Elite
Kita yang Bersalah
(
Wawancara )
Arief Hidayat ; Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
KOMPAS,
14 Juli 2012
Secara konstitusional,
bangunan negara yang harus diwujudkan adalah negara hukum yang demokratis atau
negara demokrasi yang berlandaskan pada konstitusi. Namun, di Indonesia saat
ini supremasi politik justru mengalahkan supremasi hukum.
Karena politik itu mempunyai
energi yang lebih kuat daripada hukum, maka yang terjadi politiklah yang
menguasai hukum,” ujar Arief Hidayat, Ketua Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, dalam perbincangan dengan Kompas pekan lalu di kampus Undip Semarang.
Mantan Dekan Fakultas Hukum
Undip ini menilai kondisi Indonesia kontemporer dalam bidang penegakan hukum
mengalami kemunduran. Hukum itu lebih tajam ke bawah dan tumpul ke atas
sehingga jauh dari rasa keadilan. Sebagai akumulasi dari kondisi tersebut,
terjadi pembangkangan yang bersifat massal, kemudian rakyat apatis dan
meninggalkan hukum, mereka mencari hukumnya sendiri.
Tak hanya masalah hukum,
kondisi kenegaraan pun menimbulkan keprihatinan. Berikut petikan wawancara
dengan mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini:
Bagaimana Anda melihat
kondisi bangsa dan negara ini dari sisi ketatanegaraan?
Indonesia sebagai negara di
tengah-tengah kondisi yang tidak menentu, menurut indeks negara gagal tahun
2012 menduduki peringkat 63 dari 170 negara, di mana dalam kategori tersebut
Indonesia dikelompokkan sebagai negara yang dalam kondisi bahaya (in danger) menuju negara gagal. Berbagai
kalangan menanggapi kondisi ini dengan pesimistis.
Tetapi, saya tetap melihat
optimistis di balik itu. Karena faktor ideologi negara Pancasila, kohesivitas
bangsa yang sudah tertanam selama ini, dan juga daya tahan bangsa ini terhadap
tekanan yang sangat berat dari segala segi kehidupan, baik bidang ekonomi,
politik, sosial, budaya, maupun agama. Telah terbukti bagaimana daya tahan
bangsa yang tinggal di Nusantara yang selama hampir 350 tahun lebih dijajah.
Negara Indonesia berada pada
tahapan konsolidasi demokrasi sebagai tahapan dari era reformasi sekarang ini
yang mengalami anomali-anomali ke arah yang tidak diinginkan pada waktu kita
melakukan reformasi. Hal ini terjadi karena kita kehilangan orientasi di semua
elemen bangsa yang sudah tidak mendasarkan lagi pada mengapa kita mendirikan
negara bangsa.
Meskipun begitu, saya
optimistis kita tidak akan terjerumus ke dalam kondisi negara gagal. Dalam
perspektif saya, bernegara itu tidak mudah, dibutuhkan kesamaan visi misi dan tujuan
yang sama, dan diikuti pula oleh situasi dan kondisi saling percaya sesama
elemen bangsa.
Seberapa parah disorientasi
yang terjadi saat ini?
Menurut saya, disorientasi
itu sudah sangat parah. Sekarang ini tidak ada lagi orang yang berpikir untuk
orang lain di negeri ini. Semua orientasi pada kepentingan diri sendiri,
kelompok, suku, agama, dan ras. Orang ingin punya jabatan, tetapi tidak lagi
berorientasi untuk mengabadi pada negara dan seluruh rakyat. Ini terjadi sejak
transisi demokrasi. Dulu kita hidup dalam tekanan otoritarian, tetapi sekarang
bebas, kekuasaan jadi tersebar dan semakin terbuka lebar semenjak era
Reformasi. Lalu orang mengartikan kebebasan dengan jalan sebebas-sebebasnya.
Siapa yang salah?
Yang salah elite. Ya elite
eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta semua elite di lembaga nonstruktural
karena penyelenggaraan negara melibatkan semuanya. Saya tidak menyalahkan
rakyat, tetapi yang salah elitenya.
Apa pandangan Anda tentang
otonomi daerah?
Pada awal reformasi terjadi
gerakan arus menolak sentralisasi dan otoritarianisme yang dilakukan pemerintah
pusat. Pemerintah pusat menjadi lemah dan daerah menjadi kuat. Untuk menjaga
agar tidak terjadi disintegrasi nasional, pemerintah pusat memberikan konsesi
kepada daerah melalui Undang- Undang 22 Tahun 1999. Pemerintah pusat memberikan
otonomi seluas-luasnya kepada daerah.
Keterikatan hierarki pusat
dan daerah menjadi lepas, kontrol pusat kepada daerah menjadi lemah, dan muncul
sistem pemerintahan daerah yang lepas dari kontrol pemerintah pusat. Akhirnya
tumbuh semacam ”raja-raja kecil di daerah” yang semula didesain untuk
mendekatkan pemerintah daerah dengan rakyat tidak dapat tercapai.
Menurut Anda, pemimpin
seperti yang dibutuhkan negeri ini?
Sangat sulit untuk menjadi
pemimpin di negeri ini apabila masih terjadi kondisi seperti sekarang ini
karena ada ketidakpercayaan dan saling curiga antarelemen bangsa. Jadi, siapa
pun yang memimpin negeri ini mengalami kesulitan untuk mengonsolidasikan
kekuasaannya yang ditujukan untuk kepentingan nasional.
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sebetulnya orang baik, tetapi tidak tepat karena situasi-kondisi
bangsa ini berat. Kita lihat SBY memang meraih 63 persen suara pemilu, tetapi
juga enggak bisa berbuat apa-apa, sudah kumpulkan koalisi juga enggak bisa
apa-apa. Banyak yang tidak terselesaikan.
Satu-satunya upaya yang
dapat dilakukan untuk keluar dari krisis ini adalah kembali kepada jati diri
bangsa, ideologi negara, visi misi nasional, dan menumbuhkan sikap saling
percaya di antara semua komponen bangsa. Ini adalah prasyarat utama untuk dapat
memunculkan pemimpin yang dapat menuntun ke arah terwujudnya kepentingan
nasional
Tahun 2014 seharusnya
menjadi momentum seleksi politik untuk memilih, baik presiden maupun
legislatif. Saya yakin masih banyak orang yang berjalan dalam track yang benar.
Cuma apakah orang-orang itu bisa muncul, karena yang muncul orang-orang yang
haus jabatan. Demokrasi kita transaksional sehingga orang yang enggak punya
uang tidak bisa muncul di permukaan. Sekarang orang itu diukur dan dihormati
bukan karena integritas dan moralitas, tetapi karena harta. Proses rekrutmen di
kabinet saja kompetensinya di belakang, kembali ke zaman dulu dominasi partai
luar biasa. Tapi kalau dulu dominasi partai karena faktor primordial, sekarang hitungannya
ekonomi.
Itu karena orang yang
korupsi ratusan miliar hanya dihukum lima atau enam tahun. Saya kira kalau
hitungan untung rugi dengan punya uang ratusan miliar dihukum segitu tidak akan
ada artinya. Ditambah lagi sekarang ini tidak ada lagi budaya malu di kalangan
masyarakat. Orang tidak melihat stigma koruptor sebagai hal yang jelek. Dulu
orang korupsi sudah malu, sekarang sudah terpidana pun rasa malu enggak ada. ( Sonya Helen Sinombor ) ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar