Menakar
Otonomi Khusus Aceh dan Papua
Bayu
Dardias ; Ketua Tim Kajian Otsus Aceh
Papua Fisipol UGM-TIFA 2012
KOMPAS, 03 Juli 2012
Salah satu cara melihat gagal-berhasilnya
desentralisasi asimetris yang dilekatkan kepada Papua sejak 2001 dan Aceh sejak
2008 adalah dengan kacamata kesejahteraan.
Kesejahteraan dilihat dari aspek
dasar—pendidikan dan kese- hatan—serta desain dan praktik kewenangan,
kelembagaan, dan keuangan yang melekat di dalam otonomi khusus. Kesejahteraan
diletakkan sebagai tujuan akhir, sementara otonomi khusus merupakan upaya
mencapainya.
Desentralisasi asimetris yang dikenal dengan
sebutan otsus dan daerah istimewa merupakan pola relasi unik antara pemerintah
pusat dan daerah karena sebab-sebab khusus. Sebuah daerah menerima wewenang,
lembaga, dan keuangan yang berbeda dengan daerah lain. Pola relasi ini lazim
terjadi dalam negara kesatuan. Indonesia mempraktikkannya sejak 1950 ketika
mengatur Yogyakarta.
Hanya saja, asimetrisme yang telah diberi
ruang dalam semua konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia tidak menunjukkan
perkembangan berarti di masa Orde Baru. Tuntutan asimetrisme menguat sebagai
alternatif sejak Reformasi.
Penelitian Jurusan Politik dan Pemerintahan
UGM dengan Yayasan TIFA (2009) mengindikasikan setidaknya lima model daerah
yang ke dalamnya dapat dilekatkan asimetrisme. Kelima model itu didasarkan atas
pertimbangan konflik dan separatisme (Aceh dan Papua), pengembangan ekonomi
(Batam), perbatasan (Kalimantan Barat), kultural (Yogyakarta), dan ibu kota
negara (DKI Jakarta). Asumsinya: karakteristik Indonesia yang beragam akan
sulit hanya diwadahi dengan satu pola pusat-daerah.
Upaya mengukur kesejahteraan dapat dibaca
pada tiga indikator: kewenangan, kelembagaan, dan keuangan. Karakteristik
geografis, sejarah, kultur, dan individu yang berbeda antara Aceh dan Papua
diasumsikan sudah terwadahi dalam UU 21/2001 untuk Papua dan UU 11/2006 untuk
Aceh. Salah satu amanat penting dalam perumusan kedua UU itu adalah akselerasi
pembangunan. Idealnya, UU Otsus dan turunannya yang bermuara kepada
kesejahteraan harus memberi wewenang khusus, kelembagaan khusus, dan keuangan
khusus.
Di tingkat provinsi, penggunaan kekhususan
yang terwujud dalam regulasi daerah
tak boleh melenceng dari tujuan
meningkatkan kesejahteraan. Ini terutama dilihat dari pola relasi
provinsi-kabupaten/kota. Otsus dile- takkan di level provinsi. Ia tak hanya
menciptakan hubungan berbeda Jakarta-provinsi, tapi juga
provinsi-kabupaten/kota.
Regulasi berwujud perdasus dan perdasi di
Papua dan qanun di Aceh dipandang sebagai upaya praktik desentralisasi
asimetris dan pengejawantahan otsus. Dengan tiga indikator itu, perbandingan
otsus Aceh dan Papua sangat dimungkinkan.
Aceh dan Kesejahteraan
Otsus Aceh menemukan titik ideal dalam UUPA
11/2006 setelah sempat berusaha menemukan pola sejak awal Reformasi melalui Tap
MPR IV/1999, yang diwujudkan dalam UU 18/2001. Pada pelaksanaan UU sebelumnya,
otsus Aceh tak berjalan dengan baik karena konflik bersenjata masih tinggi dan
masalah identitas belum tuntas. Ini terasa sangat berbeda dengan pelaksanaan
UUPA yang disepakati semua pihak. Sekitar 87 persen kesepakatan dalam MoU
Helsinki tercantum dalam UUPA dengan beberapa penyesuaian.
Keberhasilan terbesar pelaksanaan otsus Aceh
adalah transformasi kekuatan GAM ke dalam struktur pemerintahan modern dalam
NKRI. Seluruh elemen sepakat, UUPA adalah titik pijak menciptakan Aceh yang
sejahtera. Tak ada lagi yang menginginkan kondisi sebelum UUPA.
Pertarungan politik yang terjadi di Aceh
antarfaksi yang semula bersatu di bawah GAM adalah gejala wajar, seperti juga
terjadi di provinsi lain. Kisah sukses pilkada gubernur Aceh menunjukkan bahwa
terjadi proses yang baik dari masyarakat konflik ke masyarakat demokratis.
Pertarungan tak lagi dilakukan di gunung dengan senjata di bahu, tetapi melalui
bilik suara.
Dari sisi wewenang, pemerintah pusat lalai
memberi PP yang menjadi turunan UUPA, terutama terkait pengelolaan sumber daya.
Rakyat Aceh menunggu PP tentang Badan Pertanahan Nasional Aceh yang menjadi
bagian dari Pemerintah Aceh yang berbeda dengan provinsi lain. PP yang
seharusnya diterbitkan pada 2008 sampai sekarang belum ada drafnya. Isu lain
yang ditunggu terkait dengan migas dan kehutanan. Muncul kesan kuat, otsus yang
dijanjikan mirip dengan kepala dilepas, ekor tetap dipegang. Terganggulah upaya
percepatan kesejahteraan.
Dari sisi kelembagaan, pembentukan yang
memfasilitasi hidupnya kembali lembaga adat dan lembaga syariah telah meredam
cukup signifikan masalah di tingkat rakyat. Lembaga adat mulai dari tingkat
gampong sampai provinsi, meski tak memiliki hak veto dalam politik lokal, telah
mampu jadi penasihat penting dalam pembangunan berkesejahteraan. Salah satu
ganjalan hanyalah posisi Wali Nanggroe yang merupakan lembaga yang muncul pada
saat konflik.
Dana otsus yang telah diberikan kepada Aceh
dalam empat tahun terakhir untuk beberapa hal telah digunakan meningkatkan
kesejahteraan. Setiap tahun pemerintah Aceh menganggarkan sekitar Rp 400 miliar
untuk menjamin seluruh penduduk Aceh memiliki KTP dan KK Aceh dalam skema
asuransi. Ini langkah maju dalam sistem kesehatan nasional yang selama ini
didasarkan pada pola residu dan bukan universal.
Dana otsus juga telah membantu ribuan anak
korban konflik dan pelajar Aceh mengenyam pendidikan gratis melalui skema
beasiswa di dalam dan luar negeri. Meski demikian, pengelolaan dana otsus Aceh
masih dibarengi dengan lemahnya kapasitas ”memerintah” pemerintah Aceh. Ini terlihat
dari tingginya anggaran yang tak dipakai: sekitar Rp 1 triliun per tahun akibat
buruknya relasi provinsi-kabupaten/ kota dalam pengelolaan dana otsus.
Di tengah kekurangan itu, secara umum otsus
Aceh telah mengarah kepada penciptaan kesejahteraan. Dengan mekanisme
pengawasan yang lebih tertata dan keseriusan mengelola asimetrisme lewat
regulasi yang lebih teknis, Aceh tak butuh waktu lama bersaing dengan provinsi
lain di Indonesia.
Papua dan Kesuraman
Cerita untuk otsus Papua masih buram. Tak
pernah ada kejelasan tentang desain besar otsus Papua. Kebijakan yang muncul
setelah otsus justru membuat jalan mencapai otsus kian jauh. Terakhir,
pemerintah membentuk UP4B yang diklaim Julian Pasya (Kompas, 28/6/2012) sebagai
upaya pendekatan kesejahteraan bagi penyelesaian persoalan Papua. Jika benar
demikian, mengapa Kepala UP4B seorang jenderal? Selain itu, saban ada persoalan
di Papua, mengapa Menko Polhukam, Kapolri, dan BIN yang dikirim ke Papua?
Mengapa bukan Menko Kesra, Mendikbud, atau Menkes?
Bagaimana mungkin membayangkan kesejahteraan
yang dijanjikan untuk Papua diucapkan dari mulut seorang tentara? Sesat pikir
ini muncul di semua elemen di tingkat pemerintah. Belum ada upaya serius
menciptakan kesejahteraan di Papua.
Problema itu muncul salah satunya karena
persoalan identitas di Papua belum tuntas. Dana otsus sejak 2002 tak hanya
gagal menghentikan tuntutan merdeka, tetapi justru menyebar di tingkat publik.
Jika dulu merdeka hanya tuntutan elite, sekarang menjadi menu obrolan di
tingkat rakyat.
Wewenang yang mengatur tentang Papua justru
menimbulkan masalah baru terkait perebutan wewenang atau saling lempar tanggung
jawab. Pembentukan PP sebagai tindak lanjut UU otsus sangat lambat. Selain itu,
perdasus dan perdasi penting juga gagal dibuat. Jakarta menunjuk Papua tak
becus memanfaatkan limpahan kewenangan, Papua menunjuk Jakarta karena tak
serius menerbitkan aturan pelaksanaan.
Di Jakarta, tak bisa ditemukan pemerintah
pusat. Ketika muncul masalah Papua, tak jelas pembagian kewenangan antara UP4B,
Kemendagri, Desk Papua di Menko Polhukam, staf khusus Velix Wanggai, atau
utusan khusus Farid Husain. Seluruh lembaga ini tak saling sapa dan duduk
bersama mendiskusikan persoalan Papua. Justru aparat keamanan yang dikirim.
Persoalan wewenang juga muncul antara
provinsi dan kabupaten/kota: tergantung mana paling menguntungkan. Provinsi
berpegang pada UU Otsus, kabu- paten/kota merujuk ke UU 32/2004. Sebabnya,
materi UU otsus kurang lengkap dan tak ada peraturan pelaksanaannya.
Pembentukan lembaga yang berkaitan dengan
adat di Papua justru menimbulkan masalah baru dan menjadi arena politik elite.
Penundaan pilkada gubernur Papua disebabkan oleh penafsiran UU Otsus yang
dinilai mengambil wewenang KPUD. Kata ”orang asli Papua” akan selalu
menimbulkan persoalan. Tindakan afirmatif ras Melanesia justru bertentangan
dengan semangat kewarganegaraan yang seharusnya menjadi dasar pembentukan
negara modern.
Dana otsus yang demikian besar setelah
sepuluh tahun tak berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan yang signifikan.
Indeks Pembangunan Manusia dan seluruh indeks capaian MDG Papua tetap berada di
peringkat terbawah. Ironisnya, perdasus tentang dana otsus tak dibuat. Evaluasi
pemerintah terhadap otsus yang seharusnya dilakukan tiga tahun setelah
diberlakukan: sampai kini tak ada.
Menariknya, dana otsus tetap disalurkan. Di
tingkat pemerintah pusat, tak ada keseriusan menyelisik dana otsus. Temuan BPK
ada penyelewengan dana otsus, Rp 380 miliar, tak pernah diusut tuntas. Bagi
elite Papua, dana ot- sus dianggap uang mahar dan uang darah: tak perlu
dipertanggungjawabkan. Baik pemerintah pusat maupun elite Papua sepakat, dana
otsus tak perlu diusik karena itulah sumbangan NKRI agar Papua tak merdeka.
Konsensus Nasional
Langkah pertama menyelesaikan otsus Papua:
bangun konsensus nasional dalam dua aras! Di tingkat pusat, tatalah desain
besar kesejahteraan Papua! Bila UU 21/2001 tak lagi disepakati, buat regulasi
baru yang diberlakukan konsisten. Di Aceh perlu tiga regulasi otsus untuk
sampai pada tahap sekarang. Kedua, elite dan masyarakat Papua membentuk
konsensus terkait mekanisme kepemimpinan. Kepemimpinan harus membentuk kerucut,
tak seperti trapesium sekarang.
Kegagalan desentralisasi asimetris ini hanya
memberi dua pilihan terakhir: menjadi federal atau merdeka. Bukan pilihan ideal
untuk NKRI. Dalam diskusi di UGM muncul istilah kakak dan adik. Papua kakak dan
Aceh adik berdasarkan pelaksanaan otsus. Kasih orangtua lebih kepada adik.
Saatnya mendorong orangtua tak lagi pilih kasih. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar