Pendidikan dalam Jerat Hipokrisi dan Apologi
Saharuddin Daming, Komisioner Komnas HAM
SUMBER
: MEDIA INDONESIA, 02 Mei 2012
BILA
mencermati dinamika perkembangan dunia pendidikan kita yang berada di antara
keprihatinan dan kegembiraan, sekiranya Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan
Nasional) masih hidup dan menyaksikan keadaan tersebut, beliau niscaya akan
mengekspresikan wajah dengan lambaian senyum dan tangis secara bergantian.
Simbol senyuman dimaknai dengan pesatnya kemajuan pendidikan secara kuantitatif
di Indonesia dewasa ini, tetapi simbol tangisan tentu tertuju pada dimensi
kualitatif dari hasil pendidikan kita yang masih tergolong rendah.
Tengoklah
tren gaya hidup yang menghiasi rutinitas ahli waris Ki Hajar Dewantara yang
dahulu menyandang gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka kini sering mangkir,
terlibat praktik pungli/pemerasan yang dilegalkan dengan modus operandi,
penjualan buku paket, seragam sekolah, sogok-menyogok, dll.
Persoalan
lain yang sangat krusial dalam pemenuhan hak pendidikan yang murah dan mudah
bagi warga negara ialah fenomena komersialisasi pendidikan. ‘Pendidikan bermutu
itu mahal’. Kalimat itu sering muncul untuk menjustifi kasi tingginya biaya yang
harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya
pendidikan dari taman kanakkanak (TK) hingga perguruan tinggi (PT) membuat
masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah.
Alhasil, muncullah kalimat bertuah: ‘Orang miskin tidak boleh sekolah’.
Komersialisasi
pendidikan bermula dari kebijakan pemerintah yang pernah menerapkan manajemen
berbasis sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitasnya lebih dimaknai
sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana.
Karena
itu, komite sekolah/ dewan pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan punya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas
modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah komite sekolah terbentuk, segala
pungutan uang kadang berkedok ‘sesuai keputusan komite sekolah’.
Namun
dalam implementasinya, ia tidak transparan karena yang dipilih menjadi pengurus
dan anggota komite sekolah adalah orang-orang dekat dengan kepala sekolah. Akibatnya,
komite sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan kepala sekolah dan MBS pun
hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap
permasalahan pendidikan rakyat.
Kondisi
tersebut semakin parah dengan munculnya program privatisasi pendidikan yang
dilegalkan UU No 9/2009. Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke
bentuk badan hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar.
Dengan perubahan status itu, pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung
jawab atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak
jelas. Perguruan tinggi negeri (PTN) pun berubah menjadi badan hukum milik
negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS merupakan bentuk hipokrisi dan apologi
pendidikan. BHMN berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa PT
favorit.
Seperti
halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari dana untuk diinvestasikan dalam
membiayai operasional pendidikan. Dengan privatisasi pendidikan, berarti
pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan
tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya
sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan
pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk
meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat kurang mampu
untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin
terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan yang miskin.
Secara
sosiohistoris, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang
telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui
UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP), pemerintah berencana
memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi BHP
sehingga wajib mencari sumber dana sendiri. Hal ini nantinya juga berlaku untuk
seluruh sekolah negeri, dari tingkat pendidikan dasar hingga menengah.
PTN
yang sekarang berubah status menjadi BHMN menjadi momok bagi kaum papa. Mereka
berdalih pendidikan bermutu itu harus mahal. Argumen itu hanya berlaku di
Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang
lainnya, banyak PT bermutu tetapi biayanya tetap rendah, bahkan ada yang
gratis.
Pendidikan
berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau
gratis. Namun persoalannya, siapa yang seharusnya menanggung? Secara
konstitusional, pemerintahlah yang berkewajiban menjamin setiap warganya
memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan
pendidikan bermutu. Kenyataannya, pemerintah justru ingin lari dari tanggung
jawab. Padahal, keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi pemerintah
untuk cuci tangan.
Untunglah
UU No 9/2009 telah dibatalkan MK melalui putusan No 11-14-21-126 dan
136/PUU-VII/2009 yang diputus pada 30 Desember 2009 dan dibacakan dalam sidang
MK pada 30 Maret 2010. Sampai di sini dapat dipahami, pemenuhan hak pendidikan
bagi warga negara secara mudah, murah, dan bermartabat oleh negara melalui
pemerintah lagi-lagi merupakan bahasa hipokrisi dan apologi. Kualitas siswa
masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan mahal, bahkan
aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita
ke depannya akan semakin terpuruk. Hal ini terjadi akibat manipulasi biaya
pendidikan yang diklaim pemerintah telah mencapai 20% dari APBN/ APBD, padahal
jumlah yang sesungguhnya sangat kecil untuk program pendidikan bermutu.
Untuk
mengatasi masalah pendidikan, tidak semestinya dilakukan secara parsial, tetapi
harus secara holistis. Artinya, kita tidak seyogianya terjebak oleh
keterbatasan biaya untuk melegalkan privatisasi pendidikan. Kita justru harus
merestorasi secara total mindset hipokrisi dan apologi pendidikan ke arah yang
lebih konstruktif dan kondusif dalam menjamin pelaksanaan education for all. Karena itu, masalah penyelenggaraan wajib
belajar sembilan tahun harus segera diwujudkan sebagai amanat konstitusi dan
MDGs.
Jika
program wajib belajar sembilan tahun dilaksanakan secara serampangan dan
setengah hati, itu akan menimbulkan implikasi yang sangat luas dan serius.
Selain merupakan pengkhianatan terhadap amanat konstitusi dan MDGs, hal
tersebut akan menjungkalkan tujuan pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam
Pasal 3 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas ke jurang hipokrisi dan apologi. Jika
tidak ada perubahan kebijakan yang signifi kan, sulit bagi bangsa ini keluar
dari keterpurukan, apalagi bersaing di tingkat global akibat jeratan hipokrisi
dan apologi yang semakin melebar. Mungkinkah semua ini fakta yang menunjukkan
bahwa dunia pendidikan kita dilanda dekadensi? Wallahu a’lam bissawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar