Rabu, 02 Mei 2012

Risiko Pangan Impor


Risiko Pangan Impor
Ahmad Sulaeman; Guru Besar Keamanan Pangan dan Gizi Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB
SUMBER : REPUBLIKA, 02 Mei 2012


Impor pangan akan terus terjadi sejalan dengan tren masyarakat yang lebih menyukai produk im por ketimbang produk lokal serta kecenderungan konsumen belanja di pasar modern yang te rus berkembang. Pasar modern ini memasang strategi pemasaran dengan menjual produk-produk segar impor yang tampilannya menarik dan harganya bersaing.

Hasil survei penulis pada 2007-2008 mendukung hasil kajian di negara-negara maju bahwa konsumen lebih menyukai belanja di pasar modern karena produk segar yang dijual di pasar mo dern dianggap lebih aman dan menye hat kan. Namun, apakah benar demikian? Tidak adakah risiko di balik produk-produk segar dengan tampilan menarik tersebut?

Sulit Dibendung

Sungguh menyedihkan fakta yang terlihat dari hasil survei penulis terhadap sekitar 225 
produk pertanian yang dijual di supermarket dan 60-80 persen adalah produk impor. Untuk produk daging, data menunjukkan 40 persennya juga merupakan hasil impor. 

Terdapat kecenderungan bahwa impor produk-produk pertanian terus meningkat.
Untuk jangka panjang, kondisi ini tidaklah bagus. Selain dapat mengancam kedaulatan pangan dan kehidupan lebih dari 45 juta rakyat Indonesia, hal ini juga berpotensi membawa risiko terhadap kesehatan manusia bila kapabilitas institusi negara ini dalam melakukan pengawasan masih lemah.

Meski terdapat aturan WTO terkait importasi pangan bahwa kita bisa menolak masuknya pangan dari luar bila produk tersebut tidak memenuhi ketentuan WTO tentang technical barrier to trade (TBT agreement) dan sanitary and phytosanitary (SPS agreement), susah kita membendung masuknya produk tersebut. Ini karena keterbatasan dan masih lemahnya instrumen pengawasan di pintu-pintu masuk.

Tiga Peraturan Menteri Pertanian, yaitu No 88/2011, No 89/2011, dan No 90/2011, serta pembatasan pintu masuk bagi impor 47 komoditas buah dan sa yur an menjadi hanya empat, yaitu Belawan, Tanjung Perak, Makassar, dan Bandara Soekarno Hatta, tidaklah akan mampu membendung masuknya produk impor. Bahkan, ketiga permentan tersebut ternyata diprotes juga oleh importir Indonesia sendiri.

Salah satu cara membatasi membanjirnya produk impor adalah dengan mencerdaskan konsumen Indonesia da lam memilih produk yang akan dibeli nya. Informasi mengenai risiko bahaya dari produk impor serta mengenai keunggulan produk asli Indonesia perlu disampaikan kepada mereka.

Terkait produk buah-buahan dan sa yuran impor, di balik penampilan serta mutu fisik lainnya yang memikat, sesungguhnya terdapat risiko yang mungkin dalam beberapa kasus baru akan dirasakan dalam jangka lama. Sudah menjadi rahasia umum, dalam sistem pertanian modern, petani di negara manapun sudah sangat bergantung pada pupuk kimia dan pestisida sintetis.

Berbagai studi menunjukkan bahwa meski penggunaan pestisida dilakukan dengan ketat sehingga residu yang ter tinggal di bawah ambang batas, tetap berisiko. Paparan terus-menerus sejak masa kehamilan dapat menyebabkan risiko berbagai kanker dan mengganggu perkembangan kognitif anak yang dilahirkan.

Telah dilaporkan pula, pestisida dari golongan organophosphat yang bersifat antiandrogenik menyebabkan demasculinization, yaitu hilangnya sifat-sifat maskulin pada kaum pria. Dalam praktik di rantai pemasok buah-buahan di negara modern sudah sangat umum buah-bauh an, seperti apel, alpukat, dilapisi lilin (wax) untuk mencegah penguapan yang berlebih. Sudah sangat umum pada lilin tersebut ditambahkan suatu fungisida yang ternyata juga bersifat antiandrogenik.

Pada produk daging yang diimpor juga terdapat risiko kemungkinan mengandung penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia, misalnya, sapi gila, antraks, dan flu burung. Risiko daging dari produk impor mengandung penyakit tersebut sangat dimungkinkan mengingat pola pemeliharaan yang telah menyalahi kodrat dari binatang itu sendiri.

Keunggulan Produk Lokal

Sesungguhnya produk lokal, seperti buah-buahan dan ternak asli Indonesia, mempunyai banyak keunggulan dan bebas dari risiko bahaya di atas. Kebanyakan buah-buahan asli Indonesia belum dibudidayakan dengan serius. Tanaman-tanaman, seperti manggis, salak, nangka, dibiarkan saja di kebun-kebun, di belakang rumah, di hutan-hutan, tanpa dipupuk atau disemprot pestisida. Dengan demikian, risiko terpapar oleh pestisida dan bahan kimia lain sangat kecil atau dapat dikatakan organic by neglected atau by nature.

Selain itu, produk-produk tersebut umumnya sangat kaya akan komponen-komponen bioaktif yang sangat berkhasiat untuk kesehatan. Terkait dengan daging, secara umum sapi-sapi asli Indonesia, termasuk kerbau, dipelihara dalam cara yang kini justru menjadi yang dianjurkan karena sesuai dengan prinsip animal werfare, yaitu dibiarkan merumput dan dilepas di padang-padang penggembalaan.

Sapi-sapi dan kerbau ini tidak pernah diberi konsentrat yang mengandung MBM atau hormon dan antibiotik. Hasil penelitian penulis bersama mahasiswa doktor di IPB menunjukkan kandungan gizi dan sifat sensori dari sapi-sapi asli Indonesia, termasuk kerbau, lebih baik dari daging sapi impor.

Kiranya sudah saatnya pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk mengungkap kelebihan-kelebihan dari produk pertanian Indonesia dan membiarkan konsumen menjadi cerdas untuk memutuskan produk mana yang akan dipilih. Tentunya bila konsumen sadar akan hal ini, produk impor yang membanjiri negara kita tidak akan dilirik oleh konsumen Indonesia dan beban pemerintah dalam melakukan pengawasan menjadi berkurang. Dalam hal ini, peran perguruan tinggi pertanian dalam mengungkap fakta-fakta ilmiah serta mengembangkan keunggulan produk lokal menjadi sangat penting. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar