Hidup
Damai dalam Ikatan Kultural Bersama
Denni
HR Pinontoan ; Dosen di
Fakultas Teologi UKI, Tomohon,
Aktif Dalam Gerakan Lintas Agama dan tinggal di Tomohon, Sulawesi Utara
SINAR HARAPAN, 30 Juni 2012
Akhir-akhir ini publik Indonesia menyaksikan sejumlah
tontonan yang sangat tak menarik tentang hubungan di antara (umat ber-) agama.
Pada Februari 2011, tiga anggota jamaah
Ahmadiyah di Cikeusik tewas dibunuh. Masjid Syiah di Sampang Madura, Jawa
Timur, dibakar massa. Jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor
tidak bisa beribadah dengan tenang. Demikian juga jemaat HKBP Filadelpia di
Bekasi dan 17 gereja di Aceh Singkil ditutup pemerintah setempat.
Di permukaan, yang tampak adalah konflik
antara agama Islam dan Kristen. Namun, persoalan Ahmadiyah dan Syiah agaknya
menunjukkan sebuah fenomena yang bisa membuktikan bahwa yang sedang
berhadap-hadapan itu adalah kelompok minoritas agama dengan kelompok intoleran.
Itu jelas ketika sejumlah organisasi Islam di
Indonesia, seperti Nadhlatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah mengeluarkan sikap
mengecam tindakan keras dari kelompok-kelompok intoleran tersebut.
Kelompok-kelompok ini, meskipun menggunakan simbol Islam, tapi mereka tidak
merepresentasi secara keseluruhan umat Islam di Indonesia.
Hubungan yang tidak harmonis antar dan
interagama di Indonesia memang bukan baru sekarang terjadi. Di era Orde Lama
dan Orde Baru, saling mengafirkan, mengklaim yang lain sesat—antar-umat atau
kelompok beragama—sehingga harus dilenyapkan atau bahkan tindakan keras lainnya
juga kerap terjadi.
Namun, pertanyaanya, mengapa justru yang
terjadi sekarang tidak lebih baik dari yang dahulu itu? Apakah fenomena
sekarang ini adalah bukti bahwa agama-agama gagal dalam membina umatnya? Atau,
justru ini bentuk kegagalan negara dalam menjamin kebebasan beragama?
Padahal jika kita kembali ke masa lampau,
mulai di masa-masa awal kelahiran peradaban Islam dan saat Eropa dalam
kemerosotan (abad pertengahan), para sarjana, ilmuwan, dan filsufnya saling
bekerja sama untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Pun, ketika terjadi Perang
Salib, pertukaran kebudayaan dan perdagangan tetap terjadi di antara kedua
peradaban ini.
Menjaga Kerukunan
Di daerah saya Sulawesi Utara, pada 1969 oleh
pemerintah daerah setempat membentuk apa yang dinamakan Badan Kerja Sama
Antar-Umat Beragama (BKSAUA). Badan ini antara lain berfungsi sebagai wadah
musyawarah yang di dalamnya hadir tokoh agama, yang mewakili agama-agama yang
ada. Fungsinya yang penting adalah membantu pemerintah daerah agar kerukunan
antar-umat beragama tetap terjaga.
Orang sering menganggap Sulawesi Utara, lebih
khusus Minahasa, identik dengan agama Kristen. Namun, sesungguhnya daerah ini
majemuk, baik dari segi budaya, agama, dan inter-agama.
Kantor Departemen Agama wilayah Provinsi
Sulut mencatat ada 69 denominasi gereja di daerah ini. Agama Islam sudah ada
sejak kira-kira abad 16, hampir bersamaan dengan kedatangan Kristen Katolik
yang dibawa masuk oleh para pater dari Portugis dan Spsnyol.
Kyai Mojo dan pengikutnya (tokoh-tokoh dalam
Perang Jawa bersama Pangeran Diponegoro, 1825-1830), datang ke Minahasa pada
1830, setahun sebelum zendeling Riedel tiba di Tondano. Kini, keturunan Kyai
Mojo dapat dijumpai di sebuah wilayah yang disebut Kampung Jawa Tondano.
Beberapa tahun kemudian Tuanku Imam Bonjol, tokoh Perang Paderi di Sumatera
juga diasingkan ke Minahasa. Makamnya terletak di Lota, Pineleng, Minahasa.
Umat Kristen dan Islam di daerah ini hidup
berdampingan secara damai. Mereka hidup dalam interaksi yang aktif di bidang
perdagangan, politik, dan hubungan-hubungan sosio-kultural lainnya. Bahkan,
misalnya umat Islam di Kampung Jawa Tondano sudah mengakomodasi beberapa
perangkat kultural Minahasa dalam ekspresi keislaman mereka.
Mereka fasih berbahasa Tolour, sebagai salah
satu bahasa etnis Minahasa. Ketika terjadi konflik di Ambon dan Poso beberapa
tahun silam, umat Kristen dan Islam, serta agama-agama lain, melalui para
tokohnya bersama pemerintah daerah berkomitmen agar kehidupan yang rukun dan
damai tetap lestari.
Konteks Kultural
Tentu model atau pola hubungan antar-umat
beragama yang terbangun di Minahasa sangat ditentukan oleh beberapa faktor yang
bisa saja banyak di antaranya khas daerah ini.
Namun, belajar dari model dan pola hubungan
di daerah ini, saya berpendapat bahwa faktor penting yang menentukan dalam
penciptaan perjumpaan dan hubungan yang harmonis di antara (umat ber-) agama
adalah konteks kultural di mana umat beragama itu saling berjumpa. Yaitu,
kesadaran pada hakikat kemanusiaan, pada ruang pijakan, dan panggilan untuk
hidup bersama secara damai.
Manusia dan kemanusiaannya, bisa berbeda
secara kultur, namun secara kodrati semua adalah sama. Pijakan kebudayaan
mestinya menjadi ruang ekspresi keagamaan yang tercipta oleh dialog
antarnilai-nilai keagamaan dengan nilai-nilai kebudayaan setempat.
Panggilan hidup bersama, menyangkut cita-cita
hidup damai yang menjadi nilai dasar semua agama, yaitu damai karena sejahtera
secara ekonomi dan merdeka secara holistik. Bukankah nilai dasar dari semua
agama adalah keselamatan, yang bukan cuma soal masa yang akan datang namun juga
masa kini?
Dengan demikian, musuh dari agama (-agama)
mestinya bukanlah antara satu agama dengan agama yang lain, melainkan kuasa,
ideologi, atau aksi-aksi dari siapa pun yang hendak merusak cita-cita hidup
damai dan sejahtera itu.
Meskipun globalisasi, termasuk penyebaran
ideologi dan praktik keagamaan yang tidak khas di Nusantara adalah keniscayaan
di era ini, namun adalah fakta sejarah bahwa di beberapa lokus umat yang
berbeda agama bisa hidup rukun dan damai karena diikat oleh nilai kultural
bersama.
Saya kira, kita perlu belajar ulang bagaimana
para pendahulu di agama kita masing-masing ketika pertama kali berjumpa dengan
Nusantara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar