Dahlan
Iskan, PKBL, dan CSR
Jalal
; Aktivis Lingkar Studi CSR
KORAN TEMPO, 03 Juli 2012
Dahlan Iskan, sang Menteri Negara Badan Usaha
Milik Negara, tak henti mengejutkan kita semua. Setelah mengamuk di tol dan
bongkar-pasang komisaris serta direksi berbagai BUMN, kini ia kembali
mengguncang jagat BUMN dengan wacana soal pengalihan pengurusan Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dari BUMN kepada pihak lain yang dinilai
lebih kompeten.
Gonjang-ganjing ini dimulai oleh Dahlan dengan tulisannya pada
18 Juni 2012 di situs www.detik.com, yang diberi tajuk "Menyerahkan
PKBL kepada Ahlinya". Tulisan tersebut kemudian disusul dengan berbagai
wawancara dengan para jurnalis, yang banyak diturunkan menjadi berita hingga
beberapa hari kemudian, di antaranya di Detik dengan judul "Sering
Bermasalah, BUMN Dilarang Dahlan Iskan Kelola CSR", serta di Vivanews,
"Dahlan Minta BUMN Tak Lagi Urus CSR".
Dengan berasumsi bahwa pernyataan-pernyataan
sang Menteri di berbagai media massa tersebut dikutip dengan benar,
alasan-alasan yang dikemukakan adalah sebagai berikut: pertama, BUMN tidak
dibentuk dengan tujuan untuk mengelola kegiatan sosial. Kedua, BUMN sulit mempertanggungjawabkan
penggunaan dana PKBL. Ketiga, pengelolaan PKBL di BUMN itu lemah. Keempat, BUMN
cenderung menyalurkan dana PKBL kepada masyarakat yang tinggal dekat dengan
wilayah operasi perusahaan saja. Terakhir, BUMN dikhawatirkan tidak bisa berkompetisi
dengan perusahaan swasta karena sibuk mengurusi PKBL. Karena itu, Dahlan
berwacana akan mengambil keputusan untuk menyerahkan sebagian atau seluruh dana
PKBL kepada lembaga-lembaga yang dianggap lebih mampu, untuk disalurkan
terutama kepada kelompok masyarakat yang termiskin.
Tulisan ini hendak
berargumentasi bahwa alasan yang diajukan oleh Dahlan sebenarnya tidaklah
sesuai dengan regulasi, teori, maupun fakta.
Benarkah BUMN tidak dibentuk dengan tujuan
untuk mengelola kegiatan sosial? Secara regulatori, BUMN dinyatakan memiliki
salah satu tujuan "Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada
pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat", sebagaimana
yang termaktub dalam butir e, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003. Artinya,
mengelola kegiatan sosial sudah dinyatakan secara eksplisit sebagai tujuan
pendirian BUMN.
Memang, masih ada empat tujuan yang lain termasuk mengejar
keuntungan, sebagaimana yang dinyatakan di butir b pasal yang sama. Namun
pengelolaan sosial tak bisa dilepaskan begitu saja. Apalagi butir e menyatakan
secara kuat "turut aktif", yang artinya bukan sekadar memberikan
donasi. Kalau kemudian ditimbang lagi bahwa mayoritas BUMN itu berbentuk PT,
maka Pasal 74 UU Perseroan Terbatas dan PP 47/2012 tentang Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan juga berlaku untuk BUMN. Pengelolaan sosial, menurut UU
dan PP tersebut, adalah kewajiban.
Apakah mempertanggungjawabkan penggunaan dana
PKBL itu sulit? Tidak sama sekali, kecuali kalau BUMN itu menyalahgunakannya.
Dalam Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor Per-05/MBU/2007
tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan
Program Bina Lingkungan, pertanggungjawaban yang diminta hanyalah rencana
versus realisasi dana. Kinerja yang harus diukur hanyalah efektivitas dan
kolektabilitas dana kemitraan alias dana kredit mikro dan kecil yang harus
dikembalikan oleh penerimanya.
Sementara itu, untuk Bina Lingkungan, tak ada
kinerja yang harus dipertanggungjawabkan kecuali penyaluran yang sesuai dengan
rencana. Dengan bentuk pertanggungjawaban yang demikian, kebanyakan BUMN telah
lolos audit PKBL. Bahkan mereka yang progresif sudah membuat laporan PKBL
secara terpisah, dan menaruh laporan tersebut di ranah publik, sebagai bentuk
akuntabilitas. Beberapa BUMN sudah pula menyadari bahwa seharusnya mereka
mendefinisikan kinerja secara lebih kuat, yaitu dampak yang ditimbulkan dari
kegiatan yang mereka biayai dan bina. Jadi, alih-alih sulit melaporkan,
berbagai BUMN malahan sudah melampaui apa yang diminta oleh regulasi.
Pengelolaan PKBL lemah? Dahlan benar untuk
sebagian besar BUMN. Meski demikian, terdapat beberapa BUMN yang tidak hanya
telah mengelola PKBL dengan baik, tapi juga telah memiliki kinerja CSR yang
memuaskan. BUMN seperti Telkom dan Antam telah berulang kali mendapat
penghargaan untuk inisiatif CSR yang mereka lakukan, bukan hanya di tingkat
nasional, tapi juga di perhelatan internasional. Telkom, pada Maret lalu,
ditetapkan sebagai peraih penghargaan The Best Environmental Responsibility
dalam The 2nd Asian Excellence Recognition Awards 2012 di Hong Kong.
Sedangkan pada Mei, Antam mendapat tiga penghargaan dari majalah Finance
Asia, termasuk Best CSR. Artinya, beberapa BUMN mulai diakui
keahliannya dalam ber-CSR, walaupun sebagian besar BUMN masih tertatih dalam
menjalankan PKBL.
Apakah salah kalau BUMN menyalurkan dana
PKBL-nya kepada pemangku kepentingan yang tinggal dekat dengan wilayah operasi
perusahaan? Kalau hanya itu, tentu saja salah. Namun mereka yang mempelajari
teori pemangku kepentingan pasti mengetahui bahwa proximity atau
kedekatan adalah salah satu atribut pemangku kepentingan. Mereka yang tinggal
dekat wilayah operasi memiliki hak yang lebih tinggi dibanding mereka yang
jauh, karena kedekatan wilayah biasanya berimpit dengan dampak yang diterima.
Perusahaan juga perlu menimbang atribut yang lain, seperti kekuasaan, urgensi,
legitimasi, besaran dampak, serta kerentanan. Ketika Dahlan menyatakan bahwa
PKBL seharusnya disalurkan untuk mereka yang paling miskin, sesungguhnya ia
sedang merujuk pada atribut yang disebut terakhir. Jadi, ia benar, namun BUMN
yang menyalurkan PKBL kepada mereka yang tinggal dekat juga tidak salah.
Ada banyak penelitian yang membuktikan bahwa
inisiatif CSR yang lebih luas daripada PKBL sesungguhnya bukanlah gangguan sama
sekali. Penelitian mutakhir, seperti Melo dan Garrido-Morgado (2012), telah
membuktikan bahwa setidaknya perusahaan itu tidak akan rugi karena ber-CSR.
Lebih jauh, penelitian Eccles, Ioannou, dan Serafeim (2012) dari Harvard Business School serta Haanaes,
Reeves, dan Velken (2012) dari Boston
Consulting Group dan MIT bahkan membuktikan bahwa CSR jelas-jelas
memberikan keuntungan finansial bagi perusahaan melalui peningkatan daya saing.
Namun penelitian-penelitian itu menggarisbawahi bahwa CSR harus dilakukan dalam
jangka panjang, sehingga benar-benar menjadi budaya perusahaan. Kalau kemudian
BUMN akan dilarang menjalankan PKBL dan CSR, bisa dipastikan dalam jangka
panjang BUMN di Indonesia tidak akan bisa mengembangkan budaya perusahaan yang
benar, dan mereka akan terpuruk di negeri sendiri, apalagi di level global.
Memang banyak BUMN bermasalah dalam
pengurusan PKBL, namun kondisi sebaliknya juga ditunjukkan oleh BUMN yang
progresif. Jalan keluar dari kondisi ini bukanlah menyerahkan begitu saja
seluruh dana PKBL ke berbagai pihak lain yang dianggap ahli, melainkan
meningkatkan kapasitas seluruh BUMN agar bisa menjalankannya dengan benar,
sesuai dengan regulasi yang berlaku, dan menjadikan tanggung jawab sosial
sebagai budaya perusahaan dan salah satu dasar keunggulan bersaing. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar