Dilema
Rohingya dan Demokrasi Myanmar
Teuku Kemal Fasya ; Dosen
Antropologi FISIP
Universitas
Malikussaleh, Lhokseumawe
KOMPAS,
03 Agustus 2012
Pada 16-18 Juli lalu, saya
diundang oleh The Global Partnership for
the Prevention of Armed Conflict in Southeast Asia (GPPAC-SEA) dan Burma Partnership untuk menjadi pemateri
bagi para aktivis Myanmar di Mae Sot, Thailand.
Semua partisipan berasal dari etnis minoritas Myanmar, yaitu perwakilan dari etnis Karen, Mon, Chin, dan Karenni yang tinggal di daerah Mae Sot, distrik terakhir Thailand utara yang berbatasan dengan Myanmar. Uniknya, para partisipan lebih senang disebut aktivis HAM Burma dibanding Myanmar karena nama itu bentukan junta militer.
Seluruh proses presentasi dan dialog diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Burma dan sebaliknya. Saya sempat bertanya kepada Khin Ohmar, aktivis perempuan Myanmar yang kini tinggal di Thailand dan menjadi fasilitator dalam menerjemahkan bahasa Inggris-Burma, mengapa partisipan etnis Rohingya tidak diundang. Dengan hati-hati ia mengatakan ada banyak hal kompleks tentang Rohingya.
Pertama, etnis Rohingya tidak akan setuju penggunaan bahasa Burma yang dianggap sebagai bahasa penjajah. Tapi, di sisi lain, tidak ada media bahasa lain yang bisa digunakan dalam diskusi itu selain bahasa Inggris dan nasional Myanmar.
Kedua, Rohingya juga tak sepenuhnya percaya dengan etnis-etnis minoritas Myanmar lainnya, yang sebenarnya sama tertindasnya oleh pemerintahan militer. Maka, daripada terjadi gesekan di antara para peserta dan menjadi kontra-produktif, lebih baik tidak diundang.
Ketiga, menurut seorang aktivis Burma, etnis Rohingya hanya percaya gerakan militerlah yang dapat membebaskan mereka dari penindasan yang dirasakan sejak merdeka bersama Burma, 4 Januari 1948. Bagi para pejuang militer Rohingya, tidak ada dialog dan perdamaian dengan pemerintahan despotik itu.
Pemerintahan Rasis
Negara ini memang telah mengalami banyak masalah unifikasi sejak merdeka. Etnis-etnis minoritas, yang sejak awal memang sudah tersisihkan dalam politik dan pembangunan, menuntut otonomi yang lebih luas. Struktur politik dan akses ekonomi didominasi etnis Burma yang jumlahnya 70 persen. Adapun etnis minoritas yang populasinya terbanyak di daerah pegunungan dan perbatasan, baik India, Banglades, China, Laos, maupun Thailand menjadi masyarakat kelas dua. Paling kurang ada 137 etnik minoritas di Myanmar.
Masalah ini jadi beban yang sulit diurai bagi etnis Rohingnya dan gerakan persamaan hak dari etnis-etnis minoritas di Myanmar. Sejak negara itu merdeka, kompromi tertinggi dengan etnis minoritas adalah pemberian ”federalisme” bagi minoritas yang menduduki wilayah luas. Akan tetapi, federalisme palsu itu tidak berbuah kesejahteraan dan kemakmuran karena sama sekali tanpa dukungan pemerintah pusat. Itulah sebabnya gerakan pemberontakan bersenjata di kalangan minoritas marak sejak 1950-an.
Namun, sejak 1960-an, rezim militer di bawah Jenderal Ne Win melakukan pendekatan baru untuk menghentikan pemberontakan di samping operasi militer, yaitu ”program pangkas empat”: memangkas akses pangan, dana pembangunan, kecerdasan, dan akses ke pemerintahan. Program pangkas akan berhenti jika etnis minoritas menghentikan pemberontakan (Martin Smith, 1999).
Kebijakan ini menyebabkan etnis minoritas makin menderita. Untuk itu, hanya perlu pemantik, negara bagian Rakhine, yang menjadi salah satu daerah termiskin dan selalu menyusahkan Yangoon karena pemberontakannya (sekarang Naypyidaw, ibu kota pemerintahan), mudah terbakar konflik.
Akan tetapi, karena dari segi jumlah etnis bertikai Rohingya (Muslim) kalah dibandingkan Arakan (Buddha), realitas konflik itu terpotret sebagai pembantaian minoritas Muslim oleh negara mayoritas Buddha. Di tambah Pemerintah Myanmar seperti membiarkan pembantaian itu, bahkan sementara jadi sekutu bagi etnis Arakan. Ada ”kesadaran nasional”: Rohingya bukan asli Myanmar dan harus kembali ke tanah leluhurnya.
Ambiguitas Demokrasi
Di sisi lain, kebangkitan gerakan oposisi nasional oleh Aung San Suu Kyi dan partainya LND tak bersinergi dengan gerakan-gerakan persamaan hak dari etnis minoritas. Bahkan, untuk kasus Rohingya, tokoh demokrasi itu tak mengeluarkan ”komentar yang mengganggu” pemerintahan junta militer. Suu Kyi masih berpikir ulang merespons isu sensitif itu, meski partainya telah memiliki posisi tawar yang cukup kuat pasca-pemilu legislatif.
Pada level internasional, PBB dan ASEAN juga tak menunjukkan sikap progresifnya dalam menyelesaikan krisis di Rakhine. PBB berdalih susahnya akses untuk memasuki negara kedua terbesar di Asia tenggara itu. ASEAN sendiri macet karena kepemimpinan tengah berada di tangan Myanmar. Di sisi lain, dunia Islam juga tidak berbuat banyak dalam menyahuti masalah ini.
Banglades dan Indonesia yang menjadi mayoritas Muslim juga tidak menunjukkan sikap empatik yang benar ketika menangani pengungsi Rohingya. Banyak pengungsi yang menyeberang ke Banglades dikembalikan ke Myanmar, yang berarti mendorong ke neraka kematian.
Indonesia mestinya bisa memberikan solusi konstruktif untuk kurangi derita Rohingya, baik melalui kampanye, diplomasi, maupun kemanusiaan. Bukan mengumbar sentimen keagamaan demi mengganaskan bara perang baru. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar