Ayam
Tanpa Bulu
Sukardi
Rinakit ; Peneliti Senior Soegeng
Sarjadi Syndicate
KOMPAS, 03 Juli 2012
Ketika saya main gitar dan menyanyikan lagu
Tom Dooly, putri penulis, Hana Nanyang Rinakit (10), tiba-tiba menyela, ”When
sun rises tomorrow, corruptors were hang.” Lalu, dia bertanya mengenai
berita di televisi yang mengulas Indonesia sekarang dalam bahaya. Terancam
menjadi negara gagal. Tanpa tahu maknanya, Hana berkesimpulan bahwa semua itu
karena ulah para koruptor. Sebuah kesimpulan simplistis, meski bisa jadi benar,
dari keterbatasan cara pikir seorang anak.
Siapa pun yang mendengar celoteh seperti itu
tentu akan merenung dalam, lalu mencoba menganalisis dari pintu mana persoalan
bangsa ini bisa diurai. Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir dulu
menjawabnya dengan kata ”merdeka”. Kemerdekaan Tanah Air adalah jembatan emas
untuk mewujudkan sosio-demokrasi menuju kehidupan rakyat bahagia. Kalau kini?
Pintu revolusi sudah mati.
Kebahagiaan rakyat hanya bisa dilahirkan melalui
pintu pemilu. Karena itu, salah memilih presiden dan anggota legislatif, salah
pula jalan hidup bangsa dan negara.
Dilihat dari perspektif budaya politik,
karakter bangsa Indonesia belum banyak berubah. Freudian
politics kelas atas adalah merasa diri sebagai mesias
atau juru selamat yang paling bisa mengatasi masalah bangsa dan menjadikan
rakyat hidup sejahtera. Sebaliknya, kelas bawah cenderung dikungkung budaya
klenik, siklis, dan miskin kepercayaan diri. Aura mistik masih melembaga dalam
alam bawah sadar mereka.
Dalam praksis, fenomena itu bisa dilihat dari
bersemangatnya para tokoh kelas atas, terutama para pemimpin partai politik,
untuk mencalonkan diri menjadi presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2014.
Pada irisan yang lain, para politisi dan petualang politik mulai antre dan
bermanuver agar bisa masuk daftar calon anggota legislatif.
Tidak mengherankan jika dibuat daftar calon
presiden, misalnya, deretan nama para tokoh tersebut akan mengular. Bahkan,
tokoh pergerakan yang tidak berpartai, sudah sepuh, pun masih merasa sebagai
figur yang paling bisa menata dan mengatasi masalah bangsa. Pendeknya, jika
berbicara dengan mereka, setiap figur meyakini bahwa dialah sang banteng, sang pemimpin
sejati.
Persepsi diri sebagai juru selamat tersebut
tidak berarti jelek apabila dilandasi kesadaran egoisme kebajikan seperti yang
ditunjukkan Bung Karno. Seperti diakui Bung Karno sendiri, mustahil ia bisa
menyatukan ratusan suku bangsa dan ribuan pulau di Nusantara jika tanpa sikap
egoistis tersebut (Adams, 2007). Sejarah politik republik memang bertumpu pada
karisma dan kekuatan individu, bukan pada kekuatan institusi.
Contoh yang sama bisa dilihat pada naiknya
pamor Partai Demokrat (PD) pada Pemilu 2004 dan 2009. Tanpa figur Susilo
Bambang Yudhoyono, sebagai partai baru mustahil bendera PD berkibar-kibar kuat
di ranah politik Tanah Air. Sejarah politik kita juga mengajarkan bahwa
kehebatan institusi belum terbukti bisa mengangkat individu yang dijagokan.
Kehebatan PDI-P dan Golkar pada Pemilu 2004, contohnya, tidak kuasa mendudukkan
kandidat yang diusungnya menjadi presiden. Dalam konteks 2014, jika salah
kalkulasi dan mengabaikan public
mood, tidak tertutup kemungkinan sejarah akan terulang. Sekali lagi, kursi
kepresidenan akan lepas dari tangan Golkar dan PDI-P.
Keyakinan diri elite sebagai juru selamat
akan buruk akibatnya bagi rakyat jika mereka miskin egoisme kebajikan.
Cengkeraman alam bawah sadar sebagai mesias
sejatinya hanya akan memperkuat syahwat kekuasaan. Tanpa egoisme kebajikan,
siapa pun yang menjadi pemenang tetap saja bukan figur terbaik. Ia tak lebih
hanya manipulator tindak-tutur dan pandai menyelimuti diri seakan-akan sebagai
sosok yang tertulis dalam ramalan (ratu adil). Dalam bahasa emak, mereka itu
hanya pitik
trondol sing diumbar ing padharingan (ayam tanpa bulu yang dibiarkan
berkeliaran di tempat ayam bertelur).
Maknanya, figur itu tidak cocok untuk
diserahi amanah karena perilakunya korup. Ia hanya akan membawa rakyat hidup
tanpa optimisme dan kondisi bangsa terpuruk.
Semua itu terjadi karena praktik demokrasi
kita bukan hanya prosedural, melainkan juga cenderung dimaknai sebatas
mekanisme perebutan kekuasaan. Akutnya praktik korupsi menandakan para penguasa
republik pada umumnya tak lebih dari pitik
trondol. Mereka lebih sibuk memanipulasi tindak-tutur daripada bekerja tulus
demi rakyat.
Gerakan masyarakat sipil sebaiknya diarahkan
pada penyadaran publik bahwa pancaran ideologi seorang tokoh adalah lebih baik
daripada janji-janji yang diucapkan petualang politik. Seorang ideolog, menurut
senior saya Soegeng Sarjadi dan Maher Algadri, siap memikul risiko—termasuk
digantung jika ia menjadi pitik
trondol. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar