Rabu, 08 Agustus 2012

Anomali di Negeri Religius


Anomali di Negeri Religius
Albiner Siagian ; Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, Medan
KOMPAS, 08 Agustus 2012


Korupsi merajalela lagi membudaya. Inilah salah satu anomali di negeri yang mengaku religius ini. Mestinya, angka korupsi sebagai salah satu indikator kesalehan haruslah berkorelasi negatif dengan tingkat religiositas. Itu baru pas! Namun, tampaknya bukan Indonesia namanya kalau tak begini.
Belum lagi kelihatan tanda- tanda keanehan korupsi teratasi, muncul keanehan lain. Harga kedelai melambung tinggi tak terkendali. Ini juga anomali. Betapa tidak, kita sudah paham betul bahwa bangsa ini tak bisa dipisahkan dari tahu dan tempe. Seharusnya kedelai, sebagai bahan baku pangan merakyat ini, menjadi fokus perhatian pemerintah negeri ini jauh-jauh hari.
Sebenarnya persoalan kedelai ini hanyalah ikutan logis dari salah urus pemerintah akan pertanian, terutama tanaman pangan, di negeri yang tak rela disebut negeri agraris ini. Sudah tahu bahwa rakyatnya tukang makan beras, tetapi beras tak pernah diurus sampai beres. Jalan pintas bernama impor menjadi pilihan paling mudah. Tak perlu ahli pertanian atau ekonomi membuat keputusan ini. Akibatnya, negeri ini amat bergantung pada bangsa lain. Amerika Serikat kekeringan, Indonesia yang kehausan!
Economist Intelligence Unit (EIU) menempatkan ketahanan pangan Indonesia di bawah Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Tidak mengejutkan. Indikator riilnya adalah volume impor beras yang terus meningkat dan angka kurang gizi pada anak balita yang masih tinggi.
Ketinggalan Perahu
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2010), prevalensi kurang gizi pada anak balita adalah 17,9 persen. Prevalensi anak balita penderita gizi buruk juga masih tinggi. Saat ini 5 dari 100 anak balita menderita gizi buruk. Dengan prevalensi sebesar itu, kekurangan gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat.
Saat masih banyak anak balita menderita kurang gizi dan para pengusaha tahu dan tempe tengah pusing tujuh keliling menyiasati tingginya harga kedelai, presiden menyatakan akan merevitalisasi Bulog sebagai penyangga bahan kebutuhan pokok. Ah, kita memang sering ketinggalan perahu.
Masih adakah anomali lain? Tentu, masih banyak. Bila ditanya ihwal toleransi, secara serentak bangsa ini akan mengaku menjunjung tinggi kebebasan beragama. Namun, apa buktinya? Tindakan intoleransi terus saja terjadi. Pemerintah tak berdaya.
Klaim yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi, kesamaan hak, dan kesetaraan di depan hukum hanyalah isapan jempol belaka. Dalam praktiknya, hukum tak ubahnya seperti pedang bermata dua, tajam bagi kaum lemah, tumpul bagi kaum kuat. Pengakuan bahwa bangsa ini ramah dan sopan santun sudah selayaknya dipertanyakan. Kita tak lagi mengenal diri kita! Bahkan, kita tak lagi berani menyatakan yang benar.
Dilema Moral
Barangkali masih segar dalam ingatan kita tuduhan para tokoh agama terhadap pemerintah. Intinya, pemerintah dituduh berbohong terhadap data dan klaim keberhasilannya.
Pada hemat saya, yang kita dapatkan saat ini adalah buah kegemaran pemerintah untuk tak menyatakan yang benar. Alasan pragmatis mendorong pemerintah melakukan itu. Hal itu sangatlah naif dibandingkan dengan akibat buruk dari kebohongan itu. Ini dilema moral.
Ada pertentangan antara kebenaran dan kesalahan dari suatu tindakan atau perbuatan, serta antara kebaikan dan keburukan dari konsekuensi tindakan itu. Pertimbangan pragmatis sebagai dasar bagi pembenaran suatu tindakan memunculkan dilema moral.
Victor Grassian dalam bukunya, Moral Reasoning, memuat sejumlah ilustrasi dilema moral: ”A Poisonous Cup of Coffee”. Ceritanya begini. Si Tom membenci istrinya. Dia menghendaki istrinya mati. Ia taruh racun ke dalam kopi istrinya. Setelah meminum kopi beracun itu, istrinya meninggal. Si Joe juga menginginkan istrinya mati.
Suatu hari istrinya tak sengaja menaruh racun pada minuman kopinya. Dia menyangka bahwa itu krim. Joe tahu itu racun dan dia memiliki penawarnya. Dialah satu-satunya yang dapat menyelamatkan nyawa istrinya. Akan tetapi, dia tak melakukannya. Dia membiarkan istrinya meminum kopi beracun itu. Lalu istrinya pun meninggal.
Apakah dosa si Tom sama buruknya dengan dosa si Joe? Atau, apakah Joe gagal melakukan perbuatan yang dapat dan seharusnya dia lakukan? Dari segi hukum formal, mungkin Joe bisa berkelit bahwa dia tak melakukan perbuatan yang menyebabkan istrinya kehilangan nyawanya.
Justru dia gagal melakukan perbuatan yang bisa menyelamatkan nyawa istrinya. Ini dilema moral. Maukah pengacara Tom menceritakan ini di muka pengadilan dengan pertimbangan moral dengan mengesampingkan prinsip kerahasiaan antara pengacara dan klien?
Berkaitan dengan anomali di negeri pancasilais ini, adakah pemimpin yang mengakui kegagalannya dengan mengesampingkan dilema moral? Akankah mereka tetap tak menyatakan yang benar hanya agar disangka saleh? Bukankah kesalehan adalah keberanian menyatakan yang benar? ●
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar