Rabu, 04 Juli 2012

Deklarasi Calon Presiden

Deklarasi Calon Presiden
Sudjito ; Guru Besar dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Gadjah Mada (UGM)
SINDO, 04 Juli 2012


Aburizal Bakrie (Ical) secara resmi telah mendeklarasikan diri sebagai calon Presiden RI untuk Pemilihan Umum 2014. Pada deklarasi itu antara lain dinyatakan bahwa jika dirinya terpilih menjadi Presiden 2014, ia menawarkan konsep “Catur Sukses”, yaitu Trilogi Pembangunan yang dilengkapi dengan gagasan nasionalisme Indonesia.

Penjabarannya meliputi: pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, stabilitas keamanan, dan paham kebangsaan yang disesuaikan dengan globalisasi. Deklarasi politik itu sebenarnya biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Namun, orang bisa memberikan berbagai macam makna. Secara positif, bisa dimaknakan sebagai kesiapan membangun negeri ini melalui konsep yang jelas dan akuntabel.

Paling tidak dia dan partainya (Golkar) telah berani menepuk dada di hadapan publik.Apakah tawaran itu diterima ataukah ditolak, jawabnya akan terbukti ketika ia terpilih atau gagal dalam pemilu nanti. Pada sisi lain, apabila sikap politik itu diukur dari moralitas, tentu akan lain maknanya. Patut diduga bahwa seseorang mencalonkan diri sebagai calon presiden karena ada ”kekaguman” atas dirinya sendiri.

Berawal dari sana kemudian orang lain dipandang lebih rendah atau kurang mampu dibanding dirinya. Sikap politik seperti itu bukan lahir karena dorongan ingin mengabdi, melainkan kepentingan. Dikhawatirkan nafsu politik lebih dominan daripada hati nurani. Kalau dugaan itu benar,kecenderungannya akan diikuti perbuatan lain yang bersifat diskriminatif atau penaklukan terhadap lawan politik.

Virus Nafsu Politik

Siapa pun paham bahwa nafsu politik merupakan virus penyakit ganas yang rawan berjangkit pada politikus. Kalaupun ada politikus yang kebal, dipastikan jumlahnya sedikit danmereka tergolong makhluk langka di negeri ini. Jangan mengira kalau sudah berpredikat kiai, ulama, cendekiawan kemudian bisa diandalkan mampu bertahan terhadap serangan virus penyakit ini.

Betapa banyak manusia ”berbau surga”itu ketika berpolitik kemudian hidupnya dihiasi kesombongan dan kebohongan. Dengan dalil yang dicari-cari, katanya, dibenarkan bohong untuk menyelamatkan diri dari musuh. Astaga, lawan politik pun digolongkan musuh sebagaimana perang. Perlu diingatkan bahwa kesombongan itu tidak boleh ada pada manusia tingkat mana pun. Nabi Musa pernah sombong dengan perkataan: “Ana a`lam al-qaum” (akulah orang paling pandai di negeri ini)”.

Beliau mengira bahwa sebagai utusan Allah yang mengemban amanah menaklukkan Raja Firaun, perkataan itu benar dan wajar. Ternyata tidak. Allah justru menegurnya karena dianggap berlebihan. Kasus Musa itu tentu tidak sama dengan perpolitikan ataupun pencapresan di negeri ini. Walau demikian,bagi siapa pun yang ingin mengembangkan gagasan nasionalisme Indonesia, kasus Musa itu layak dijadikan inspirasi dan bahan introspeksi.

Apalah artinya gagasan ”nasionalisme Indonesia” kalau konsep itu tidak dijiwai ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Paling tidak, apabila penyakit nafsu politik bisa dilawan dengan kesabaran dan rendah hati, ada dua hikmah yang diperoleh: Pertama, tidak perlu ada peristiwa yang mempermalukan diri karena ternyata ada orang yang lebih hebat dan lebih pantas jadi presiden. Kedua, tidak perlu ada cemoohan mengenai kedangkalan moralitas politik, seolah demi jabatan presiden segala manuver politik dibenarkan.

Pada hemat saya, belajar dan mempraktikkan politik wajib didasarkan pada moralitas keilmuan yang mencakup tiga hal yaitu: Pertama, belajar menemukan kebenaran sejati. Nasionalisme bisa menjadi kebenaran sejati apabila kecintaan pada Tanah Air, bangsa, dan negara merengkuh semua kepentingan demi terwujudnya manusia Indonesia yang cerdas, sejahtera, adil, dan makmur nirdiskriminasi.

Kedua, politik pada tataran ilmu maupun praksis perlu dijalankan secara dinamis dan kontekstual, berdasarkan ideologi bangsa. Bagi bangsa Indonesia tidak lain Pancasila. Artinya, politik itu harus santun, mampu menjamin persatuan bangsa, menjadikan bangsa lebihberkeadilansosial, beradab, dan berbudaya.Karena itu, cara terbaik berpolitik ialah musyawarah-mufakat, dan bukan voting untuk mengalahkan lawan agar kemenangan tercapai.

Ketiga,senantiasa sadar bahwa kunci keberhasilan hidup bernegara adalah kebersamaan sebagai keluarga. Dalam suasana kekeluargaan, partai besar wajib merangkul partai kecil agar bisa bergandeng tangan membangun negeri dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.

Langkah Konkret

Memang, pada dimensi empiris, menggagas mengenai kaitan antara pencapresan sebagai aktivitas politik dan moralitas politik membawa kita kepada medan permasalahan yang tidak sederhana. Sepintas lalu, praktik politik bertolak belakang dan meniadakan moralitas politik. Akan tetapi, kita tidak perlu pesimistis mengenai hal ini.

Apabila keterkaitan antara keduanya diupayakan sungguh-sungguh, akan menampilkan perbauran kehidupan bernegara yang indah dan lebih dewasa. Alvin Tofller dalam bukunya Powershift (1990) menyatakan bahwa betapa dunia kita bergeser dari praktik penggunaan kekuasaan/kekuatan kepada pendayagunaan otak. Tofller masih harus mengakui bahwa pendayagunaan itu sering muncul kembali dalam baju yang lebih halus antara lain hukum.

Pernyataan itu dapat saja kita padankan untuk menganalisis pencapresan yang hangat dewasa ini. Padanan itu kira-kira berbunyi bahwa ketika partai besar dulunya bisa bergerak bebas menentukan apa yang dikehendaki, di era demokrasi ini pergerakan politik itu tidak akan menghadirkan legitimasi kecuali didukung kebijakan formal.

Lebih konkretnya, konsepkonsep yang ditawarkan oleh capres yang sudah mencalonkan diri atau capres-capres yang baru hanya digosipkan akan mencalonkan diri belum akan mengejawantah menjadi kekuatan apabila belum resmi dirumuskan sebagai kebijakan nasional.

Dalam konteks kehidupan demokrasi berpartai, alangkah indahnya kalau konsep itu diusahakan terlebih dahulu melalui partai agar dirasakan rakyat manfaatnya dan dipahami visinya, baru nanti disempurnakan setelah terpilih menjadi presiden. Wallahu a`lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar