Politik
Tanpa Perantara
Budiarto
Danujaya ; Pengajar Filsafat Politik
dan Diskursus Ideologi FIB UI
KOMPAS, 04 Juli 2012
Politik pertama-tama bukanlah kegiatan
menjaga status quo prosedural, laik tertib sehubungan dengan kebijakan
distribusi dan legitimasi kuasa. Politik bermakna justru ketika menghadirkan
sendatan- sendatan emansipatoris menggugat status
quo, yang kerap kali telanjur dianggap wajar, padahal mengidap ketakadilan,
kesewenangan, dan ketakpedulian.
Masalahnya, baru lewat sendatan gugatan
itulah, perihal keadilan, kepatutan, dan kebersamaan yang terabaikan diupayakan
kembali diperhitungkan ke dalam prosedur dan mekanisme kebersamaan. Dengan
begitu, mereka yang tercecer, terzalimi, ataupun tercampakkan dapat merebut
kembali posisi politis mereka: partisipasi aktif dalam mewujudkan gambaran
ideal bersama sebagai bangsa.
Kerangka kerja politik disensual semacam ini
lebih memudahkan kita mencerna makna pelbagai gerak pembangkangan publik yang
belakangan semakin kerap terjadi. Katakanlah menyangkut, mulai dari berbagai
anarki berkekerasan bahkan berdarah melawan aparat, pengajuan petisi, ataupun
pengumpulan tanda tangan protes. Tentu saja, termasuk rangkaian solidaritas
pengumpulan koin, seperti yang sekarang sedang digalang untuk pembangunan
gedung Komisi Pemberantasan Korupsi.
Aksi pembangkangan seperti ini kerap luput
dimaknai lantaran cenderung dilihat sebelah mata sebagai tindak ”main-main”
orang iseng. Padahal, boleh jadi justru inilah contoh par excellence dari
penggalangan politik partisipasi aktif publik, yang disebut Jacques Ranciere
(1999): demokrasi sebagai politik kesetaraan aktif.
Terwakili atau Terwakilkan
Sesungguhnya, ini bukan kali pertama kita
menyaksikan solidaritas pengumpulan tanda tangan atau koin sebagai protes atas
kebijakan penguasa yang dinilai mengidap ketakadilan, kesewenangan, atau
ketakpedulian. Mengenang sepintas, kita bisa menyebut penggalangan koin untuk
Prita dan Darsem, atau tanda tangan untuk Bibit Samad dan Chandra Hamzah.
Betapapun, kiranya baru kali inilah kehebohan
tanggap-sikap para politikus Senayan bisa langsung dipanen sesegera gagasan
tercetus. Kesan yang segera menyeruak, mereka tak habis pikir politik ”jalanan”
semacam ini bisa terjadi antarlembaga negara dan tertuju kepada kebijakan
lembaga agung seperti DPR pula.
Ini tampak gamblang lewat wawancara televisi
seorang anggota Komisi III DPR. Baginya, gagasan pengumpulan koin ini cuma
merupakan ekses ketaksabaran ”gaya LSM” belaka. Maksudnya gamblang, menuding
sang pencetus, yakni Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto yang lama malang
melintang di LSM bantuan hukum.
Tersirat gamblang klasifikasi di balik
pernyataan ini. Di satu sisi, parlemen merupakan tempat orang-orang bertimbang
serius sehingga keluarannya layak disebut politik.
Sementara, di sisi lain, LSM adalah sarang
orang-orang grusa-grusu—terburu-buru, sembarangan, dan pendek pikir—sehingga
tak memadai untuk membicarakan politik adiluhung. Jadi, kategorisasi politik
formal dan nonformal juga sekaligus dimaknakan sebagai politik serius versus
tidak atau kurang serius alias ”main-main”.
Tampaknya, yang luput ditengarai adalah
parlemen pada dasarnya justru perwujudan ”terpaksa” dari representasi politik
publik belaka. Dikatakan terpaksa lantaran mekanisme partisipasi politik publik
yang lebih ideal adalah presentasi langsung seperti pada demokrasi agora.
Partisipasi politik tanpa perantara ini semakin muskil dilaksanakan dalam
demokrasi modern, lantaran skala populasi rakyat yang kian membeludak.
Jadi, kalau para anggota Dewan yang mulia itu
disebut wakil rakyat, justru karena pada dasarnya hanyalah representasi alias
perwakilan dari para pemberi mandatnya, yakni orang banyak yang grusa-grusu itu.
Gejala umum lupa mandat semacam ini
semestinya menyadarkan kita bahwa politik sejati memang justru terjadi di
seluar politik representasi. Tepatnya, justru pada kembalinya partisipasi aktif
dari mereka yang tercecer, terzalimi, dan tersingkirkan sehingga rawan grusa-grusu
tersebut. Jadi, justru pada kembalinya partisipasi aktif mereka yang selama ini
dianggap terwakili, padahal ternyata cuma terwakilkan.
Politik Gobang
Gamblanglah, peristiwa pembangkangan politik
masyarakat, termasuk seperti solidaritas penggalangan koin untuk KPK, perlu
kita simak saksama namun lebih dalam kerangka kembalinya politik partisipasi
aktif publik semacam ini. Tentu saja tak semua memenuhi kriteria. Betapapun,
setidaknya justru lewat momen-momen disensus semacam itulah kita kerap bisa
lebih mengenali dinamika aspirasi publik yang sedang menggelora ketimbang lewat
politik formal para penguasa.
Dalam konteks itulah, Ranciere berpendapat,
politik para penguasa yang menyesaki hampir seluruh hiruk-pikuk keseharian kita
itu hanyalah sekadar ”polis”. Dituding ”polis” lantaran kepentingannya
terpasung pada tetek-bengek kebijakan (policing),
baik dalam arti pembuatan, pengawasan, maupun penjagaan tertib publik.
Gamblangnya, seputar pengukuhan legitimasi kuasa dan penertiban distribusinya
belaka.
Politik sejati justru berlangsung di seluar
”polis”. Kepentingan politik sejati tertuju pada kesetaraan aktif. Maksudnya,
saat-saat tatkala mereka yang tercecer, terzalimi, atau tersingkir merebut
kembali posisi partisipasi aktif mereka. Jadi, melampaui penyetaraan, muaranya
adalah kesetaraan: sendatan-sendatan delegitimasi terhadap tertib status quo justru dalam rangka
redistribusi kuasa.
Berkaca pada wacana ini, kalau belakangan
semakin banyak orang gampang tersulut grusa-grusu, bahkan sampai berani
melakukan perlawanan berdarah terhadap aparat, jangan-jangan merupakan
tanda-tanda betapa kegagalan politik representasi kita sudah mendekati ambang
batas kredit permaklumannya.
Politik partisipasi aktif publik senantiasa
merupakan penyingkiran berlaras ganda (double-axis
displacement): selamat datang politik hati nurani tanpa perantara tapi juga
selamat tinggal politik tanpa hati para perantara. Merunut konteks ini,
barangkali lebih afdal kalau selanjutnya solidaritas pengumpulan koin semacam
ini lebih kita sebut politik penggalangan gobang.
Penalarannya, menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1995), gobang bukan hanya bisa berarti koin logam uang, tapi juga
pedang. Waspadalah, sejatinya, seperti itulah laras ganda kembalinya politik
partisipasi aktif publik. Jangan remehkan, kalau tak bijak-bijak disaksamai,
bisa-bisa bertiwikrama menjadi tajam
menyayat laiknya pedang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar