Indonesia
Negara Gagal?
Daoed Joesoef ; Alumnus
Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
KOMPAS,
12 Juli 2012
The
Fund for Peace menyatakan baru-baru ini bahwa Indonesia
adalah negara gagal. Pernyataan seperti ini bukan suatu hal baru.
Pada 16 Agustus 2007, Boni
Hargens sudah menulis bahwa Indonesia, ketika memasuki usia ke-62, masih gagal
”menjadi Indonesia”. Sejak 1970-an, abad lalu, saya sudah memprediksikan hal
ini dan saya katakan langsung ke Presiden Soeharto 6 Januari 1982.
Melalui
tulisan di media massa, saya ingatkan setiap pemerintahan baru di era Reformasi
supaya berusaha mencegah kegagalan pembentukan negara-bangsa kita,
ketidaksuksesan pembangunan ekonomi mengindonesiakan Indonesia. Mereka semua
tak menggubris. Mereka lupa, mereka dipilih tak melulu untuk memimpin, tetapi
sambil mendengar dan membaca juga pendapat orang-orang yang berada di luar
lingkungan terdekatnya. Presiden SBY menyanggah pernyataan Indonesia negara
gagal. Dia bahkan sampai mengatakan penilaian tersebut berlebihan dan karenanya
mempermainkan kebenaran. Sedangkan mempermainkan kebenaran itu, menurut dia,
mempermainkan Tuhan.
Adalah logis Indonesia
menjadi negara gagal karena sejak penyerahan kedaulatan nasional dari Belanda
ke Indonesia tidak pernah ada usaha kolektif berupa pembangunan nasional yang
sistematik, koheren, konsisten, terarah, dan kontinu. Yang selama ini dilakukan
oleh penguasa negara silih berganti adalah pembangunan bidang ekonomi
berdasarkan resep penalaran ekonomika, Bank Dunia, IMF, dan lembaga finansial
internasional lainnya. Kedua usaha ini memang saling terkait, tetapi jelas
berbeda secara fundamental dalam tujuan dan ukuran suksesnya. SBY dan para
penasihat ekonomi serta mereka yang memagarinya perlu menyadari bahwa
negara-bangsa Indonesia bukan lahir dari penalaran buku teks ekonomika,
melainkan dari satu revolusi yang ditakdirkan Tuhan bernatur unik. Realitas
historis ini adalah satu kebenaran dari mukjizat ilahiah. Akuilah, memang ada yang salah dengan visi
pembangunan dari semua pemimpin pascarevolusi kita selama ini.
Horizontal dan Vertikal
Bagaimana bisa disebut
Indonesia negara berhasil kalau sampai sekarang, saat memasuki usia ke-67,
masih ada saja daerah bagiannya yang ingin memisahkan diri, tidak betah lagi
bergabung dalam NKRI, bosan menjadi bangsa Indonesia. Keindonesiaan kita
terbukti gagal, baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal tetap
rapuh karena hubungan antarkelompok (etnis dan kedaerahan) belum terpadu secara
integralistik. Secara vertikal tetap rawan berhubung sepak terjang para
pemimpin politik dan kepartaian mereka tidak menggairahkan perkembangan spirit
nasionalisme di kalangan warga negara. Kompas 2 Juli lalu memberitakan betapa
konflik antarwarga atau dengan aparatur pemerintah ternyata masih menyala di
Aceh, Lampung, dan Sulawesi Tenggara, yaitu daerah-daerah yang selama ini
menjadi area konflik.
Dinamika masyarakat
digerakkan oleh dua set keadaan, yang oleh sosiolog Robert Merton disebut
”laten” dan ”manifes”. Yang ”laten” adalah kekuatan-kekuatan yang tidak kita
sadari atau samar-samar disadari atau di mana kesadaran mengenai hal itu
memainkan peran yang tidak penting. Yang ”manifes” merupakan proses di mana
kesadaran tentang proses itu sendiri—yaitu citra tentang natur dari masyarakat
dan proses sosial dalam pikiran manusia—memainkan peran yang signifikan dalam
menentukan perilaku manusia dan jalannya kejadian-kejadian sosial.
Artian ”laten” tadi meliputi
nyaris keseluruhan proses kehidupan makhluk hewan, tetapi tidak lagi bagi
makhluk manusia. Sedangkan kesadaran sudah masuk ke dalam sistem sosial human
sejak dini, tidak hanya kesadaran diri (self-awareness),
tetapi lama-kelamaan juga tentang keseluruhan sistem di mana manusia itu
berakar. Kita tidak bisa mengatakan apa yang akan dilakukan oleh sistem kecuali
bila kita ketahui apa yang dipikirkan oleh para anggotanya mengenai sistem yang
bersangkutan sebab apa-apa yang mereka pikirkan memengaruhi perilaku mereka dan
perilaku ini memengaruhi sistem.
Jadi citra tentang dunia
dalam pikiran manusia menjadi unsur esensial dalam proses kejadian dunia itu
sendiri. Ideologi merupakan bagian dari citra yang dianggap manusia sangat
bernilai bagi identitas dan citra dirinya sendiri dan, karena itu, dia siap
sedia untuk mengembangkan dan mempertahankan. Suatu citra dunia menjadi
ideologi bila ia menciptakan dalam pikiran manusia yang menghayatinya suatu
peran bagi dirinya sendiri yang dinilainya sangat tinggi. Persiapan yang cukup
lama, konsisten, dan kontinu dari kelahiran negara-bangsa Indonesia, mentransformasi
ideologi etnis/kedaerahan menjadi ideologi kebangsaan.
Maka, karakteristik esensial
pertama dari ideologi adalah suatu interpretasi historis yang cukup dramatis
dan meyakinkan sehingga individu merasa mengidentikkan dirinya dengan sejarah
itu dan pada gilirannya dapat memberikan kepada individu sebuah peran dalam
drama yang digambarkan dan dicetuskan oleh sejarah tadi. Ideologi kemerdekaan
nasional menggambarkan sejarah sebagai suatu drama besar pembebasan manusia
melalui perang revolusioner mengusir penjajah. Dengan menjadi ”rakyat
Indonesia” dan tidak sekadar ”orang daerah” (Aceh, Papua, dan lain-lain),
individu mengidentikkan dirinya dengan drama ini dan menerima sebuah peran di
situ. Kemenangan perang revolusioner akan mengakhiri penindasan, menegakkan
keadilan dan kemerdekaan nasional, serta merehabilitasi harkat dan martabat
manusia bagi seluruh warga negara Indonesia.
Namun, para pemimpin dan
politikus kita, termasuk SBY, kiranya tak menyadari, pengertian ”bangsa”
bukanlah deskriptif. Suatu bangsa bukanlah satu fakta. Ia abadi karena berupa
status nascendi yang permanen, dari
naturnya ia selalu in potentia, tidak
pernah in actu. Jadi istilah ”bangsa”
bukan mengatakan keadaan, melainkan suatu gerakan, suatu kemauan, suatu usaha
bersama karena mau hidup bersama.
Maka, ketika ”negara” selaku
manifestasi dari ”bangsa yang terorganisir” lalai mengadakan gerakan
pembangunan nasional berupa usaha kolektif sistematik, koheren, konsisten,
terarah, dan kontinu, satu per satu individu, suku, atau daerah yang merasa
peran yang dibayangkannya dalam dunia Indonesia yang merdeka jadi semakin tidak
pasti, jauh dari memuaskan atau dilecehkan oleh pihak lain atau diingkari oleh
penguasa, mulai memikirkan ideologi lain yang lebih menjanjikan.
Kita memang harus memberantas
separatisme demi keutuhan NKRI, tetapi kita berkewajiban memahami sebab musabab
timbulnya gerakan separatis tersebut. Coba renungkan! Sambil mengibarkan
bendera yang lain daripada Sang Saka Merah Putih, menembakkan peluru dan
melayangkan anak panah, para separatis berteriak, bukan minta kenaikan produk
nasional bruto, melainkan menuntut agar ”diwongke”
dan sebagai manusia bermartabat diajak berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
Mereka sadar benar mereka sudah eksis dan relatif mumpuni jauh sebelum kelahiran
Indonesia.
Paradigma Baru
Berarti kita dituntut bukan
untuk mencari arah baru guna mengatasi ketimpangan ekonomi yang semakin
melebar. Selama ”pembangunan” direduksi dari ”pembangunan nasional” menjadi
”pembangunan ekonomi” tok dan
pelaksanaannya didadarkan pada penalaran ekonomika pure and simple, selama itu pula pembangunan kita akan berjalan ke
”arah yang salah” karena penalaran ekonomika itu justru mengarahkannya ke sana.
Kita dituntut menetapkan satu paradigma baru pembangunan secara nasional. Yang
perlu kita perkaya adalah manusia, bukan ekonomi di tengah mana manusia itu
hidup. Yang harus kita selamatkan, melalui paradigma baru tadi, adalah
eksistensi negara-bangsa karena ia adalah gabus tempat kita semua mengapung.
Dengan kata lain, Bappenas
bukan perlu menyiapkan satu ”Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia” (MP3EI), melainkan ”Masterplan Percepatan Pembangunan Negara-Bangsa”, sesuai panggilan
lembaganya, yaitu ”Badan Perencanaan Pembangunan Nasional”, sesuai sebutan
dengan isi. Konsep paradigma baru pembangunan mendatang itu harus
memperhitungkan hal-hal yang selama ini diabaikan begitu saja.
Pertama, pembangunan adalah
pembangunan nasional yang holistik, bukan pembangunan ekonomi yang sektoral.
Kita jangan lagi berpikir dalam term ekonomi
karena yang dipertaruhkan bukan lagi bidang ekonomi, melainkan eksistensi
negara-bangsa. Ekonomika tetap dipakai, tetapi sebagai bagian dari pembangunan
nasional, bukan sebaliknya. Penalaran ekonomika harus melayani kebutuhan pembangunan
nasional, bukan sebaliknya. Berarti konsep pembangunan tak perlu lagi didikte
ajaran dan pesan dari ”the economics of
development”, tetapi harus didasarkan pada ide ”the cultural realisties” dari dinamika sosial bawaan revolusi-45
yang telah melahirkan Indonesia berupa sekaligus negara dan bangsa.
Kedua, hargai suku sebagai
kelompok etnis dari orang-orang yang punya self-esteem,
bermartabat, turut disertakan dalam usaha kolektif terorganisir yang menentukan
nasib bersama. Usaha mengindonesiakan Indonesia mengisyaratkan memanusiakan
semua dan setiap warga negara Indonesia di mana pun berada.
Ketiga, dalam memanfaatkan
kekayaan sumber daya alam (natural
endowment), hendaknya kita punya ”etika masa depan”. Ini bukan etika yang
dirumuskan sekarang guna ditetapkan di masa mendatang, melainkan yang
digariskan sekarang untuk diterapkan sekarang juga demi eksistensi masa depan.
Artinya, kita tak boleh serakah dan lupa daratan sehingga melupakan peluang
serupa yang diperlukan bagi kehidupan anak cucu. Dengan kata lain, natural endowment yang kita ”kuasai”
dewasa ini bukanlah ”warisan” nenek moyang, melainkan ”pinjaman” dari anak cucu
yang harus bisa dikembalikan pada waktunya kepada mereka dalam kondisi bernilai
sama, kalaupun tak bisa berpotensi lebih besar sebagai bunga pinjaman.
Keempat, pendidikan formal
perlu diberi prioritas pertama dan utama. Indonesia adalah satu-satunya bangsa
di dunia yang puluhan tahun sebelum merdeka, selagi masih dijajah asing, sudah
mengadakan sistem pendidikan nasionalnya sendiri guna menyiapkan orang-orang
yang berjiwa merdeka dan siap berjuang merebut kemerdekaan. Sesudah merdeka
sekarang adalah wajar sekali bila kita membangun pendidikan yang sistemnya
menyiapkan warga untuk berjiwa Indonesia dan mampu membangun negara-bangsa. Kelima,
setiap langkah dan proyek pembangunan di mana pun merupakan penerapan
Pancasila. Artinya, ia jelas mencerminkan pesan Pancasila tanpa ribut
mengucapkannya sebagai lip-service
politik semata. Politik bukan demi berpolitik, melainkan demi pembangunan nasional
agar tidak menjadi negara gagal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar