Kegagalan
Kaderisasi Parpol
Komaruddin
Hidayat ; Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
KOMPAS, 09 Juli 2012
Apa yang dilakukan dan terjadi di dunia
perpartaipolitikan kita cukup banyak mengisi pemberitaan media massa nasional
dan lokal. Ironisnya, berita itu lebih banyak negatifnya ketimbang positifnya.
Program perkaderan parpol tidak berjalan dengan baik. Secara sinikal, yang
terjadi justru kaderisasi koruptor.
Sejak awal kemerdekaan kita sepakat negara
ini dibangun dengan mengikuti sistem dan kaidah demokrasi. Konsekuensinya,
keberadaan dan peran parpol merupakan keniscayaan. Tak ada demokrasi tanpa
parpol. Yang menjadi persoalan ialah jika parpol tidak melaksanakan fungsinya
sebagai pilar pembangunan demokrasi secara sehat dan kokoh. Parpol kehilangan
simpati dan kepercayaan rakyat, demokrasi pun sakit dan rapuh sehingga tidak
mampu mewujudkan janji-janji dan amanatnya untuk mencerdaskan dan
menyejahterakan rakyat.
Di samping masalah undang-undang kepartaian
yang perlu direvisi, kultur politik dan birokrasi yang busuk juga menjadi
ganjalan serius bagi pertumbuhan parpol di Indonesia. Satu faktor lagi yang tak
kalah seriusnya adalah kegagalan sistem dan mekanisme perkaderan. Ini sangat
dirasakan ketika parpol berkompetisi memperebutkan kursi kepemimpinan daerah
dan nasional, rakyat merasa bingung dan kecewa karena calonnya tidak
meyakinkan. Begitu pun kader-kader parpol yang duduk di kursi DPR banyak yang
terlibat korupsi. Jadi, bagaimana pemerintah akan mampu melaksanakan amanat
kemerdekaan kalau parpol yang menjadi pilarnya keropos dan dikelola oleh
kader-kader di bawah standar?
Miskin Gagasan dan Karakter
Saya yakin banyak orang pintar dan
berkarakter dalam lingkungan parpol. Ibarat bintang, mereka terhalang oleh
mendung hitam yang menutupi mereka sehingga setiap menjelang pilkada atau
pemilu parpol merasa gamang mencalonkan jagonya karena rakyat juga tidak begitu
percaya dan yakin pada tokoh-tokoh yang ditampilkan. Sangat disayangkan, banyak
kader muda yang semula idealis dan berintegritas lalu luntur dan hanyut dalam
kultur politik yang korup.
Kalau situasi demikian tidak dikoreksi dengan
melakukan transformasi radikal dalam tubuh parpol, ke depan panggung politik
kita akan semakin suram dan ujungnya rakyat yang menderita. Kekayaan alam kita
jadi kenduri obyek eksploitasi bangsa lain, kembali ke masa VOC dulu, bahkan
lebih ganas lagi.
Para elite parpol pasti sadar bahwa tingkat
pendidikan dan ekonomi rakyat masih memprihatinkan sehingga belum cukup paham
mengenai apa fungsi parpol dan hakikat demokrasi. Sungguh disayangkan kalangan
parpol bukannya melakukan pendidikan politik pada rakyat, melainkan malah
membodohi dan menipu dengan janji-janji palsu serta membeli suara dengan harga
murahan. Di sini terjadi simbiose negatif-destruktif antara politisi dan rakyat
sehingga kualitas pemimpin dan anggota DPR produk pemilihan langsung yang
menang adalah yang kuat duitnya, sedangkan kualitas menjadi nomor dua.
Jika semangat dan kultur yang tumbuh dalam
lingkungan parpol adalah bagaimana meraih jabatan dan kekuasaan yang ujung-
ujungnya adalah uang, tidak mengejutkan kalau kader parpol menjadi kaya
mendadak dan sebagian terkena kasus korupsi. Ada yang tertangkap, ada yang
tidak. Kader parpol yang menjadi kaya mendadak ini ada yang bergerak di ranah
kepartaian, ada yang di ranah bisnis dan ada yang masuk ke jajaran birokrasi
pemerintahan. Dulu orangtua memberi nasihat, kalau ingin jadi orang kaya,
jadilah pedagang atau pengusaha. Sekarang ada formula baru, yang cepat kaya
adalah jadi politisi, pejabat negara, atau artis.
Dibajak Pemodal Besar
Kegagalan kaderisasi parpol tidak saja karena
perekrutan awal yang salah, tetapi juga karena proses kaderisasi sekarang ini
dibajak oleh pemilik modal besar yang berkoalisi dengan jejaring nepotisme.
Masyarakat Indonesia yang demikian plural dengan jumlah penduduk di atas 230
juta sangat memerlukan visi, komitmen, dan program parpol yang inklusif dan
mengindonesia, bukannya malah digiring ke lorong sempit bernama nepotisme. Ini
sebuah kemunduran besar dalam berdemokrasi.
Politisi kutu loncat mesti dihentikan karena
merusak citra dan integritas parpol serta memperkuat kesan bahwa parpol tak
lebih hanya badan usaha atau paguyuban orang-orang kalah yang melakukan
konsolidasi untuk memperebutkan kekuasaan dengan kendaraan baru. Di sini
idealisme dan visi dikalahkan oleh kepentingan pragmatik berjangka pendek.
Proses kaderisasi pun akan terhambat. Yang mempertemukan adalah kepentingan
bersama yang bersifat sesaat tanpa ikatan idealisme dan komitmen untuk
membangun bangsa. Jadi tidak aneh kalau volume dan frekuensi korupsi kian
berkembang dan merata seiring dengan dinamika perkembangan parpol dan
pelaksanaan otonomi daerah yang berlangsung tanpa kontrol hukum yang kuat.
Jika kaderisasi gagal, parpol akan dikuasai
oleh pengurus yang bermental pekerja politik yang menjadikan parpol tak lebih
sebagai tempat bekerja mencari uang dan jabatan. Jabatan teras parpol mesti
diisi oleh para politisi yang bermental negarawan. Agenda besarnya adalah
memajukan rakyat dan bangsa melalui instrumen parpolnya. Dengan demikian,
parpol merupakan wadah konsultasi bagi para kadernya dalam memecahkan problem
bangsa dan negara, bukannya problem dan urusan ramah tangga parpol dibawa ke
ranah negara dan menggunakan fasilitas publik.
Menjelang pemilu dan pilkada, kita merasakan
betapa parpol miskin kader yang berintegritas dan brilian untuk mengatur bangsa
dengan penduduk dan sumber daya alam yang demikian besar. Para politisi boleh
saja merasa berhasil meramaikan wacana politik melalui media massa hampir
setiap hari. Namun, benarkah hati masyarakat merasa semakin simpati dan
optimistis dengan janji-janji parpol setiap menjelang pilkada atau pemilu? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar