukur mereka diperlihatkan dengan beragam simbol dan pernik-pernik Lebaran. Mulai dari menu hidangan, pakaian baru hingga ucapan selamat hari raya.
Dinamika Sosial
Pada mayoritas entitas
bangsa Indonesia, umumnya ada semacam kebutuhan kultural yang seolah-olah
sebuah kekuatan yang mampu “memaksa” para perantau pulang kampung untuk
mengunjungi orang tua dan kerabat mereka pada saat Lebaran.Kebutuhan kultural
itu begitu kuatnya dan mendorong orang untuk pulang mudik. Dorongan itu semakin
kuat dengan adanya persepsi bahwa kesempatan yang paling cocok dan pantas bagi
anak-anak untuk sungkem dan mohon maaf atas kesalahan dan kekhilafan kepada
orang tua dan kerabat mereka adalah pada saat Lebaran.
Sebaliknya, di hari itu pulalah kesempatan yang dinanti para orang tua untuk bertemu dengan anakanaknya, memberikan maaf dan doa restu agar anak-anak itu dapat hidup dalam ketenteraman dan lebih sejahtera di masa mendatang. Budaya mudik Lebaran ini hampir bisa ditemukan di setiap kalangan, baik kalangan elite dengan memakai kendaraan pribadi hingga kalangan grass roots yang antre menunggu giliran pulang di terminal bus maupun stasiun kereta api, termasuk juga pelajar dan mahasiswa.
Namun sesungguhnya budaya mudik yang telah menjadi rutinitas tahunan bukan sepi persoalan. Mulai dari mahalnya pengorbanan material dan psikologis yang harus dikeluarkan oleh pemudik hingga besarnya biaya yang dikeluarkan pemerintah sendiri untuk mendukung suksesnya proses mudik. Gaji yang diperoleh para pekerja selama satu tahun bekerja di kota pun terkurangi untuk keperluan mudik ke kampung halamannya.
Belum lagi ditambah dengan keperluankeperluan belanja di hari Lebaran. Realitas pencopetan dan penipuan yang dilakukan para calo telah menjadi masalah tambahan yang selalu mewarnai budaya mudik Lebaran. Termasuk risiko rawan kecelakaan yang kerap memakan korban yang tidak sedikit tiap tahunnya.
Namun, karena amat urgennya makna mudik ke kampung halaman, apa pun risiko yang harus dihadapi para perantau yang ada di kota-kota besar, mudik Lebaran tetap menjadi suatu keharusan. Mereka rela bersusah payah hanya dengan satu tujuan untuk bertemu dan kembali menjalin hubungan emosionalitas yang sempat “terputus” dengan keluarga dan para tetangga di kampung halamannya.
Nilai Adiluhung
Budaya mudik awalnya didasari oleh adanya gelombang urbanisasi sebagai proses perpindahan penduduk dari desa ke kota secara besar-besaran. Bersamaan dengan kepergian merantau ke pusat-pusat perkotaan, tak lantas masyarakat urban kehilangan perkampungannya. Fakta bahwa mudik adalah fenomena unik bangsa Indonesia dapat dilihat dari pelbagai aspek dinamis.
Pertama, aspek perkembangan rasionalitas masyarakat. Pada era 1970-an hingga 1990-an di mana tingkat rasionalisasi relatif belum berkembang secara pesat, mudik mempunyai motif tradisionalistis. Warga kota mengisi kembali semangat pola kehidupan tradisional yang terkikis dalam persentuhan dengan modernisasi di kota-kota besar.
Mudik dapat dipandang sebagai penegasan rutin keanggotaan warga kota besar pada komunal daerah asal di desa atau kota-kota yang lebih kecil. Pada abad ke-21 ini, motif mudik telah bergeser ke arah yang lebih rasional. Warga kota-kota besar mudik pada umumnya karena alasan praktis seperti rekreasi keluarga dalam suasana kekeluargaan; pertemuan keluarga luas yang praktis, efisien, dan pada saat yang tepat secara sosio-kultural.
Kedua, hadirnya kearifan kultural. Ada dua fakta penting yang mengiringi motivasi mudik, yaitu budaya silaturahmi dan ziarah ke makam sesepuh. Mengenai budaya silaturahmi, terjadi fenomena masif saling memaafkan antara satu orang dengan lainnya. Bahkan ada yang mengadakan acara rutin tahunan yang dikemas dalam reuni keluarga (halalbihalal).
Di sinilah muncul sejatinya khazanah adiluhung budaya mudik sebagai upaya menghidupkan kembali nilai-nilai tepa slira, guyub dan rukun dalam kebersamaan di desa.Tepatnya menegasikan kearifan kultural orang-orang kampung. Inilah sejatinya buah terindah dari budaya mudik itu. Sebab, idealnya,mudik memang mesti dijadikan momentum yang tepat untuk menggalang solidaritas sosial. Terutama untuk memberdayakan masyarakat desa dari ketidakberdayaan.
Ketiga,motivasi pemerataan ekonomi dan penguatan jaringan sosial. Tradisi mudik senyatanya mempunyai dampak positif bagi sebuah sistem ekonomi, yakni mengalirnya uang dari kota ke desa. Pada saat bersamaan, mudik dapat bertalian dengan lobi sosial dalam kerangka penguatan dan perluasan modal sosial.
Mudik lantas menjadi moda alternatif pemerataan sosial ekonomi yang secara formal belum maksimal diperankan oleh negara. Demikian pentingnya budaya mudik ini sehingga perlu peranan pemerintah sebagai pelayan masyarakat untuk menyediakan sarana transportasi yang memadai dan manusiawi. Pemerintah sudah selayaknya memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa mereka dapat mudik dengan aman dan nyaman.
Akhirnya, di tengah krisis kebangsaan dan nasionalisme kita, mudik niscaya dijadikan momentum yang tepat untuk menggalang solidaritas kebangsaan, baik secara ekonomi, sosial, maupun keterbelakangan politik. Dengan begitu mudik tidak sekadar ritual simbolik tanpa makna atau pamer kesuksesan di kota, melainkan menjadi berkah yang menyejahterakan warga bangsa. Semoga! ●
Sebaliknya, di hari itu pulalah kesempatan yang dinanti para orang tua untuk bertemu dengan anakanaknya, memberikan maaf dan doa restu agar anak-anak itu dapat hidup dalam ketenteraman dan lebih sejahtera di masa mendatang. Budaya mudik Lebaran ini hampir bisa ditemukan di setiap kalangan, baik kalangan elite dengan memakai kendaraan pribadi hingga kalangan grass roots yang antre menunggu giliran pulang di terminal bus maupun stasiun kereta api, termasuk juga pelajar dan mahasiswa.
Namun sesungguhnya budaya mudik yang telah menjadi rutinitas tahunan bukan sepi persoalan. Mulai dari mahalnya pengorbanan material dan psikologis yang harus dikeluarkan oleh pemudik hingga besarnya biaya yang dikeluarkan pemerintah sendiri untuk mendukung suksesnya proses mudik. Gaji yang diperoleh para pekerja selama satu tahun bekerja di kota pun terkurangi untuk keperluan mudik ke kampung halamannya.
Belum lagi ditambah dengan keperluankeperluan belanja di hari Lebaran. Realitas pencopetan dan penipuan yang dilakukan para calo telah menjadi masalah tambahan yang selalu mewarnai budaya mudik Lebaran. Termasuk risiko rawan kecelakaan yang kerap memakan korban yang tidak sedikit tiap tahunnya.
Namun, karena amat urgennya makna mudik ke kampung halaman, apa pun risiko yang harus dihadapi para perantau yang ada di kota-kota besar, mudik Lebaran tetap menjadi suatu keharusan. Mereka rela bersusah payah hanya dengan satu tujuan untuk bertemu dan kembali menjalin hubungan emosionalitas yang sempat “terputus” dengan keluarga dan para tetangga di kampung halamannya.
Nilai Adiluhung
Budaya mudik awalnya didasari oleh adanya gelombang urbanisasi sebagai proses perpindahan penduduk dari desa ke kota secara besar-besaran. Bersamaan dengan kepergian merantau ke pusat-pusat perkotaan, tak lantas masyarakat urban kehilangan perkampungannya. Fakta bahwa mudik adalah fenomena unik bangsa Indonesia dapat dilihat dari pelbagai aspek dinamis.
Pertama, aspek perkembangan rasionalitas masyarakat. Pada era 1970-an hingga 1990-an di mana tingkat rasionalisasi relatif belum berkembang secara pesat, mudik mempunyai motif tradisionalistis. Warga kota mengisi kembali semangat pola kehidupan tradisional yang terkikis dalam persentuhan dengan modernisasi di kota-kota besar.
Mudik dapat dipandang sebagai penegasan rutin keanggotaan warga kota besar pada komunal daerah asal di desa atau kota-kota yang lebih kecil. Pada abad ke-21 ini, motif mudik telah bergeser ke arah yang lebih rasional. Warga kota-kota besar mudik pada umumnya karena alasan praktis seperti rekreasi keluarga dalam suasana kekeluargaan; pertemuan keluarga luas yang praktis, efisien, dan pada saat yang tepat secara sosio-kultural.
Kedua, hadirnya kearifan kultural. Ada dua fakta penting yang mengiringi motivasi mudik, yaitu budaya silaturahmi dan ziarah ke makam sesepuh. Mengenai budaya silaturahmi, terjadi fenomena masif saling memaafkan antara satu orang dengan lainnya. Bahkan ada yang mengadakan acara rutin tahunan yang dikemas dalam reuni keluarga (halalbihalal).
Di sinilah muncul sejatinya khazanah adiluhung budaya mudik sebagai upaya menghidupkan kembali nilai-nilai tepa slira, guyub dan rukun dalam kebersamaan di desa.Tepatnya menegasikan kearifan kultural orang-orang kampung. Inilah sejatinya buah terindah dari budaya mudik itu. Sebab, idealnya,mudik memang mesti dijadikan momentum yang tepat untuk menggalang solidaritas sosial. Terutama untuk memberdayakan masyarakat desa dari ketidakberdayaan.
Ketiga,motivasi pemerataan ekonomi dan penguatan jaringan sosial. Tradisi mudik senyatanya mempunyai dampak positif bagi sebuah sistem ekonomi, yakni mengalirnya uang dari kota ke desa. Pada saat bersamaan, mudik dapat bertalian dengan lobi sosial dalam kerangka penguatan dan perluasan modal sosial.
Mudik lantas menjadi moda alternatif pemerataan sosial ekonomi yang secara formal belum maksimal diperankan oleh negara. Demikian pentingnya budaya mudik ini sehingga perlu peranan pemerintah sebagai pelayan masyarakat untuk menyediakan sarana transportasi yang memadai dan manusiawi. Pemerintah sudah selayaknya memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa mereka dapat mudik dengan aman dan nyaman.
Akhirnya, di tengah krisis kebangsaan dan nasionalisme kita, mudik niscaya dijadikan momentum yang tepat untuk menggalang solidaritas kebangsaan, baik secara ekonomi, sosial, maupun keterbelakangan politik. Dengan begitu mudik tidak sekadar ritual simbolik tanpa makna atau pamer kesuksesan di kota, melainkan menjadi berkah yang menyejahterakan warga bangsa. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar