Bank
Century: Politik Vs Hukum
Indriyanto Seno Adji ; Guru Besar
Hukum Pidana,
Pengajar
Program Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Hukum FHUI
KOMPAS,
13 Juli 2012
Permasalahan Bank Century
bagai duri penegakan hukum pemberantasan korupsi.
Hingga kini, dapat dikatakan
kasus Century adalah perkara yang proses penyelidikannya paling lama. Bank
Century yang mengalami krisis keuangan internal membuat negara melalui Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS)—melibatkan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri
Keuangan—mengucurkan dana talangan (bailout)
hampir Rp 6,7 triliun. Ini jumlah yang mengejutkan untuk bank yang tidak masuk
kategori jaringan perbankan internasional.
Tanggal 4 April 1998,
pemerintah pernah membekukan operasional tujuh bank karena kinerjanya dipandang
tidak baik (Bank Surya, Bank Pelita, Subentra, Centris Bank, Bank Kredit Asia,
Hokindo Bank, dan Bank Deka). Tujuh bank lainnya (Bank Exim, Bank Danamon,
BDNI, Bank Umum Nasional, Bank Tiara Asia, Modern Bank, dan Bank PDFCI) berada
dalam pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Inilah badai tahap
kedua yang menimpa dunia perbankan Indonesia.
Sebelumnya, 1 November 1997,
16 bank swasta dilikuidasi. Memang, setelah itu pemerintah menyatakan tidak
akan melakukan likuidasi lagi. Nyatanya, pemerintah membekukan bank, artinya
untuk sementara ketujuh bank itu tidak diperkenankan melakukan kegiatan
perbankan (seperti kliring, menerima deposito, ataupun perjanjian antarbank)
sampai dengan waktu yang ditentukan pemerintah.
Sanksi Perbankan
Sanksi pidana yang diatur
dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan,
anggota dewan komisaris atau pengawas, anggota direksi dan pejabat lainnya,
pegawai, serta pihak-pihak lain, termasuk pemegang saham, yang turut serta
memengaruhi pengelolaan bank, yang telah melakukan tindakan-tindakan yang
menyebabkan keadaan bank yang bersangkutan memburuk sehingga dicabut izin
usahanya, atau yang telah melanggar ketentuan dalam peraturan pemerintah,
diancam dengan sanksi pidana dan atau sanksi administratif.
Tindak pidana perbankan
diatur dalam Pasal 51 Ayat 1 (bagi kejahatan). Masuk dalam kelompok ”kejahatan”
adalah tidak melaksanakan langkah ketaatan bank (Pasal 49 Ayat 2) yang dikenal
dengan kejahatan terhadap asas kehati-hatian perbankan.
Dari penyimpangan
implementasi atas kebijakan likuiditas negara oleh penerima (kebijakan)
likuiditas, sebenarnya penegak hukum memiliki intervensi dengan sarana hukum
pidana terhadap beberapa dari salah satu
penerima (kebijakan) likuiditas.
Namun, terlepas dari adanya polemik mengenai statusnya, menyelamatkan Bank
Century sebagai bank gagal telah menimbulkan kontroversi dalam masyarakat
karena diduga telah terjadi penyimpangan.
Karena itu, DPR meminta
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa dugaan penyimpangan itu. Yang
kemudian menjadi pertanyaan adalah, apa kendala yang menghadang KPK dalam
mengusut kasus Bank Century ini?
Hambatan Pengusutan
Saya mencatat ada beberapa
kemungkinan yang menjadi kendala penuntasan kasus ini.
Pertama, hubungan antara DPR
dan KPK. Kandidat komisioner KPK saat uji kelayakan dan kepatutan di DPR memang
pernah berjanji menindaklanjuti kasus Bank Century sehingga menjadi kunci
politik DPR untuk menekan KPK. Kalangan politisi DPR yang multifraksi memang
meyakini bahwa kebijakan ataupun implementasi dana talangan itu adalah sarana
kepentingan politik dari kekuatan salah
satu partai politik berkuasa, bukan semata bagi pemulihan kinerja Bank
Century.
Namun, ternyata, KPK tetap
saja lamban menangani kasus ini. DPR beranggapan, ada intervensi partai politik
terhadap KPK.
Sebaliknya, KPK tetap
berpendapat bahwa penanganan kasus ini memerlukan waktu dan tidak ada tekanan
dalam bentuk apa pun, baik yang bersifat intra maupun ekstra institusi. Meski
demikian, tampaknya masyarakat lebih percaya, tekanan politik adalah salah satu alasan kelambanan penuntasan
penyelidikan.
Kebijakan Talangan
Kedua, soal polemik internal
KPK terhadap pemaknaan kebijakan dana talangan. Kebijakan bailout atau apa pun namanya—pernah disebut Kebijakan Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI),
ataupun dana talangan—merupakan tindakan aparatur negara berdasarkan kebijakan
negara atau staatsbeleid yang tidak
dapat dinilai oleh disiplin ilmu hukum pidana karena staatsbeleid atau aparatur pelaksananya (overheidbeleid), terlepas ada tidaknya kebenaran substansi atas
kebijakan itu, merupakan ranah hukum administrasi negara.
Kebijakan tersebut
dikeluarkan dalam kondisi darurat, urgen, bahkan instan, yang umumnya secara
substansial tak sesuai dengan peraturan tertulis. Karena itu, kebijakan
abnormal ini tidak dapat dinilai atau diukur dengan produk regulasi dalam
keadaan normal.
Namun, jika implementasi
kebijakan likuiditas negara disimpangkan oleh penerima (kebijakan) likuiditas (bailout) berupa abuse of law dan violation of
law, penegak hukum memiliki intervensi dengan sarana hukum pidana terhadap
penerima (kebijakan) dana talangan itu, bukan terhadap substansi kebijakannya.
Implementasi kebijakan juga
tidak saja terjadi pada perbankan, tetapi berkaitan dengan pasar uang. Krisis
keuangan di Amerika Serikat yang terjadi pada 2008, tetap memberikan imunitas
kepada aparatur negara (US Federal
Reserve) terhadap kebijakan dana talangannya. Namun, implementasi
kebijakan, yaitu kepada penerima (kebijakan dana talangan) yang menyimpang,
seperti Bernard Madoff, penegak hukum berwenang mengintervensi lewat hukum
pidana.
Penyimpangan
Ketiga, apabila memang KPK
berpendapat, kebijakan dana talangan mengandung penyalahgunaan kekuasaan atau
pelanggaran hukum dan KPK dapat melakukan penilaian terhadap kebijakan itu,
kendala KPK adalah membuktikan niat jahat (mens
rea) atas pelaksanaan actus reus
(perbuatan yang mengandung tindak pidana, seperti abuse of power atau violation
of law).
Mens
rea adalah
faktor subyektif dari pembuat kebijakan yang mengandung tindak pidana saat
membuat kebijakan dana talangan. Sangatlah sulit membuktikan mens rea dari pihak terkait pembuat kebijakan
dana talangan, yaitu Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan LPS (yang
tergabung pada Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan), karena harus ada
setidaknya voorbereidigings handeling atau executed prepared (persiapan
pelaksanaan), kecuali terbukti adanya kickback atau suap yang kesemuanya sebagai
perbuatan koruptif adalah ranah kewenangan KPK. Urusan suap inilah yang layak
ditelusuri KPK sebagai penyimpangan koruptif.
Publik memahami
profesionalitas KPK dan sikap masyarakat yang terpecah adalah pendekatan
demokratis yang patut diapresiasi. Maka, skeptis terhadap pendekatan hukum KPK
harus dijawab dengan meningkatkan segera penyelidikan atau tidak meningkatkan
penyelidikan kasus Bank Century ini. Rasionalitasnya, KPK tidak terpengaruh
oleh tekanan apa pun karena adagium penegakan hukum: politics are adopted by the laws, not laws to the politics! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar