Mengamini
Korporasi Edukasi
Pencederaan
HAM Serius
Bambang Satriya ; Guru besar dan Dosen
Luar Biasa Universitas Machung dan UIN Malang, Penulis Buku Etika Birokrasi
MEDIA
INDONESIA, 16 Juli 2012
TAJUK Media Indonesia (14/7) berjudul Menertibkan Sekolah Nakal menyebutkan
dunia pendidikan masih memperlihatkan wajah suram. Penerimaan siswa baru dari
jenjang terendah sampai tertinggi masih diwarnai berbagai pelanggaran, terutama
menyangkut pungutan.
Posko pengaduan penerimaan siswa baru tahun ajaran 2012-2013 yang
dibentuk Indonesia Corruption Watch
(ICW) dan Ombudsman mencatat
setidaknya ada 112 kasus pelanggaran di 108 sekolah di Tanah Air. Mayoritas
pelanggaran terkait dengan pungutan. Besaran pungutan bergantung pada jenjang
pendidikan. Untuk tingkat SD atau madrasah ibtidaiah sebesar Rp1,3 juta, SMP
atau madrasah sanawiah Rp2 juta, dan untuk tingkat sekolah menengah atas Rp2,4
juta. Forum Masyarakat Peduli Pendidikan
Kota Malang, Jawa Timur, bahkan menemukan 40 jenis pungutan liar yang
dilakukan penyelenggara pendidikan di rintisan sekolah berstandar internasional
(RSBI) dan sekolah bukan RSBI di Kabupaten/Kota Malang dan Kota Batu.
Masalahnya mengapa `sekolah nakal', sekolah serakah, sekolah tak
kenal kasih sayang, sekolah berhaluan diskriminasi, atau sekolah yang menakar
segala penyelenggaraan pendidikan mereka berasas serbauang itu tetap saja unjuk
gigi di setiap tahun ajaran baru?
Mengapa sekolah-sekolah bergaya kapitaslistis itu bisa terus
berjaya, tanpa merasa bersalah, dan tanpa merasa melanggar hak konstitusional
warga?
`Sekolah nakal' atau `jagat pendidikan kapitalistis' itu secara
fundamental layak dikategorikan sebagai wujud nyata pelanggaran terhadap hak
kesetaraan pendidikan masyarakat. Sekolah bukan ditempatkan sebagai `rumah'
yang memanusiakan dan mengharmoniskan, melainkan sebaliknya, didesain menjadi
institusi dagang yang lebih berkiblat pada besaran modal yang bisa mereka
peroleh.
Sekolah yang semestinya menjadi media strategis atau kawah
candradimuka terhadap proses transformasi nilai-nilai ilmu pengetahuan dan
moralitas agung akhirnya digeser penyelenggaranya sebagai `korporasi edukasi'
yang mengutamakan harga jual alih-alih harga keadaban dan demokratisasi
edukasi.
“Uang tidak dapat memberi Anda rumah yang penuh dengan kasih dan
penghargaan dari orang-orang yang tinggal di dalamnya,“ demikian pernyataan
John Hagee dalam buku Barack Obama Menerjang Harapan diterjemahkan dari buku
The Seven Secrets (2006), yang sebenarnya mengingatkan kita supaya dalam
kehidupan atau menjalani aktivitas di dunia ini tidak menahbiskan uang atau
tidak memenangkan uang di atas kesakralan ilmu pengetahuan (pendidikan).
Bukan Jadi Garansi
Uang memang bisa digunakan untuk membeli rumah atau sekolah,
tetapi tidak otomatis bisa `membeli' kasih sayang yang bisa dihadirkan di dalam
rumah dan sekolah. Uang bisa digunakan membeli kenikmatan dan kesenangan, tapi
tidak bisa digunakan membeli kebahagiaan, ketenangan, dan khususnya keadaban
(pembumian prinsip pemanusiaan manusia).
Sudah banyak sekolah mewah dibangun dengan menghabiskan uang
hingga miliaran rupiah, tetapi pengeluaran yang sebanyak itu tidak selalu
menjadi garansi institusi pendi dikan tersebut bisa menjadi mediasi lahirnya
kedamaian, kebahagiaan, iklim progresivitas, dan pencerahan di dalamnya. Para penghuninya
sebatas bisa mengarsiteki dan membangun serta membelikannya perabotan eksklusif
bernilai ratusan hingga miliaran juta rupiah, tetapi gagal membelikan
(memberikan) perhiasan terbaik bernama `keadaban' bagi anak didik mereka. Para
peserta didik hanya dikenalkan pada besaran `korporasi edukasi' yang mereka
terima, dan bukan keadaban yang wajib memperkuat kepribadian mereka.
Sosiolog kenamaan Juergen Habermas pernah bilang knowledge is power atau ilmu pengetahuan
adalah kekuatan. Siapa yang punya ilmu pengetahuan berarti punya sumber daya
besar dan strategis yang menentukan sejarah peradaban manusia. Sepanjang dalam
diri manusia, masyarakat, dan bangsa mengidap krisis ilmu pengetahuan atau
menganaktirikan kesejatian kesakralan pendidikan, kemajuan dan kebesaran
sebagai manusia, masyarakat, dan bangsa tidak akan pernah bisa diperolehnya.
Pendidikan Seumur Hidup
Syarat utama dan fundamental untuk memajukan bangsa ialah pemajuan
ilmu pengetahuan atau menggalakkan gerakan cinta sekolah yang berbasis pemanusiaan
manusia atau penyederajatan status sosial. Miskin atau kaya seseorang tidak
boleh dijadikan alasan untuk mengurangi, apalagi menghentikan dan mematikan
semangat, gairah, dan obsesi untuk mengejar dan menguasai ilmu pengetahuan.
Menggapai dan menguasai ilmu merupakan roh konsep ideal `pendidikan seumur
hidup' (life long education), suatu
pendidikan yang wajib diikuti setiap anak manusia di Bumi Pertiwi ini.
Kita pun disuruh berani `ibadah edukasi' melintas batas global
demi ilmu, di masyarakat, bangsa, atau negara mana pun di dunia ini, sepanjang
di situ memang menyediakan kesempatan secara egaliter untuk belajar dan
menguras kemajuan ilmu pengetahuan yang tersedia.
Kita tidak boleh melihat pada siapa dan negara mana kita
memperoleh `menu edukasi', tetapi kita disuruh menjadi pembelajar yang baik,
yang berusaha maksimal mencerdaskan diri, termasuk menggerakkan semua mesin
fundamental di negeri ini untuk membudayakan mental pembelajar atau
membelajarkan mental mengutamakan jagat pendidikan, dan bukan mengamankan,
apalagi mengamini akselerasi `korporasi edukasi', yang mendiskriminasikan
(mengeliminasi) hak kependidikan.
Kita tak akan pernah punya anak-anak bangsa yang tangguh, militan,
kreator, dan pejuang kalau diri mereka mengidap krisis ilmu pengetahuan, yang
menjadi embrio merajalelanya `korporasi edukasi' dari `tuntutlah ilmu
pengetahuan meskipun ke negeri China', yang merupakan sabda Nabi Muhammad SAW,
yang mengajarkan di mana pun dan dalam kondisi apa pun, kita wajib membangun
anak-anak menjadi komunitas pembelajar. Kasus tawanan perang yang dijadikan
guru oleh Nabi Muhammad SAW juga menandakan urgensi dan fundamentalnya proses
transformasi edukasi, dan bukan pada berapa besar kalkulasi ekonomi.
Kebijakan edukasi yang dikeluarkan Nabi itu seharusnya dijadikan
pelajaran berharga oleh setiap warga bangsa, bahwa penyelengga raan
pembelajaran merupakan kunci utama yang menentukan keberlanjutan dan kejayaan
hidup bangsa. Dunia pendidikan wajib menciptakan atmosfer membebaskan dan bukan
menghadirkan penindasan atau pendiskriminasian karena dengan atmosfer itu,
kepribadian peserta didik terbentuk menjadi pembebas, dan bukan menjadi
penindas.
Hanya dengan bermodalkan pengistimewaan pendidikan itu, berbagai
bentuk problem bangsa yang menjajah itu bisa dimerdekakan. Mengamini
pelanggaran HAM (hak pendidikan) ibarat mengamini berlangsungnya penjajahan
atau penindasan dan membenarkan terjadinya dan lestarinya disparitas edukasi di
balik selubung korporasi edukasi.
Jika penyelenggaraan pendidikannya masih sarat baksil atau
dikuasai semacam virus diskriminasi atau korporasi edukasi seperti maraknya
`sekolah nakal', bukan problem bangsa yang bisa dientas jagat pendidikan,
sebaliknya dari jagat pendidikanlah, akumulasi problem penyakit bangsa
diproduksi dan dilanggengkan.
Alangkah menyenangkan dan kondusifnya iklim belajar-mengajar jika
anak-peserta didik yang masih berusia dini atau terikat regulasi `wajib
belajar', bisa menikmati iklim pembelajaran tanpa perlu `diganggu' guru, kepala
sekolah, atau elemen koperasi sekolah, yang bermaksud menagih uang buku
pelajaran, iuran OSIS, asuransi sekolah, dana kesehatan, dan `daftar'
pembiayaan selangit yang mencekik?
Betapa bergairahnya anakanak kita dalam mendengarkan, menyerap,
dan mendiskusikan pelajaran yang diajarkan para guru ketika kepala mereka tidak
`dijejali' problem kebijakan `sekolah nakal' yang mencoba mencari celah-celah
yang bisa dijadikan alasan mengail uang sebanyak-banyaknya.
Sudah saatnya kita, terutama dari kalangan `wong elite', tidak mengamini multidimensi korporasi edukasi karena
dalam ranah hukum (PP Nomor 48 Tahun 2008), sebenarnya pemerintah telah
berjanji hendak mewujudkan pembebasan atau pemanusiaan manusia atas anak didik
dari segi biaya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar