Ironi
Budaya Politik Kita
Habibullah
; Direktur Eksekutif Renaisant
Institute Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 05 Juli 2012
BENARKAH
budaya politik nasional kita telah terperosok ke dalam dekapan kapitalis
birokrat yang lahir dari rahim-rahim pragmatisme tanpa idealisme asketis?
Pertanyaan demikian sungguh sangat menakutkan dan tak perlu dijawab lagi bila
melihat wajah perpolitikan dewasa ini. Yang diakui atau tidak, itu telah
membuat publik miris untuk berpikir tentang masa depan Republik ini dan mengelus
dada atas keberlangsungannya yang terbukti kian mengkhawatirkan di tangan
politisi di pemerintahan dalam beberapa dekade terakhir.
Negara
dan demokrasi di Indonesia, bagi politisi, seakan tak ubahnya sebuah gunung
yang menyimpan berkantongkantong harta karun. Jadi, tidak mengherankan bila
mereka berbondong-bondong dan berebutan untuk masuk ke kubangan-kubangan yang
tak pernah tertutup sejak dari para pendahulu (politisi/birokrat) sebelumnya.
Program
kerja, janji, dan gagasan yang diucapkan ketika hendak menjadi wakil rakyat
selalu saja diingkari setelah mereka duduk di birokrasi pemerintahan. Semua
yang digembar-gemborkan dalam kampanye menjadi kata tanpa laku (tindakan).
Orientasi ke bijakan mereka pun bahkan selalu saja berbeda jauh dengan apa yang
telah diidealkan sehingga kebenaran sejarah yang mengatakan pemerintah
Indonesia sejak dari merdeka sampai sekarang tidak pernah mempunyai solidaritas
tunggal terhadap sosial-politik atas apa yang dituntut definisi tugas dan
fungsinya tak terbantah lagi.
Dengan
demikian, tidak bisa dimungkiri, keberadaan politisi dalam struktur
pemerintahan dewasa ini cenderung selalu menempatkan diri di atas masyarakat.
Mereka juga sering merasa lebih penting menjadi abdi negara dan kekuasaan
daripada menjadi pelayan atau abdi rakyat. Akhirnya posisi birokrasi acap kali
tidak membumi alias jauh dan menjauh dari realitas keseharian masyarakat. Hal
itulah, yang diakui atau tidak, merupakan bagian paling tampak yang telah
membuat praktik birokrasi hanya melahirkan kesewenangan, elitisme, apatisme,
dan antikerakyatan.
Politisi Kabir
Pengasingan
nilai moral, etika, dan asketisisme dalam ranah perpolitikan serta kekuasaan
dewasa ini telah melahirkan politisi kapitalis birokrat (kabir) di Republik
ini.
Etika
seharusnya menjadi batasan dari operasionalisasi moral untuk menumbuhkan jiwa
asketis bagi politisi dalam ranah birokrat dan kekuasaan atas kepercayaan yang
telah diberikan rakyat untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan
kemakmuran. Sebaliknya, politisi di struktur pemerintahan justru menjadikan
ranah perpolitikan dalam birokrasi dan kekuasaan dikooptasi dengan budaya
kapitalisasi yang membabi buta terhadap kekayaan negara dan kepentingan rakyat.
Maraknya
sikap demikian dari politisi di struktur birokrasi pemerintahan hari ini sebagian
besar disebabkan prinsip yang mereka jalankan. Yang mana, mereka lebih
mendahulukan kepentingan syahwat politik untuk memenuhi urusan perut daripada
menuntaskan terlebih dulu urusan perut untuk selanjutnya berpolitik.
Oleh
karena itu, tidak bisa dimungkiri, struktur birokrasi pemerintahan selalu tidak
lepas dari skandal korupsi, pelacuran politik, jilat-menjilat, serta sengketa
penyelamatan atas keterlibatan diri dalam jerat hukum melalui kekuatan politik
dan kekuasaan. Padahal idealnya, politik dan kekuasaan pada taraf tertentu
merupakan peralatan paling berharga untuk mewujudkan suatu cita-cita yang
didambakan dari kehidupan sebuah bangsa dan negara.
Namun
ironisnya, ketika sudah menjabat di struktur birokrasi pemerintahan, politik
dan kekuasaan justru hanya dijadikan lahan untuk mewujudkan kepentingan
pribadi, kelompok, dan ideologi (partai) semata. Akhirnya, kesempatan untuk
mewujudkan kepentingan rakyat selaku pemberi kekuasaan yang telah mengantarkan
para penerima kekuasaan (politisi/birokrat) ke struktur birokrasi pemerintahan
justru dijadikan bumerang untuk menyengsarakan rakyat.
Hal
demikian diperparah lagi dengan paradigma politisi dan birokrat pemerintahan
yang cenderung feodal dalam menjalankan tanggung jawab sebagai penerima
kekuasaan dari sang pemberi kekuasaan. Jabatan publik masih saja dianggap
sebagai sarana kapitalisasi birokrasi demi menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya
untuk proses selanjutnya. Mereka juga belum mampu menjadikan politik,
birokrasi, negara, dan kekuasaan sebagai tempat mengabdikan diri kepada rakyat,
dengan mengesampingkan kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan demi seluruh
kepentingan rakyat.
Politisi Platonik
Tercerabutnya
keniscayaan politik dari esensinya bukan semata disebabkan kurangnya strategi
kebudayaan politik kerakyatan serta konsep sosial politik kemasyarakatan yang
efektif dan berpuncak pada kepentingan umum, melainkan kurangnya tokoh-tokoh
yang mampu melakukan kerja politik yang sekaligus menguasai medan politik
masing-masing. Juga, tidak adanya politisi platonik yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan
kejiwaan yang bebas dari nafsu.
Kita
harus mengamini bahwa selama ini sebagian besar yang bergerak menggeluti bidang
birokrasi dan kekuasaan merupakan politikus-politikus polesan atau musiman yang
bisa dikatakan belum mampu masuk dan menjiwai fungsi politis mereka untuk
ditransformasikan. Akhirnya, tidak mengherankan bila birokrasi tak ubahnya
sarang jiwa-jiwa yang diperbudak nafsu pribadi yang belum tuntas, seperti nafsu
memperkaya diri, nafsu politik oportunis, dan nafsu serakah yang melahap habis
kepentingan umum demi kepentingan pribadi.
Politisi
seharusnya menyadari, dengan diangkat menjadi pemimpin dan wakil rakyat, mereka
berarti sudah menerima suatu tanggung jawab. Maka dari itu, politisi sudah
selayaknya dalam struktur birokrasi pemerintahan bertanggung jawab kepada
rakyat, bukan kepada kekuasaan dan kepentingan individu, kelompok, apalagi
golongan semata. Politisi yang sudah berafiliasi sebagai pemimpin dalam
birokrasi pemerintahan dan kekuasaan merupakan tulang punggung seluruh harapan
rakyat untuk mewujudkan cita-cita dasar dari keberadaan mereka dalam sebuah
negara.
Maka
dari itu, apa yang selama ini telah terjadi di ranah perpolitikan kita dalam
birokrasi pemerintahan, seperti kuatnya komitmen politisi dalam pernyataan tapi
nihil dalam tindakan, harus dihilangkan. Mulai sekarang, politisi harus
berpikir jernih untuk mengembalikan kewibawaan politik nasional agar
selanjutnya melahirkan budaya politik yang lebih menjunjung tinggi etika,
moralitas, dan kerakyatan--sebelum rakyat bosan dan berhenti untuk berpikir
jernih dan terlibat dalam urusan negara seperti dalam pelaksanaan pemilu untuk
masa depan Indonesia.
Jika
tidak, keberadaan budaya politik nasional kita selamanya ibarat orang yang
berdiri dan terendam dalam air sampai ke leher sehingga ombak yang kecil
sekalipun sudah cukup menenggelamkannya (Scott, 1985). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar