Selasa, 07 Agustus 2012

Defisit Perdagangan


Defisit Perdagangan
Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo ; Pengamat Ekonomi
SINDO, 06 Agustus 2012

Dalam beberapa hari terakhir, perbincangan di media banyak menyinggung perihal terjadinya defisit neraca perdagangan yang semakin besar di Juni 2012 lalu. Defisit tersebut dipicu dua hal, yaitu (pertama) menurunnya ekspor di Juni dibandingkan dengan Mei maupun jika dibandingkan dengan Juni 2011. Penyebab kedua adalah meningkatnya impor dibandingkan dengan tahun sebelumnya meskipun jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, impor sedikit menurun. Pembicaraan pada akhirnya banyak berujung pada keadaan perekonomian global yang menyebabkan penjualan barang-barang kita ke luar negeri menjadi terhambat. 

Selama Juni 2012, defisit perdagangan telah mencapai USD1,3 miliar. Sementara jika kita melihat selama 6 bulan terakhir, yaitu dari Januari sampai Juni 2012,neraca perdagangan Indonesia masih mengalami surplus meskipun sudah sangat kecil, yaitu sebesar USD480 juta. Total ekspor mencapai USD96,884 miliar, sedangkan impor USD96,408 miliar. Sebagaimana dikemukakan, selama semester I/2012 ekspor Indonesia mencapai USD96,9 miliar.

Jumlah tersebut menurun dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, USD98,6 miliar.Penurunan tersebut berjumlah USD1,7 miliar dengan sebagian besar terjadi pada Juni lalu yang mencapai USD1,3 miliar. Penurunan yang terbesar selama periode enam bulan tersebut terjadi pada ekspor nonmigas yang menurun dari USD79 miliar menjadi USD76,8 miliar atau menurun sebesar USD2,2 miliar. Untuk Juni, penurunan ekspor nonmigas berjumlah USD525 juta. 

Perkembangan tersebut sebagian disebabkan perkembangan pada ekspor 10 produk utama kita. Bahan bakar mineral, yaitu batu bara, masih naik USD1,8 miliar. Sementara itu ekspor minyak sawit turun USD100 juta. Yang menarik, sebagianprodukindustriutama justru masih mengalami kenaikan, yaitu produk industri mesin/peralatan listrik (tv dan sebagainya), mesin/peralatan mekanik, kendaraan dan bagiannya, serta barang rajutan (yang termasuk tekstil dan produk tekstil). Penurunan terbesar justru terjadi pada karet dan produk karet yang penurunannya mencapai USD1,8 miliar, sementara bijih,kerak dan abu logam mengalami penurunan sebesar USD1 miliar. 

Untuk minyak sawit dan produk karet jelas terpengaruh fluktuasi harga-harga komoditas,sementara untuk bijih,kerak,dan abu logam selain disebabkan fluktuasi harga komoditas,sebagian tentunya dipengaruhi kebijakan hilirisasi di sektor pertambangan. Dengan melihat perkembangan tersebut, kita bisa melihat, penurunan ekspor lebih disebabkan pergerakan harga komoditas dan pelarangan ekspor mineral yang belum diolah.Bahkan produk industri utama justru masih menunjukkan kenaikan nilai ekspor. 

Ini berarti dampak krisis global yang menimpa ekspor Indonesia masih terjadi melalui pergerakan harga komoditas yang terpengaruh krisis global tersebut. Dua produk utama yang saat ini terkena dampak penurunan harga komoditas, yaitu sawit dan karet, menurut hemat saya tetaplah masih memiliki prospek ke depannya. Karet sangat terpengaruh oleh permintaan industri ban yang mengalami peningkatan sangat pesat. Meskipun dewasa ini terjadi penurunan harga karet, permintaan karet masih tetap mengalami peningkatan karena masih terjadi pertumbuhan positif pada penjualan mobil global.

Penjualan mobil baru akan menambah besar populasi seluruh mobil yang ada sehingga permintaan ban di seluruh dunia bisa dipastikan akan terus mengalami peningkatan. Jika harga terlalu rendah,para petani akan malas untuk menoreh getah sehingga jumlah produksi akan menurun. Keadaan ini akan memengaruhi suplai dan demand sehingga pada akhirnya harga diperkirakan kembali membaik. Sementara itu, harga minyak sawit di pasar global memang mengalami penurunan.

Namun, penurunan harga tersebut masih memberikan keuntungan sangat besar pada para pengusaha maupun petani sawit sehingga pada akhirnya secara keseluruhan ekspor minyak sawit tersebut akan terus berlangsung dan justru meningkat karena luas panen perkebunan sawit dari tahun ke tahun terus meningkat. Penyebab kedua adalah terjadinya kenaikan impor yang mencapai USD13 miliar dibandingkan semester I/2011. Penyebab ini saya yakin bersifat lebih struktural. Impor untuk barang konsumsi, meskipun mengalami kenaikan, tidaklah menunjukkan peningkatan signifikan.

Kenaikan impor terbesar berupa peningkatan impor barang modal dan barang penolong.Ini berarti terjadi peningkatan impor untuk kegiatan investasi maupun produksi berbagai industri di Indonesia. Berdasarkan data statistik,produk dari industri manufaktur tersebut sebagian diekspor dan jumlahnya semakin lama semakin meningkat.Tapi permintaan yang terbesar dari produk industri manufaktur tersebut adalah golongan kelas menengah Indonesia yang jumlahnya naik sangat pesat.Kemakmuran masyarakat pada akhirnya melahirkan permintaan impor yang lebih besar. 

Produk industri automotif, misalnya. Penjualan mobil tahun 2012 ini diperkirakan mencapai lebih dari 1 juta unit. Sementara ekspornya meningkat signifikan, yaitu dari USD1,507 miliar menjadi USD2,344 miliar. Jika rata-rata harga mobil adalah sekitar USD10.000 per unit, ekspor kendaraan dan bagiannya tersebut ekuivalen telah mencapai sekitar 230.000 unit, suatu jumlah yang cukup besar. 

Bagian impor yang cukup besar adalah berasal dari peningkatan investasi, termasuk investasi penanaman modal asing (foreign direct investment/ FDI). Impor ini sebetulnya adalah pemasukan mesin-mesin pabrik yang pasti muncul sebagai impor,tetapi sepenuhnya dibiayai oleh investor asing tersebut (dalam rekening modal pada neraca pembayaran). Ini berarti meskipun terjadi kenaikan impor, karena pembiayaannya dilakukan sendiri oleh investor asing, tidak ada pengaruhnya pada cadangan devisa kita. Jumlah seluruh FDI di Indonesia selama kuartal I/2012 sebesar USD4,6 miliar. 

Dalam setahun terakhir (dari kuartal II/2011 sampai kuartal I/2012) jumlah PMA tersebut mencapai USD18,5 miliar. Jumlah untuk kuartal II/2012 masih menunggu laporan Bank Indonesia. Ini berarti jumlah PMA tersebut lumayan besar dalam mengompensasi kenaikan impor tersebut. Ini berarti jika tidak terjadi sentimen negatif pada perekonomian kita yang menyebabkan larinya modal-modal portofolio, bisa diperkirakan cadangan devisa Indonesia tidaklah akan tergerus banyak.

Ini berarti pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan berkelanjutan (sustained growth) meskipun di perekonomian global keadaannya demikian suram. Itulah sebabnya perlu tetap menjaga sentimen perekonomian kita tersebut agar terus positif. Pada akhirnya, itulah barangkali kontribusi yang bisa kita berikan kepada negara ini jika kita tidak bisa memberi kontribusi lainnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar