Keberpihakan,
Bukan Nasionalisasi
Achmad Zen Umar Purba ; Dosen
Pascasarjana FH-UI
KOMPAS,
14 Juli 2012
Akhir-akhir ini terasa ada
suasana baru dalam kebijakan pengelolaan sumber daya mineral. Misalnya yang
berkaitan dengan masalah divestasi saham perusahaan tambang berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012.
PP ini mewajibkan perusahaan
tambang penanaman modal asing, dalam tempo 10 tahun, harus mengurangi porsi
sahamnya sehingga mitra nasionalnya memiliki 51 persen. PP ini merupakan revisi
PP tahun 2010 dan satu dari beberapa isu lain yang menunjukkan keberpihakan
pemerintah yang sudah lama dinantikan orang itu.
Siapa sasaran PP ini?
Perusahaan pemegang izin usaha pertambangan dan izin usaha pertambangan khusus,
nama izin pertambangan berdasarkan UU Pertambangan Mineral dan Batubara
(Minerba).
Jadi, aturan PP ini tidak
akan dikenakan bagi perusahaan pemegang kontrak karya (KK). Entah kalau nanti
KK-nya habis dan perusahaan itu ingin menyambung dengan sistem perizinan.
Secara hukum pun jelas.
Suatu PP tak bisa mengalahkan KK sebab kontrak adalah UU bagi para penanda
tangannya. Bahwa pemerintah mengajak mitranya untuk melakukan negosiasi ulang,
itu soal lain: mengupayakan kesepakatan bersama. Semangat negosiasi ulang sudah
digariskan dalam UU Minerba.
Namun, beberapa pihak tetap
menyayangkan keberadaan PP itu. Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia
Bob Kamandanu mengatakan, PP tersebut tidak adil bagi investor asing. Menurut
dia, aturan ini bisa memengaruhi investasi pertambangan di Indonesia.
Dr Simon Butt dan Prof Luke
Nottage, dua dosen dari University of Sydney, mengingatkan mustahaknya sektor
pertambangan bagi Indonesia. Selain menyumbang 17 persen terhadap produk
domestik bruto, porsinya pun lumayan terhadap investasi asing langsung, yakni
3,6 miliar dollar AS dari 20 miliar dollar AS pada 2011. Artinya, kalau
investor terganggu oleh PP ini, yang rugi Indonesia juga (East Asia Forum, 13
Mei 2012).
Betapapun, seperti
ditegaskan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, pemerintah menjamin divestasi
”bukan nasionalisasi”.
Deli
Belakangan ini orang kerap
menyebut nasionalisasi, terutama setelah melihat Bolivia, Venezuela, dan
terakhir Argentina, yang oleh Robert Zoellick sewaktu masih Presiden Bank Dunia
dikatakan sebagai kesalahan (mistake).
Dari sekian nasionalisasi itu, ada pula yang bermuara ke arbitrase
internasional.
Negara-negara Amerika Latin
tidak baru dalam hal nasionalisasi. Bahkan, setelah Meksiko menasionalisasi
perusahaan minyak AS tahun 1938, lahir satu ungkapan, yang kemudian diadopsi ke
dalam hukum internasional. Menanggapi masalah ini, Menlu AS Cordell Hull
menyatakan, ” ... no government is
entitled to expropriate private property..., without provision for prompt,
adequate, and effective compensation (tidak ada negara yang berhak mengambil
alih hak milik privat..., tanpa ketentuan memberikan kompensasi yang cepat,
seimbang, dan efektif)”. Dewasa ini dunia sudah sepakat, nasionalisasi
adalah hak negara berdaulat asal diikuti dengan kompensasi. Namun, belum ada
kesepakatan perihal cara pembayaran yang menggunakan rumus PAE itu.
Nasionalisasi terjadi di
mana-mana setelah Perang Dunia II. Indonesia kebetulan termasuk yang pionir
dalam hal nasionalisasi. Satu di antaranya berkaitan dengan nasionalisasi
perkebunan tembakau Deli, perusahaan Belanda di Medan, yang sampai diadili di
pengadilan Bremen.
Rupanya eks pemilik
perusahaan itu menggugat pada saat transaksi di kota perdagangan tembakau dunia
tersebut. Di samping menyatakan bahwa nasionalisasi adalah tindakan satu negara
berdaulat yang tak boleh diintervensi siapa pun (doktrin Act of State), pengadilan menegaskan, Indonesia yang baru
merdeka—yang notabene di bawah kolonisasi pihak Belanda juga—pasti tak bisa
memenuhi persyaratan kompensasi PAE.
Enak Didengar
Tindakan nasionalisasi pihak
Indonesia dan putusan pengadilan tembakau Bremen menjadi inspirasi bagi
negara-negara yang baru merdeka setelah Perang Dunia II untuk bertindak sama.
Mereka sadar kemerdekaan politik harus diikuti dengan pemulihan hak ekonomi atas
unit-unit usaha yang dikuasai oleh pihak negara penjajah. Kini, lebih dari
setengah abad kemudian, tentu saja warna dunia sudah berubah. Peranan hubungan
internasional amat diperlukan. Jika terjadi nasionalisasi, sedikit banyak akan
terjadi ketegangan. Akan tetapi, pada akhirnya kepentingan nasional mesti yang
dominan.
Itulah sebabnya aspek
nasionalisasi dalam UU Penanaman Modal (UUPM) ditulis dalam rumusan yang enak
didengar. ”Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau
pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal”, demikian bunyi Pasal 7(1) UUPM,
”kecuali dengan undang-undang”. Jadi, secara umum tidak akan ada nasionalisasi.
Namun, ada reservasi hak negara berdaulat untuk menasionalisasi asalkan dengan
”undang-undang”, yang merefleksikan keinginan segenap rakyat. Juga syarat
mutlak kedua: mesti ada kompensasi. Berapa dan bagaimana? Bergantung pada harga
pasar. Kalau tidak ada kesepakatan? Bawa ke arbitrase. Begitu aturan
selanjutnya.
Indonesia telah dilecut oleh
keinginan publik agar ada supremasi pemerintah dalam pengelolaan sumber daya
mineral tanpa merusak tatanan hukum yang sudah kita buat dan hormati. PP
tentang divestasi merespons kegalauan publik. Sementara itu, alasan untuk
mengajak negosiasi ulang adalah sesuatu yang patut. Apalagi telah terjadi
banyak perubahan dari masa kontrak itu pertama kali diteken. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar