Meluhurkan
Tuhan di Tempat Kerja
J Sumardianta ; Guru
SMA Kolese de Britto Yogyakarta
KORAN
TEMPO, 14 Juli 2012
Suatu malam, seorang pria sepuh menggandeng istrinya memasuki lobi
hotel kelas melati, di Philadelphia, Amerika. "Semua hotel besar di kota ini
telah terisi penuh. Bisakah Anda menyediakan satu kamar saja buat kami?” ujar
pria itu menjeritkan harap. "Kamar kami telah dipesan jauh hari. Ada tiga
perhelatan besar digelar bersamaan di kota ini. Tapi saya tidak tega membiarkan
pasangan sebaik Anda tampias kehujanan di jalan pada dinihari. Maukah Anda
berdua menginap di apartemen saya?" jawab resepsionis. Orang tua itu
mengangguk.
Keesokan harinya, saat pamitan,
bapak tua berterima kasih kepada penolongnya. "Anda seharusnya menjadi
pemimpin hotel terbaik di Amerika. Anda bekerja dengan keinginan kuat untuk
mengabdi. Kelak saya mungkin bisa membangun hotel untuk Anda." Pegawai
hotel yang murah hati itu tersenyum. Melupakan kata-kata si pria tua. Dan,
kembali pada rutinitas melayani para tamu lain.
Dua tahun kemudian, datang
sepucuk surat undangan disertai tiket terbang ke New York. Di metropolis
terbesar di dunia itu, si Pak Tua mengajak tamunya ke sudut jalan antara Fifth Evenue Thirty-Fourth Street. Dia
menunjukkan bangunan baru luar biasa megah. "Itu hotel yang saya janjikan
dua tahun lalu. Mulailah Anda kelola sekarang." George Charles Bold, si
karyawan hotel melati, menerima tawaran Mr William Waldorf Astor.
Kisah Tuan Astor menemukan
karyawan berjiwa melayani inspirasi mencerahkan perihal corporate mystic. George
Charles Bold tipikal pekerja yang bisa berdamai dengan diri sendiri (sabar,
syukur, bersahaja), berdamai dengan sesama (memberi, mengasihi, memaafkan), dan
berdamai dengan Tuhan (berserah). George Charles Bold menemukan Tuhan bukan
saat berdoa dan beribadah. Tuhan tidak diluhurkan dengan laku asketik keras ala
para pengembara sufi, melainkan di perusahaan tempatnya bekerja.
Semangat merupakan masalah paling
penting di tempat kerja, bukan soal strategi dan taktik. Rendahnya semangat dan
produktivitas kerja itu masalah paradigma, bukan masalah perilaku. Paradigma
itu karena, perilaku akibat. Arvan Pradiansyah, dalam I Love Monday (2012), menyebutkan tiga paradigma
dalam bekerja dan berbisnis.
Paradigma pertama berorientasi pada job. Sutradaranya pemimpin atau owner. Karyawan tersiksa karena
menjalankan skenario, mimpi, kemauan, dan masa depan orang lain. Motivasi
penggeraknya jangka pendek: apa yang akan saya peroleh? Paradigma ini dianut
sebagian besar kaum profesional maupun pekerja terampil.
Tujuan bekerja semata demi
menafkahi keluarga dan bertahan hidup. Konsekuensinya, orang harus bekerja
keras dan mengabaikan kesehatan. Mereka membayar pendapatan yang tidak seberapa
dengan pengorbanan waktu dan perasaan yang menyiksa lahir-batin. Tabungan tidak
pernah mencukupi. Penghasilan selalu kalah bersaing melawan biaya hidup dan
inflasi.
Mereka seperti robot karena
mengacu pada model get the job
done (GJD)--sekadar menjalani
rutinitas kerja monoton. Populasi kelompok GJD, berdasarkan laporan American
Society for Training and Development (ASTD), sebesar 54 persen. Di kantor,
penganut GJD hanya senang pada saat gajian. Selebihnya, cenderung menghindari
masalah ketimbang menyelesaikannya. Bekerja sudah tentu tidak menggembirakan.
Senyum mereka saat menyambut pelanggan hanyalah senyum SOP (standard
operating procedure). Cara mereka menangani keluhan pelanggan menunjukkan
tidak adanya rasa tanggung jawab.
Penganut GJD berfokus pada diri
sendiri. Langgam mereka pessimistic
explanatory style. Sekadar meluangkan waktu, bukan mencurahkan energi,
perhatian, danpassion. Fisik di kantor, tapi pikiran bergentayangan di
mana-mana. GJD membuat perasaan pekerja tidak nyaman. Mereka terpaksa bertahan
dalam pekerjaan membosankan yang merendahkan harga diri dan tidak sesuai dengan
minat serta keahlian.
Sebesar 17 persen populasi GJD,
menurut laporan ASTD, amat membenci pekerjaan. Mereka suka menyebarkan virus
prasangka dan keresahan. Suasana kerja jadi mirip neraka. Mereka menderita
karena gagal memaknai dan menemukan indahnya pekerjaan. Paradigma kedua
berorientasi pada karier. Skenario disusun para pemburu karier itu sendiri.
Motivasi penggerak: bagaimana cara memperolehnya? Pekerjaan adalah sarana
bertumbuh. Karier membuat orang sukses memperoleh uang, pengetahuan, kecakapan,
dan pengalaman. Tujuan bekerja penganut paradigma kedua ini memang kesuksesan.
Paradigma pertama dan kedua,
secara keseluruhan, populasinya 71 persen, tujuannya memperoleh (getting).
Paradigma ketiga mencakup 29 persen populasi, fokusnya memberi (giving).
Paradigma ketiga memperlakukan pekerjaan sebagai panggilan (vocation).
Bekerja merupakan sarana melayani orang lain buat mencapai tingkat kemanusiaan
tertinggi. Skenarionya, finding
God in all things. Meluhurkan Tuhan di tempat kerja.
Paradigma ketiga disebut confirm satisfaction (CS). Mindset telah bergeser dari berfokus pada diri
sendiri (bekerja demi gaji dan karier) menjadi lebih altruistik--mengabdi pada
Tuhan dengan melayani sesama. Sepi
ing pamrih, rame ing gawe. Pamrih mereka sedikit. Lebih banyak berkarya
nyata. Pekerjaan yang sama selalu dilakukan karyawan dengan cara berbeda.
Ukuran keberhasilan bukanlah apa yang sudah dikerjakan, melainkan apakah
pelanggan sudah puas terlayani. Motivasi yang menggerakkan penganut CS: mengapa
saya mesti mengerjakannya?
Manfaat terbesar yang diberikan
pekerjaan adalah harga diri. Orang menjadi penting karena mementingkan orang
lain. Makna pekerjaan ditemukan karena karyawan mampu melihat dengan sudut
pandang orang lain. Orang yang memberi banyak melebihi yang dia terima (give
more expect less). Bukan sekadar transaksional give more expect more. Mereka
bukan manusia tidak tahu diri yang motivasinya give less expect more.
Paradigma CS amat visioner:
karyawan memiliki spirit, perasaan positif, relasi bagus, dan terhubung dengan
yang dikerjakan. Langgam mereka optimistic
explanatory style. Badan dan pikiran menyatu di tempat kerja. Pekerjaan
baru selesai ketika hasilnya sudah dinikmati pelanggan. Semakin tinggi
kesulitan yang bisa diatasi, semakin banyak keahlian yang diperoleh, semakin
tinggi nilai jual, dan semakin solid identitasnya seseorang sebagai
profesional. Hasilnya uang, kesuksesan, kebahagiaan, kepuasan batin, perasaan
bermakna, kompetensi dan intelektual, jaringan relasi sekaligus.
Inilah hukum besi yang tidak bisa
dihindari. Mementingkan orang lain merupakan rahasia bisnis mendasar sepanjang
masa. Semua jenis pekerjaan esensinya pelayanan, substansinya pengabdian. Mereka
yang mengingkari hukum alamiah itulah yang setiap hari Senin dilanda kecemasan
dan depresi. Mereka bersorak-sorai pada hari Jumat, menjelang libur akhir
pekan. Mereka inilah yang senantiasa membuat macet jalan di daerah Puncak.
Mereka, saat long weekend tiba, seperti kesetanan, lintang
pukang meninggalkan Jakarta.
Kebahagiaan itu kepenuhan makna.
Kesengsaraan itu krisis makna. Bahagia atau sengsara itu lebih ditentukan oleh
kemauan dan kemampuan memaknai pekerjaan. Perubahan paradigma dalam memandang
pekerjaan bisa mengubah beban menjadi sumber kebahagiaan. Harus diakui, bekerja
untuk melayani masih terdengar aneh bagi sebagian besar profesional. Ada yang
menganggap munafik. Bahkan ada yang menuduh kamuflase supaya pekerjaan lebih
kelihatan elegan.
Problem terbesar perusahaan
adalah despiritisasi kelembagaan. Bisnis pada dasarnya rawa tempat buaya besar
melakukan segala penipuan dan eksploitasi demi mengenyangkan perut pemiliknya
sendiri. Spirit corporate
mystic baru bisa diwujudkan
bila budaya korporasi serakah yang mendewakan keuntungan jangka pendek diubah.
Kegigihan memupuk laba mesti bersinergi dengan hasrat untuk hidup bermakna.
Kejayaan material diimbangi kedewasaan spiritual. Dedikasi menaklukkan egoisme.
Kepedulian menggantikan sikap masa bodoh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar