Pertarungan
Baru Dimulai
Donny Gahral Adian ; Dosen Filsafat
Politik UI
KOMPAS,
13 Juli 2012
Demokrasi adalah
pertarungan. Kalah menang soal biasa. Namun, Pilkada DKI kali ini tidak biasa.
Bukan karena diikuti oleh kandidat-kandidat luar biasa. Saya menduga,
pertarungan politiknya yang bukan pertarungan biasa.
Sudah lama saya merindukan
pertarungan politik sebenar-benarnya. Bukan pertarungan antara cukong dan
konsultan politik belaka, melainkan pertarungan antara barisan ideologis dan
gerombolan oportunis. Pertarungan antara kepekaan dan keahlian. Politik orang
melawan politik barang. Pertarungan yang pemenangnya adalah kedaulatan rakyat
dan bukan semata siasat.
Agon
Demokrasi adalah kompetisi.
Semasa Yunani Kuno, orang menyebut agon
sebagai kompetisi antarwarga untuk menunjukkan keutamaan masing-masing. Agon diturunkan dari kompetisi
gimnastik, di mana atlet berlomba menunjukkan kehebatan masing-masing di arena.
Agon dimotori oleh insting narsistik
yang kental. Setiap orang berlomba memamerkan kelebihan dirinya di antara orang
banyak. Ada hierarkis di situ. Orang banyak adalah mereka yang melongo, sementara para aristos adalah yang berdiri pongah
dengan kepala menengadah.
Apabila demokrasi klasik
menuduh kompetisi politik sebagai ajang pamer kebolehan pribadi, pilkada kita
justru sebaliknya. Semua kandidat bertiwikrama menjadi filantropis yang bernafsu. Tengok program mereka. Hampir semua
menjanjikan pengobatan gratis bagi warga kota.
Hampir semua berjanji
menggratiskan sekolah mulai dari TK sampai perguruan tinggi. Bertolak belakang
dengan semangat agon, semua kandidat
justru mengubur dalam-dalam insting narsistiknya.
Apakah benar demikian?
Pertarungan agonistik sejatinya tetap terjadi antarkandidat. Buktinya, puluhan
miliar rupiah dikeluarkan untuk membedaki wajah politik masing-masing. Kontes
pilkada bisa dibilang hampir mirip kontes kecantikan. Warga bukanlah partisipan
yang menggunakan hak politiknya secara aktif. Warga adalah mereka yang duduk di
seberang panggung sambil mengagumi kecantikan politik para kontestan.
Masing-masing pun bersiap menentukan pilihannya sembari membayangkan, bukan
memahami.
Pilkada adalah pesta di
seberang jalan. Modal dan iklan adalah balon warna-warni yang memeriahkan
pertarungan. Semua kandidat bertingkah filantropis, tetapi terus memompa
pundi-pundinya supaya dapat tampil paling berkesan di antara yang lain. Pemilih
pun jadi sulit membedakan antara kandidat satu dan lainnya. Semua mengusung
program yang hampir sama. Semua mengibarkan panji-panji kerakyatan yang sewarna.
Sekilas, tidak ada distingsi fundamental bagi warga untuk menetapkan suaranya.
Para kandidat juga berlatar
belakang kelas yang lebih kurang sama. Semua datang dari kelas menengah
terdidik yang memiliki jarak sosial dengan sebagian besar konstituennya. Kelas
menengah biasanya memiliki kacamata sama dalam melihat kesulitan rakyat kecil:
sebagai persoalan untuk dipecahkan dengan rumus yang terberi. Mereka
memecahkan, bukan merasakan masalah. Slogan politik yang berseliweran adalah
”profesional”, ”ahli”, ”kompeten”, ”efisien”, ”tiga tahun bisa”, dan
sebagainya. Padahal, kita mencari gubernur, bukan direktur perusahaan.
Akibatnya, pertarungan pun
terjadi pada tataran teknis dan citra. Semua bicara perkara teknologi sosial
untuk menyelesaikan masalah perkotaan. Teknologi sosial itu pun dibungkus citra
yang dibangun di laboratorium para konsultan.
Konflik yang Menjanjikan
Pilkada DKI kali ini
mengagetkan saya. Saya merasakan sebuah pertarungan yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Saya menemukannya di tubuh dua partai politik besar: PKS dan PDI-P.
Keputusan PKS untuk menetapkan Hidayat Nur Wahid dan Didik Rachbini adalah
lompatan politik yang cukup berani. Keduanya bukan calon bermodal. Hidayat
hidup secara asketis, sementara Didik akademisi sederhana. Dibandingkan calon
PKS di pilkada sebelumnya, kedua calon PKS ini cukup menjanjikan dari segi ide
dan komitmen. Pencalonan keduanya membuktikan bahwa di tubuh PKS masih ada
faksi keadilan yang masih ingin mempertahankan idealisme dan marwah partainya.
Pertarungan di tubuh PDI-P
tidak kalah ganas. Di internal, barisan ideologis berhadap-hadapan dengan
gerombolan transaksionis. Jokowi sendiri adalah keputusan di saat-saat
mengkhawatirkan. Seorang wali kota dengan rekam jejak berpolitik yang sangat
manusiawi hampir saja luput direkomendasikan. Saat partai mencari figur yang
menjanjikan kemenangan, Jokowi tiba-tiba jadi tak menarik. Berbagai alasan
diajukan, mulai dari modal finansial yang kembang kempis sampai latar kultural
yang dianggap tak sejalan.
Bagi saya, pertarungan
internal di kedua partai tersebut menjanjikan pertarungan politik yang kita
idamkan bersama. Untuk pertama kalinya kita sungguh-sungguh menghargai suara
politik yang kita miliki. Suara bukan kertas suara, melainkan aspirasi politik
yang mampu membuat perubahan kolektif secara fundamental. Warga pun bertarung
dengan gairah politik yang tak pernah ditemukan dalam sejarah politik
pascareformasi. Sekilas naif. Namun, ibarat udara, tidak ada satu pun yang
dapat memungkirinya.
Pertarungan agonistik yang
terjadi bukan lagi pada tataran kesan, melainkan kepekaan. Pertarungan bukan
lagi adu kemolekan, melainkan kemampuan merasakan dan menyelesaikan kesulitan
publik. Kita tiba-tiba terhasut untuk percaya pada keajaiban. Pertarungan kali
ini adalah polemos ( konflik) yang
menjanjikan logos ( kebenaran). Ada janji dan harapan yang menyembul di balik
debu pertarungan politik kali ini.
Keserakahan Masih Mengintai
Namun, pertarungan belum
selesai. Ini bahkan baru saja dimulai. Modal dan keserakahan masih mengintai
ruang politik kita. Transaksionisme masih menunggu di ujung jalan. Rakyat masih
rentan dipermainkan iklan. Suara bisa lenyap ke udara melalui rekayasa
informasi.
Namun, banyak orang lupa, agon bukan semata-mata adu kebolehan
pribadi. Agon adalah pertarungan
untuk menunjukkan siapa yang paling mampu berkontribusi untuk keadaban publik.
Pemenang adalah dia yang terbaik dalam mewujudkan kebaikan publik. Dia yang
kemenangannya dirayakan rakyat dan bukan para cukong, konsultan, dan teknisi
informasi. Pertarungan belum selesai. Mata air politik ini masih dapat kering
di tengah jalan. Ini bukan pertarungan antara kebaikan dan kejahatan. Ini
bahkan bukan perkara etika politik. Pertarungan ini adalah pertarungan
ideologis. Pertarungan antara mereka yang percaya pada kekuatan cita dan
komitmen dengan mereka yang lebih percaya uang. Terlebih lagi, politik kita
seperti terbelah menjadi dua bagian besar. Politik terpisah menjadi perkara
keahlian dan kepekaan.
Ada dua kaum yang berpolitik
di pilkada kali ini. Mereka yang berpolitik seperti menulis disertasi dan
mereka yang berpolitik dengan menghiruprasakan kesulitan orang banyak. Kita
tentu berharap yang terbaik. Saya sudah tidak dapat menulis apa-apa lagi
kecuali berpesan: mari menangkan pertarungan
ini! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar