Lembaga
Survei Merangkap Konsultan Politik
Tjipta Lesmana ; Dosen Metode
Penelitian Sosial UPH
SINAR
HARAPAN, 16 Juli 2012
Tidak lama setelah quick count beberapa lembaga survei
selesai pada 11 Juli petang, pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi menggelar jumpa pers
di “markas” mereka. Tidak banyak pernyataan yang diberikan kepada media. Tapi,
satu kalimat sempat keluar dari mulut petahana, Fauzi Bowo (Foke), “Kenapa kita
kalah?”
Dari perspektif komunikasi
politik, kalimat singkat ini mengandung makna sangat dalam. Pertama, Foke-Nara
sungguh kaget setelah mengetahui perolehan suara mereka di bawah perolehan
suara pasangan Jokowi-Basuki yang diusung PDIP-Gerindra.
Kedua, “Kenapa kita kalah?” juga
berarti teriakan tidak percaya; sekali lagi, tidak percaya! melihat angka-angka
yang disajikan di layar televisi.
Teriakan ini sebenarnya lebih
ditujukan kepada pemimpin sejumlah lembaga survei yang selama ini secara
konsisten menempatkan pasangan Foke-Nara jauh sekali mengungguli semua
kontestan lain, termasuk pasangan Jokowi-Basuki. Seolah Foke menggugat, “Anda
semua selama berminggu-minggu mengatakan kami unggul dan unggul, tapi kenyataan
kami kalah. Mengapa?”
Ketiga, kalimat singkat Foke juga
mengandung makna bahwa selama ini pasangan yang diusung Demokrat itu sangat
yakin mereka akan menang, bahkan menang dalam satu putaran! Apa sebenarnya yang
terjadi pada Pilkada Gubernur Jakarta 11 Juli lalu? Sebelum menjawab pertanyaan
ini, mari kita cermati lagi angka-angka tiga lembaga survei “terkemuka” yang
menunjukkan prediksi mereka dan hasil hitung cepat yang mereka lakukan.
Mengenai prediksi perolehan suara
Foke-Nara dan Jokowi-Ahok, ketiga lembaga survei mempunyai satu persamaan:
semua memberikan 43-49 persen kepada petahana dan hanya 14-16 persen kepada
Jokowi-Ahok.
Tapi, kenyataannya, menurut hasil quick
count, Foke-Nara hanya memperoleh 33 persen plus dan Jokowi-Ahok 43 persen
plus. Jokowi mampu mengungguli petahana sekitar 9 persen. Kesalahan perhitungan
25 persen lebih antara prediksi dan perhitungan riil tidak bisa dianggap
enteng, atau sekadar membela diri “situasi anomali”. Prediksi yang meleset jauh
harus diakui dapat mencoreng kredibilitas lembaga survei kita.
Memang banyak pihak yang sudah
lama meragukan kredibilitas lemnbaga survei kita. Ada faktor XYZ yang
menyebabkan hasil survei mereka meleset jauh. Faktor utamanya: kecurigaan bahwa
survei dilakukan karena pesanan pihak tertentu. Karena memperoleh dana dari
pihak yang meminta survei, dengan sendirinya survei itu diarahkan ke titik yang
diinginkan penyandang dana.
Maka, saya sering mengatakan
kepada publik, soal hasil polling atau survei sekadar untuk
“diketahui” saja; jangan ditelan bulat-bulat dalam hati!
Baru 1,5 bulan yang lalu
tiba-tiba sejumlah lembaga survei hampir berbarengan mengeluarkan hasil survei
mereka tentang siapa calon terkuat presiden Indonesia untuk pemilihan presiden
2014. Inilah hasilnya.
Lembaga survei X mengatakan
Megawati Soekarnoputri calon terkuat dan Aburizal Bakrie hanya peringkat
ketiga. Lembaga survei Y merilis hasil surveinya: Prabowo Subianto berada pada
peringkat teratas, Megawati ke-3. Lembaga survei Z: Aburizal Bakrie calon
terkuat, disusul oleh Megawati. Aneh, kan?
Ya, orang awam menjawab kenapa hasil survei berbeda jauh? Yang mana yang
mendekati kebenaran?
Menurut saya, perbedaan jauh ini
tidak usah dipandang aneh. Kebenaran hasil survei dan polling
sangat ditentukan oleh berbagai faktor. Misalnya, bagaimana Anda menjaring
responden, bagaimana penyebaran responden, kapan survei dilakukan.
Jika dilakukan beberapa hari
setelah ribuan massa Sidoarjo “menyerbu” Jakarta menuntut Ical bertanggung
jawab atas korban lumpur panas Sidoarjo, tentu saja nama Ical babak belur dalam
survei itu.
Bagaimana pertanyaan disusun (wording)? Urutan-urutan pertanyaannya
bagaimana? Apakah dalam survei tentang Prabowo juga ditanyakan soal kerusuhan
Mei 1998? Apakah ada pertanyaan bahwa Prabowo harus bertanggung jawab tentang
kerusuhan Mei 1998? Tapi jika pertanyaan ini ditujukan kepada responden yang
berusia 18-25 tahun, mereka tentu tidak tahu apa itu kerusuhan Mei 1998.
Bagaimana pula responden ditanya?
Apakah mereka sedang jalan terburu-buru di depan mal, duduk santai, atau sedang
buruk mood-nya? Tentu semua ini menentukan “kualitas” jawaban responden.
Jika Anda bertanya lewat telepon, apa ada jaminan responden menjawab secara
serius atau “waras”? Atau ia sedang menonton televisi atau bermesraan dengan
pacarnya di dalam kamar sehingga ia menjawab asal globlek?
Begitu banyak faktor yang
memengaruhi hasil survei sehingga hasilnya pun bisa berbeda-beda. Multifaktor
inilah yang dengan gampang “dimainkan” lembaga survei, entah sengaja atau tidak
disengaja.
Anda masih ingat hasil survei
sebuah lembaga menjelang pemilihan umum 2009? Gerindra dikatakan akan
memperoleh sekitar 26 persen suara, padahal perolehan suara Gerindra jauh di
bawah 10 persen! Celakanya, Prabowo Subianto selaku pemimpin tertinggi
“telanjur” menggelar pesta di sebuah hotel super mewah di Kuningan sebagai
manifestasi kegembiraan karena diprediksi dapat meraih suara lebih dari 25
persen.
Kalau saja keberadaan lembaga
survei harus pakai izin, izin lembaga survei ini mungkin perlu dicabut, sebab
hasil kerja mereka amat menyesatkan publik.
Kembali ke masalah “kagetnya”
Fauzi Bowo melihat suaranya disalib jauh oleh Jokowi, saya yakin tidak ada satu
pun lembaga survei yang menanyakan pendapat responden tentang kinerja
pemerintahan petahana.
Tanya dong bagaimana pendapat responden
tentang pemerintahan Foke. Berikan daftar permasalahannya, seperti kemacetan,
banjir, asongan, parkir, portal, keamanan, dan lain-lain. Hampir dipastikan
yang jelek-jelek tentang pemerintah daerah DKI sekarang tidak ditanyakan, atau
disembunyikan dari responden.
Sebaliknya, responden ditanya:
menurut Anda, mana calon paling populer? Tentu saja, Foke sebagai gubernur
paling populer, sebab dirinya setiap hari, setiap jam, hadir di publik.
Gubernur berpidato, meresmikan proyek, hadir di suatu acara, semua pasti
dipublikasikan/disiarkan kepada publik sehingga wajah sosok yang satu ini sangat
dikenal masyarakat Jakarta, termasuk anak-anak SD sekali pun.
Wording pertanyaan yang kerap direkayasa
sedemikian rupa demi keuntungan satu pihak juga karena posisi pemimpin lembaga
survei yang kerap sekaligus sebagai konsultan politik. Konsultan politik inilah
yang kerap menempatkan lembaga survei dalam posisi ambivalen.
Di satu sisi lembaga survei harus
betul-betul independen dan bekerja di bawah kaidah-kaidah ilmiah (khususnya
metodologi). Tapi di sisi lain, konsultan politik mencari fulus sebesar-besarnya.
Konsultan politik harus
memberikan advise sekaligus
strategi untuk memenangkan pertarungan politik. Salah satu strategi untuk itu
tidak lain adalah memainkan opini publik; terus-menerus mempropagandakan
jagonya di posisi teratas. Harapannya, dengan propaganda seperti itu, publik
“termakan” dan percaya kandidat X memang paling layak memimpin kota atau
kabupaten kita.
Tapi, konsultan politik lupa
kebenaran pada akhirnya tidak bisa dimanipulasi. Rakyat pada akhirnya bisa
membedakan antara yang jelek dan yang bagus. Manipulasi untuk sementara dan
untuk kelompok tertentu bisa berhasil, kata Abraham Lincoln; namun untuk jangka
panjang, no way! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar