Endang Sedyaningsih, Peneliti yang Menjadi Birokrat
Irwan Julianto; Wartawan
KOMPAS
SUMBER
: KOMPAS, 03 Mei 2012
Ketika bertemu Dr Endang Sedyaningsih, MPH di
Konferensi Influenza Eropa III di kota Vilamoura, Algarve, Portugal,
pertengahan September 2008, ia tampak terkejut. Ia berpesan agar presentasinya
tentang kesiapan Indonesia menghadapi epidemi flu burung di sidang pleno forum
amat bergengsi itu tidak dilaporkan.
Alasannya karena ia baru saja dicopot dari
jabatannya sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan
Farmasi, Departemen Kesehatan. Ia tak ingin ditegur oleh Menteri Kesehatan
waktu itu, Siti Fadilah Supari.
Di forum, dengan lancar dan jernih ia
memaparkan situasi flu burung di Indonesia, yang tergolong paling tinggi jumlah
kasus dan tingkat kematian korbannya di kawasan ASEAN.
Di luar dugaan, setahun kemudian namanya
diumumkan menjadi Menteri Kesehatan yang baru. Namanya muncul pada saat-saat
terakhir karena calon kuat sebelumnya, Prof Nila Moeloek, batal dipilih
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Endang, dari seorang peneliti yang sempat
menduduki posisi pejabat eselon dua di Balitbang Depkes, kemudian setahun lebih
non-job, langsung melejit menjadi seorang menteri. Ini mematahkan tradisi
karena selama ini para menteri kesehatan biasanya dokter klinis atau dokter
yang pernah menjadi pejabat struktural di kanwil atau direktur rumah sakit di
daerah. Sementara Endang adalah seorang peneliti biasa walaupun ia menyandang
gelar master dan doktor ilmu kesehatan masyarakat dari Universitas Harvard.
Ada saja yang tak suka ia jadi Menkes.
Misalnya, ia dituding mencuri virus flu burung dari Indonesia dan dikirim ke
Amerika yang diduga bakal dijadikan cikal bakal vaksin yang nantinya akan
dikomersialkan tanpa Indonesia menikmati hak dan royaltinya. Ada pula spekulasi
bahwa virus flu burung asal Indonesia itu akan dikembangkan menjadi senjata
biologis di AS.
Hal yang belakangan berkembang malah tudingan
bahwa Endang bertanggung jawab untuk pengadaan reagensia untuk pemeriksaan
infeksi flu burung pada 2006-2007, dan ia dianggap menghindari pemeriksaan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, sebagai Kepala Puslitbang Biomedis
dan Farmasi ia tak memiliki wewenang untuk pengadaan barang.
Kondisi sakitnya yang parah tak memungkinkan
ia datang sebagai saksi kasus korupsi di KPK. Lewat pesan Blackberry-nya
tanggal 3 April lalu ia menjelaskan duduk soalnya.
”Sori nulis salah-salah. I can’t really see. My health
problem is serious,” tulisnya. ”Terapi medik saya pun belum settled. Tim dokter saya sangat
besar.... Beberapa hari sekali mendapatkan regimen terapi saya.” Itulah pesan
tertulis terakhir yang saya terima. Setelah itu pesan-pesan saya tak pernah
dibaca dan dibalas. Yang tersisa adalah personal statusnya yang berbunyi: Be strong.
Ia tetap tegar ketika mengajukan permohonan
dirinya untuk mundur sebagai Menkes kepada Presiden SBY yang menjenguknya,
Kamis pekan lalu, di RSCM.
Menurut Prof David Muljono, dokter yang juga
peneliti hepatitis di Lembaga Eijkman, Endang adalah tokoh yang paling berjasa
untuk meloloskan usulan ke sidang Dewan Kesehatan Sedunia di Geneva pada Mei
2010. Atas usulan itu hepatitis diakui sebagai wabah dunia dan harus
diperingati secara rutin setiap tahun. ”Beliau mengharumkan nama Indonesia di
dunia internasional,” kata David.
Bersahaja
Kebersahajaan Endang sebagai peneliti ilmu
kesehatan masyarakat masih lekat di ingatan. Suatu hari di bulan Agustus 1996
di Bandara Logan, Boston, AS, Endang menyambut saya dan keluarga. Sebagai
mahasiswa doktoral di Universitas Harvard ia jauh dari kesan snob. Ketika itu ia bergaun terusan
panjang di bawah lutut dan memanggul ransel. Apartemennya sederhana, tetapi
tertata rapi dan bersih.
Bulan Maret 1997 ia berhasil mempertahankan
disertasinya tentang kehidupan para pekerja seks komersial di Kramat Tunggak,
Jakarta Utara, dan perilaku para pelanggan mereka yang rawan bagi penularan
HIV/AIDS. Ketika itu, isu AIDS sedang naik daun di dunia, termasuk Indonesia.
Terkait penyakitnya, Endang menjadi perokok
pasif karena Indonesia adalah ”surga” bagi perokok. Asap rokok lingkungan (environmental tobacco smoke) jauh lebih
beracun dan karsinogenik dibandingkan asap rokok utama (mainstream smoke). Ini yang mungkin memicu kanker paru yang diidap
Endang.
Ia dan keluarganya untuk pertama kali
mengetahui bahwa dirinya mengidap kanker paru ketika melihat hasil rontgen parunya pada 22 Oktober 2010.
Endang tetap tegar. Tanggal 22 Desember 2010
ketika meluncurkan buku Perempuan-perempuan
Kramat Tunggak di Bentara Budaya Jakarta, ia masih terlihat sehat dan
segar. Dan ia tetap tegak tegar ketika diwawancara di rumah dinasnya beberapa
pekan kemudian (Kompas, 23 Januari 2011). Malah ia bisa menertawakan dirinya
sendiri sambil menyanyikan lagu David Bowie ”Dead Man Walking”.
Salah satu perjuangan Endang yang berani
melawan arus adalah membuat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Kantor Kemenkes tak jarang didemo oleh para
petani tembakau dan buruh industri rokok. Bahkan fotonya pernah terpampang di
baliho besar sebagai salah satu dari 10 musuh petani tembakau dan buruh
industri rokok (Buku Indonesia–The Heaven
for Cigarette Companies and the Hell for the People, FKM UI, 2012).
Padahal, tujuan RPP itu tak lain adalah
mengamankan mereka yang belum menjadi perokok dan para perokok pasif. Tidak
dimaksudkan untuk mematikan industri rokok dan melarang penanaman tembakau.
Disalahpahami dan difitnah memang risiko
jabatan bagi pejabat tinggi negara. Namun, Endang telah membuktikan bahwa ia
tetap bekerja sampai saat-saat terakhir, sebelum akhirnya ia menyerah dan harus
meminta cuti sebulan untuk berobat, lalu dipuncaki dengan permohonannya
mengundurkan diri. Ini menunjukkan kejujurannya untuk tidak mengangkangi
jabatan yang diamanahkan kepada dirinya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar