Hubungan
Ikhwan-Militer
Hasibullah
Satrawi ; Alumnus Al-Azhar, Kairo,
Mesir;
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam pada Moderate Muslim
Society Jakarta
KOMPAS, 30 Juni 2012
Akhirnya Komisi Pemilihan Umum Mesir resmi
mengumumkan hasil pemilihan presiden putaran kedua yang dimenangi oleh Muhammad
Mursi, Minggu (24/6).
Walaupun tidak secara otomatis menyelesaikan
pelbagai masalah yang melanda Mesir pascarevolusi, pengumuman tersebut
setidaknya mendinginkan suhu politik Mesir yang memanas beberapa hari terakhir.
Mesir belakangan memang menjadi ajang adu
kuat antara Ikhwan Muslimin (IM) dan kekuatan militer yang mengambil alih
kekuasaan negara pasca-lengsernya Hosni Mubarak. Hal ini terlihat jelas dari
beberapa peristiwa politik mutakhir yang terjadi di negeri itu, seperti
pembubaran parlemen oleh Mahkamah Konstitusi setempat, deklarasi konstitusi
penyempurna oleh pihak militer hingga penundaan pengumuman resmi, dan pemilihan
presiden putaran final.
Dua
Kekuatan
Ikhwan dan militer merupakan dua kekuatan
politik raksasa di Mesir. Semenjak didirikan pada 1928 oleh Hasan al-Banna,
Ikhwan menjelma sebagai ormas keislaman yang sangat kuat di Mesir. Bahkan,
kebesaran IM mampu menyeruak ke negara-negara Arab ataupun negara-negara Islam,
termasuk Indonesia.
Kebesaran Ikhwan tidak terlepas dari pelbagai
peran yang dijalankan selama ini, mulai dari pemberdayaan sosial, pendidikan
keislaman, hingga pengalaman dalam perpolitikan. Bahkan, IM pernah diajak
bekerja sama oleh militer untuk menaklukkan kekuasaan Raja Faruk (1952).
Peran dan pengalaman yang tak kalah hebat
juga dimiliki oleh pihak militer. Sebagai negeri yang rawan peperangan
(khususnya dengan Israel), Mesir sangat mengandalkan kekuatan militer yang akan
berada di garis terdepan dalam menghadapi lawan-lawan negara.
Peran vital di atas lebih dari cukup bagi
militer untuk menancapkan pengaruh dalam kehidupan masyarakat Mesir. Apalagi,
pihak militer berhasil mencitrakan diri sebagai kekuatan yang mampu menjaga
kehormatan Mesir dengan memukul mundur musuh, seperti pembebasan Semenanjung
Sinai yang sempat dicaplok oleh Israel (1973).
Bahkan, tidak jarang militer Mesir meneguhkan
diri sebagai pemilik sesungguhnya dari negara itu. Apa yang terjadi dalam
beberapa waktu terakhir menjadi salah satu bukti, seperti pembubaran parlemen
pertama Mesir yang dihasilkan dari proses demokrasi dan deklarasi konstitusi
penyempurna.
Saling
Mendekati
Beberapa waktu setelah revolusi 25 Januari
2011 berhasil melengserkan Mubarak, Ikhwan-militer sesungguhnya pernah saling
melakukan pendekatan. Salah satu peristiwa politik yang bisa menjadi bukti
pendekatan tersebut adalah ketika Ikhwan ”pasang badan” membela kebijakan
militer sekaligus menentang desakan kelompok revolusi agar pihak militer segera
melakukan transisi kekuasaan, lebih cepat daripada jadwal yang ditetapkan pihak
militer.
Ikhwan berpandangan bahwa peralihan kekuasaan
di luar jadwal yang telah ditetapkan akan membuat Mesir semakin kacau. Bahkan,
Ikhwan sempat mengerahkan massa secara besar-besaran untuk menolak gerakan yang
mereka sebut sebagai upaya menjebak Mesir ke dalam jurang krisis yang lebih
dalam.
Ada banyak hal yang membuat kedua belah pihak
melakukan pendekatan. Selain karena masing-masing mengetahui kekuatan sekaligus
kekurangannya, juga karena keduanya menghadapi musuh yang sama: kekuatan
revolusi yang terdiri atas anak muda kalangan menengah ke atas.
Bagi kelompok Ikhwan, kekuatan revolusi cukup
menjadi ancaman dan perlu diwaspadai. Di satu sisi, kelompok ini berhasil
menggulingkan Hosni Mubarak yang tak mampu ditaklukkan oleh IM sepanjang
sejarahnya di Mesir. Di sisi lain, ideologi dan gaya hidup mereka berseberangan
dengan apa yang menjadi keyakinan dan diperjuangkan oleh Ikhwan Muslimin.
Kekhawatiran yang lebih kurang sama juga
dirasakan oleh kelompok militer. Selain alasan-alasan di atas, juga karena
kekuatan revolusi sangat mungkin mengakhiri rezim militer di Mesir. Apalagi,
kelompok revolusi memainkan isu korupsi seperti terhadap Mubarak, sementara di
sisi lain kelompok militer dikenal memainkan peranan penting dalam perekonomian
Mesir.
Musuh dan kepentingan yang lebih kurang sama
sebagaimana di atas membuat hubungan Ikhwan-militer semakin intim. Hal ini
terlihat jelas dari pelaksanaan pemilihan legislatif yang berjalan mulus dan
dimenangi oleh Ikhwan Muslimin. Bahkan, Ikhwan terus mendekatkan diri ke pihak militer
dengan turut serta menjaga keamanan perayaan Natal bagi umat Kristen Koptik di
Mesir. Hal ini perlu mengingat konflik sektarian kerap melanda Mesir
pascarevolusi.
Komitmen dan janji saling menjaga kepentingan
pun terjalin antara Ikhwan Muslimin dan pihak militer. Sebagai contoh, militer
berkomitmen untuk menyerahkan kekuasaan kepada kekuatan politik terpilih (baik
melalui pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden) yang sejak jauh hari
sudah bisa dipastikan akan menjadi milik Ikhwan Muslimin.
Sementara Ikhwan Muslimin berkomitmen tidak
akan menggurita kekuasaan Mesir ke depan. Bahkan, setelah menjadi partai
pemenang pemilihan legislatif, Ikhwan sempat berjanji tidak akan mendukung
siapa pun dalam pemilihan presiden.
Retak
Namun, hubungan Ikhwan-militer dalam beberapa
waktu terakhir ternyata layu sebelum berkembang. Kedua belah pihak telah saling
mengkhianati satu sama lain. Ikhwan yang berhasil menguasai lembaga legislatif
dan sempat menyatakan tidak akan memonopoli kekuasaan justru berambisi menguasai
juga lembaga eksekutif. Hal ini terlihat jelas dari beberapa calon presiden
(salah satunya Muhammad Mursi) yang didukung Ikhwan Muslimin dalam pemilu
putaran pertama pada 23 dan 24 bulan lalu.
Pengkhianatan yang dilakukan oleh kalangan
militer tidak kalah besar dibandingkan dengan yang dilakukan Ikhwan Muslimin.
Bahkan, militer justru membubarkan parlemen hasil pemilu dengan mengeluarkan
konstitusi penyempurna yang dianggap oleh banyak pihak di Timur Tengah sebagai
kudeta, termasuk oleh Ikhwan Muslimin.
Di sini dapat dipastikan, masa depan Mesir
akan sangat ditentukan oleh dua kekuatan di atas. Jika Ikhwan-militer terus
bersitegang dan adu kekuatan seperti sekarang, hampir dipastikan Mesir akan
terus mengalami pelbagai macam instabilitas ke depan. Bukan tidak mungkin
pelbagai macam proses politik dan demokrasi yang sudah berlangsung dibuang
sia-sia (seperti pembubaran parlemen).
Sebaliknya, jika keduanya mencapai kompromi,
hal ini akan menjadi pertanda baik bagi penyelesaian pelbagai macam krisis yang
melanda Mesir saat ini. Aspirasi masyarakat Mesir dan kepentingan negara yang
lebih umum sejatinya harus menjadi ”maskawin” untuk menyatukan semua kekuatan
politik di negara itu, khususnya tentu saja Ikhwan dan militer. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar