Pemerintah
Juga Tak Hadir di Laut
M
Riza Damanik ; Sekretaris
Jenderal KIARA
SUMBER
: SINAR
HARAPAN, 25 Mei 2012
Berawal dari undangan seorang Lamafa—juru
tombak ikan paus—menghadiri Perayaan Misa Lefa 1 Mei: pertanda pembukaan melaut
bagi nelayan Lamalera, Lembata, Nusa Tenggara Timur, saya berkesempatan
menyaksikan betapa persoalan bangsa ini kian membesar, sejalan kegagalannya
memahami unsur lingkungan di Kawasan Timur Indonesia.
Di Lamalera misalnya, tradisi melaut yang
lekat dengan kebudayaan dan ritual keagamaan mulai tergusur dengan kepentingan
modal buah pemikiran “pusat”. Sebut saja keputusan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) pada Konferensi Keanekaragaman Hayati di Jerman, Maret 2006.
Demi mendapatkan sumber pendanaan baru,
Pemerintahan SBY mencadangkan 20 juta hektare laut Indonesia ke dalam inisiatif
konservasi global hingga 2020. Sejak saat itu, Laut Sawu tempat nelayan
Lamalera menjalankan tradisi menangkap ikan secara tradisional, adil, dan
lestari mulai dikavling atas nama konservasi.
Bahkan kearifan tradisional nelayan mulai
digantikan dengan pengetahuan konservasi asing. Perahu-perahu layar berangsur
diubah dengan mesin-mesin yang boros bahan bakar fosil. Belakangan, rencana
kehadiran industri pariwisata pun menjadi “virus” yang tengah memecah belah
komunitas adat Lamalera.
Hal serupa terjadi hampir di seantero laut
Indonesia bagian timur. Sebut saja di Kepulauan Wakatobi Sulawesi Tenggara,
Togean Sulawesi Tengah, Bunaken Sulawesi Utara, Komodo Nusa Tenggara Timur,
bahkan Raja Ampat di Papua. Boleh jadi, keindahan alam laut bak “surga” bagi
wisatawan asing, sekaligus “neraka” bagi nelayan dan masyarakat lokal.
Dua Kegagalan
Pokok soalnya berawal dari kealpaan
pemerintah mengikutkan suara rakyat Indonesia Timur dalam tiap keputusan
strategis nasional. Ini dibuktikan dengan diabaikannya berbagai pengetahuan dan
kearifan tradisional masyarakat dalam politik pembangunan Indonesia.
Terhadap laut misalnya, sejak abad XVI,
masyarakat Lamalera sudah memiliki modalitas pengetahuan luhur: Ina soro budi/ budi noro apadike.// Pai pana
ponu/ te hama hama (Laut adalah ibu yang membesarkan dan mengasihi. Karena
itu, jaga dan peliharalah kelestariannya).
Pengetahuan luhur tersebut selanjutnya
dijabarkan dengan membatasi musim menangkap ikan pada Mei hingga Oktober saja.
Bahkan, hanya menangkap ikan berukuran besar, yakni sejenis ikan paus, pari,
dan lumba-lumba, agar dapat dibagikan kepada seluruh warga kampung, terutama
janda dan anak yatim piatu.
Setidaknya ada dua kegagalan paradigma
pembangunan yang menyebabkan kian timpangnya pembangunan Indonesia. Pertama,
gagal menempatkan laut sebagai ruang hidup yang menyatukan. Dengan komposisi
masyarakat di bagian timur pada umumnya tinggal di kawasan pesisir, pulau-pulau
kecil, bahkan sebagian ada yang melanjutkan tradisi hidup di atas laut, kondisi
tersebut jelas sangat merugikan.
Penyeragaman pembangunan kota-kota pantai dan
moda transportasi yang cenderung mengarah pada wilayah daratan, seperti di
Pulau Jawa, telah menyulitkan akses antarpulau di bagian timur Indonesia yang
membutuhkan moda transportasi laut. Apalagi, laut juga diposisikan sebagai tong
sampah raksasa.
Di Nusa Tenggara Barat misalnya, pemerintah
melalui Kementerian Lingkungan Hidup mengizinkan PT Newmont Nusa Tenggara
membuang 140.000 ton limbah tailing setiap hari ke Teluk Senunu. Akibatnya,
tidak saja lingkungan yang rusak, kehidupan nelayan secara ekonomi, sosial, dan
budaya pun ikut terpuruk.
Kedua, gagal mempertahankan lumbung pangan,
baik di darat maupun laut. Di darat, kegagalan ditandai dengan maraknya konversi
lahan pertanian rakyat untuk industri pertambangan dan perkebunan. Di Sumba
Tengah, 3 Mei 2012, aparat negara rela memenjarakan tiga petani: Umbu Mehang,
Umbu Janji, dan Umbu Pendigara, karena menolak aktivitas perusahaan emas asal
Australia, PT Fathi Resources, yang merusak lahan pertanian dan peternakan
warga.
Di laut pun demikian. Negara seolah memilih
absen memberantas maraknya pencurian ikan oleh kapal-kapal asing di perairan
timur Indonesia, seperti di sekitar Perairan Papua dan Laut Maluku. Kegagalan
menjaga sumber daya pangan tersebut kemudian menempatkan Indonesia menjadi
salah satu negara pengimpor produk pangan terbesar.
Di perikanan, untuk menutupi defisit
kebutuhan ikan di Tanah Air, Kementerian Kelautan dan Perikanan menaruh alokasi
impor tahun 2012 hingga 610.000 ton, atau naik 35 persen dibandingkan tahun
lalu. Hal serupa juga terjadi pada produk pangan lainnya, seperti bawang,
beras, garam, hingga sapi.
Solusi Negeri
Pembenahan Indonesia dapat diawali dengan
menghadirkan negara di tengah masyarakat di Kawasan Timur Indonesia. Kehadiran
tidak boleh sekadar dalam bentuk memfasilitasi hadirnya investasi. Lebih dari
itu, pembenahan dilakukan guna melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam konteks Indonesia Timur sebagai wilayah
kepulauan, kegiatan pertambangan bukanlah pilihan bijak, mengingat pulau-pulau
kecil rentan terhadap ketersediaan air bersih, termasuk aspek kebencanaan.
Karena itu, pemerintah pantas menarik mundur kegiatan pertambangan dari kawasan
ini, agar petani bisa berladang, nelayan bisa melaut, peternak bisa mengangon
sapinya, dan anak-anak bisa tumbuh kembang berbudaya.
Pemerintah juga perlu memberi prioritas
terhadap pembangunan moda transportasi laut untuk menghubungkan satu pulau
dengan pulau lainnya. Tidak saja dalam rangka mewadahi pertukaran bahan baku
dan pangan sebagai wujud kedaulatan rakyat, transportasi laut juga bisa menjadi
instrumen percepatan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Terakhir, sudah sepantasnya pemerintah
memfasilitasi dan memperkuat eksistensi hukum-hukum adat yang mencerminkan
nilai-nilai keadilan, keserasian, dan kelestarian, yang relevan dengan
kebutuhan Indonesia hari ini. Hal ini dapat dimulai dengan mendengar dan meletakkan
suara rakyat Indonesia Timur sebagai solusi bagi negeri! ●
Hari yang baik untuk semua warga negara Indonesia, nama saya Nurul Yudianto, tolong, saya ingin berbagi kesaksian hidup saya yang sebenarnya di sini di platform ini sehingga semua warga negara Indonesia berhati-hati dengan pemberi pinjaman pinjaman di internet
BalasHapusSetelah beberapa waktu berusaha mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan, dan terus ditolak, saya memutuskan untuk mengajukan pinjaman secara online tetapi saya curang dan kehilangan Rp18,7 juta, kepada seorang wanita di saudi arabia dan Nigeria.
Saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman, jadi saya berdiskusi dengan teman saya Nyonya Rika Nadia (rikanadia6@gmail.com) yang kemudian memperkenalkan saya kepada Lady Esther, manajer Cabang dari Access Loan Firm, sehingga teman saya meminta saya untuk mendaftar dari LADY ESTHER, jadi saya Menjerit dituangkan dan dihubungi LADY ESTHER. melalui email: (estherpatrick83@gmail.com)
Saya mengajukan pinjaman sebesar Rp250 juta dengan suku bunga 2%, sehingga pinjaman disetujui dengan mudah tanpa tekanan dan semua persiapan dilakukan dengan transfer kredit, karena tidak memerlukan jaminan dan jaminan untuk pengalihan pinjaman, saya diberitahu untuk mendapatkan sertifikat perjanjian lisensi untuk mentransfer kredit saya dan dalam waktu kurang dari satu setengah jam uang pinjaman telah dimasukkan ke dalam rekening bank saya.
Saya pikir itu adalah lelucon sampai saya menerima panggilan dari bank saya bahwa akun saya telah dikreditkan dengan jumlah Rp250 juta. Saya sangat senang bahwa akhirnya Tuhan telah menjawab doa-doa saya dengan buku pinjaman dengan pinjaman asli saya, yang telah memberi saya keinginan hati saya.
Semoga Tuhan memberkati LADY ESTHER untuk mewujudkan kehidupan yang adil bagi saya, jadi saya menyarankan siapa pun yang tertarik untuk mendapatkan pinjaman untuk menghubungi Mrs. LADY ESTHER melalui email: (estherpatrick83@gmail.com) atas pinjaman Anda
Akhirnya saya ingin berterima kasih kepada Anda semua karena meluangkan waktu untuk membaca kesaksian hidup saya yang sebenarnya tentang kesuksesan saya dan saya berdoa kepada Tuhan untuk melakukan kehendak-Nya dalam hidup Anda. Anda dapat menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut melalui email saya: (nurulyudianto2@gmail.com) Salam