Jokowi,
Mencari yang Otentik
M Alfan Alfian ; Dosen
Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
KORAN TEMPO, 12 Juli 2012
KORAN TEMPO, 12 Juli 2012
Kemenangan sementara Jokowi-Ahok
dalam pilkada DKI Jakarta, sebagaimana ditunjukkan dari hasil sejumlah hitung
cepat (quick count), cukup mengejutkan. Sebelum ini banyak lembaga riset
yang mencatat elektabilitas pasangan itu hampir tidak di posisi nomor satu.
Pihak petahana (incumbent), Foke-Nara, tertinggal di belakangnya.
Fenomena ini memberi sinyal bahwa publik Jakarta lebih banyak yang menginginkan
tidak semata figur baru, tapi juga perubahan kepemimpinan.
Jokowi-Ahok hadir dari corak
kepemimpinan politik yang berbeda dengan incumbent,
dan juga pasangan-pasangan lain. Keduanya dikesankan sederhana. Tetapi, di
wilayah masing-masing, Solo dan Belitung Timur, keduanya berhasil. Nyaris,
keduanya, dalam konteks kepemimpinan daerah, merupakan prototipe pemimpin yang
otentik.
Kepemimpinan otentik biasanya
jauh dari pencitraan yang sistemik, tetapi lebih dekat pada hal-hal yang
alamiah. Bukan berarti mereka tidak melakukan pencitraan, tetapi cara yang
dilakukan jauh lebih alamiah ketimbang proses pencitraan buatan yang sangat
diperhitungkan perekayasaannya. Komunikasinya dengan yang dipimpin, yakni
segmen-segmen masyarakatnya, berjalan dengan wajar, dalam arti efektif dan
empatik.
Kekuatan kewajaran itulah yang
kuat dalam sosok Jokowi. Di Solo, semua orang yang datang ke sana sekarang akan
dibuat terkesan oleh tata kota yang jauh lebih rapi ketimbang awal era
reformasi. Solo, yang sempat menjadi kota mati pasca-kerusuhan 1998, hidup
kembali dan berdenyut. Jokowi tampil dengan gaya kepemimpinan yang merakyat. Ia
menyapa rakyatnya di kampung-kampung, pasar-pasar, memastikan pembangunan
berjalan. Ia adalah jenis pemimpin yang bisa berkomunikasi secara wajar dengan
rakyatnya.
Sebagaimana Jokowi, Ahok juga
hampir memiliki karakter kepemimpinan yang sama. Tetapi, di luar otentisitas
kepemimpinannya, kekuatannya dalam pilkada DKI saat ini adalah tawarannya akan
perubahan. Hal itu ditangkap oleh publik, yang kritis dan menginginkan ada
perubahan kepemimpinan, dan tidak semata-mata perubahan program pembangunan DKI
Jakarta.
Problem yang dihadapi Foke,
sebagai Gubernur DKI yang maju kembali dalam pilkada ini, ternyata lebih banyak
terletak bukan pada program-program pembangunan, melainkan pada
kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan yang berjarak dan elitis telah membelenggu
Foke untuk lebih bagus diapresiasi publik. Publik tampaknya lebih suka pada
gaya kepemimpinan yang populis, kalau bukan otentik, Jokowi-Ahok. Setidaknya,
itulah yang dapat dijelaskan pada putaran pertama pilkada.
Peta kemenangan suara pada
putaran pertama ini bisa berlanjut pada putaran kedua apabila kekuatan daya
tarik kepemimpinan Jokowi-Ahok tetap bertahan. Tampaknya, pada putaran kedua
kelak, publik sudah tidak melihat lagi kekuatan program masing-masing kandidat,
melainkan pada persepsi kepemimpinan tokoh. Kalau hal ini yang terjadi,
Foke-Nara akan sulit menang. Bahkan Jokowi-Ahok akan bisa menang telak di
putaran kedua.
Peluang kemenangan lebih besar
pada Jokowi-Ahok pada putaran kedua apabila segenap kekuatan penantang, bahkan
yang secara khusus anti-kepemimpinan Foke, solid menjatuhkan suaranya ke
pasangan yang diusung PDIP dan Gerindra itu. Tetapi politik bukan matematika
yang rigid. Politik itu dinamis. Sepanjang masih ada waktu tersisa, hingga hari
H pemungutan suara putaran kedua, peta politik bisa berubah.
Foke-Nara masih berpeluang
menyalip Jokowi-Ahok manakala publik lebih mementingkan kekuatan atau daya
tarik program. Keberhasilan Pemda DKI di bawah Foke, selama ini, terus
digencarkan melalui iklan-iklan di media massa, dari soal kesehatan, mass rapid transportation (MRT), hingga kanal banjir timur, dan
sebagainya. Manakala publik tertarik pada informasi-informasi keberhasilan
program itu, dan menganggap bahwa semua itu hasil kerja otentik incumbent, maka justru mereka
khawatir apabila ada pemimpin baru.
Masih ada celah yang hadir,
berupa pertanyaan: apakah Jokowi-Ahok akan mampu memimpin Jakarta yang
kompleks? Dengan kata lain, apakah Jakarta siap dipimpin dengan gaya
kepemimpinan otentik ala Jokowi-Ahok? Publik masih akan menguji pertanyaan itu,
dalam arti apakah Jokowi-Ahok memiliki kapasitas yang cukup untuk memimpin
Jakarta. Pertanyaan ini, tampaknya, hanya berlaku untuk penantang, karena
petahana diuntungkan oleh prestasi-prestasi pemerintahan, yang ditampilkan
melalui iklan-iklan.
Kalau keraguan terhadap
kompetensi Jokowi-Ahok membesar, dan persepsi utama publik adalah bahwa mereka
hanya sekelas pemimpin lokal yang homogen masyarakatnya, maka besarnya peluang
menang terpatahkan. Walaupun sinyal besarnya peluang pemimpin otentik mengemuka
pada putaran pertama, semuanya akan terletak pada trust atau kepercayaan publik: apakah pada
petahana atau penantang pada putaran kedua. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar