Anomali
Hubungan Israel-Iran
Ibnu Burdah ; Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga
KOMPAS,
04 Agustus 2012
Sejak 1979 Iran dipandang sebagai negara yang
paling bermusuhan dengan Israel. Retorika pemimpin Iran terhadap Israel,
terutama presiden sekarang, dikenal paling keras.
Setelah rangkaian perundingan negara anggota
tetap Dewan Keamanan PBB—plus Jerman— dengan Iran tak membawa kema- juan
berarti dan tekanan terha- dap Teheran kian kuat mulai Juli lalu, Iran kembali
menyampaikan ancaman akan menyerang Israel jika berani menyerang fasilitas
nuklirnya.
Israel juga memandang Iran sebagai sumber
ancaman terbesar di kawasan. Negara para mullah itu dituding sebagai sponsor
terorisme dan gerakan radikal. Pemimpin kedua negara sudah tak terhitung berapa
kali terlibat perang urat saraf yang begitu me- negangkan.
Isu ofensif militer Israel ke fasilitas
nuklir Iran mewarnai pemberitaan media massa dunia beberapa tahun terakhir.
Menghadapi ancaman itu, Iran bukannya surut mengendurkan
pernyataan-pernyataannya. Sebaliknya, Iran justru menegaskan kesiapannya akan
”melumat” negara itu sambil terus unjuk kekuatan.
Retorika permusuhan antara pemimpin Iran dan
Israel bisa jadi merupakan pernyataan yang paling keras di antara retorika para
pemimpin negara yang bermusuhan lain di belahan dunia saat ini. Namun, fakta
menunjukkan bahwa kedua negara itu ternyata belum pernah sekalipun terlibat
dalam konflik dan perang secara langsung. Ketika Israel ”dikeroyok” beberapa
negara di sekitar- nya, termasuk Irak, Iran tak terlibat dalam perang itu.
Ketika Hamas di Gaza dan Hezbollah di Lebanon Selatan dibombardir Israel, Iran
juga tak masuk ke arena perang membantu kedua aliansi strategisnya menghadapi
Israel.
Kedua negara bukan hanya berupaya membangun
pertahanannya dengan defense, yaitu kemampuan mempertahankan diri ketika
ancaman datang. Mereka juga memperkuatnya dengan deterrence, yaitu upaya penangkalan psikologis agar musuh-musuh
potensial tak berani melakukan serangan kepadanya. Israel dan Iran sama-sama
berupaya membangun deterrence-nya
dengan menunjukkan bahwa mereka mampu dan punya kredibilitas meyakinkan
melakukan pembalasan yang mematikan ketika mereka diserang.
Idealnya, deterrence
suatu negara berupa kepemilikan senjata nonkonvensional yang didukung
persenjataan konvensional canggih. Israel memiliki deterrence yang hampir ideal sebab ia diyakini telah memiliki
kapasitas senjata nuklir sejak 1970-1980-an. Israel juga didukung industri dan
pengembangan senjata konvensional termodern. Hanya saja, Israel belum pernah
resmi mendeklarasikan kepemilikan itu sehingga deterrence yang dimiliki mungkin
sedikit menurun.
Namun, keyakinan negara-negara musuh akan
kapasitas nuklirnya sudah cukup membantu keefektifan deterrence. Kendati tak
digunakan, kepemilikan senjata nuklir sangat memengaruhi perilaku negara-negara
musuh.
Konon itulah salah satu faktor yang bikin
Mesir bersedia maju ke meja perundingan Camp David. Sejak itu memang tak ada serangan
negara musuh terhadap Israel seperti sebelumnya. Serangan terhadap Israel
kemudian lebih bersifat ”gangguan” dan berasal dari kelompok perlawanan.
Iran juga berupaya keras menunjukkan
kemampuan dan kapasitas militernya. Negara ini hampir selalu memublikasikan
setiap keberhasilan pengem- bangan dan uji coba militernya,
kecuali dalam hal senjata nuklir. Berbeda dengan Israel, negara ini
mendeklarasikan program nuklirnya sehingga ia berada dalam pengawasan Badan
Atom Internasional. Iran juga terus menun- jukkan kesiapan dan militansi Garda
Revolusi, tentara reguler, dan mobilisasi milisi Basij dan simpatisan bela negara.
Mereka ingin mengirim pesan bahwa perang
dengan Iran mudah dimulai, tetapi mereka tidak akan mampu mengakhiri. Keku-
atan-kekuatan kelompok Jihad Islami, Hamas, dan Hezbollah, bahkan
kelompok-kelompok kecil lain yang mengepung Israel juga merupakan deterrence yang tidak bisa dipandang
enteng. Menghadapi Iran dapat berarti ”hujan roket” di seluruh wilayah Israel
dan datang hampir dari segala penjuru.
Pada titik itulah opsi Israel menyerang Iran
atau sebaliknya, harus mempertimbangkan risiko yang bisa jadi tak akseptabel,
baik bagi negara masing-masing maupun kawasan Timur Tengah secara umum. Pada
titik ini pula anomali hubungan Israel-Iran memperoleh penjelasan.
Tekanan Iran terhadap Israel atau sebaliknya
kemudian dilakukan tak langsung. Baik melalui kekuatan-kekuatan yang berada
dalam kontrolnya maupun melalui konflik dalam bentuk lebih lunak, seperti
perang intelijen, mendelegitimasi lawan, hingga intervensi melalui berbagai
cara.
Perlawanan Hamas, Jihad, Islami, dan
Hezbollah dipandang sebagai salah satu bentuk tekanan Iran kepada Israel.
Sebaliknya, kematian beberapa ilmuwan kunci dalam program nuklir Iran, aksi
perlawanan kelompok Kurdi dan Baluchi, dan tekanan negara besar terhadap Iran
dianggap tak terlepas dari upaya Israel.
Apakah hubungan anomali itu akan berhenti
menjadi konflik terbuka antara keduanya dalam waktu dekat ini? Yang pasti, kita
berharap pikiran pengambil kebijakan kedua negara masih cukup ”sehat” dan
rasional dalam memutuskan opsi terhadap lawan.
Sebab, perang besar hampir pasti
akan mengakibatkan bencana yang tak akseptabel, baik bagi kemanusiaan maupun
peradaban umat manusia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar