Menjaga Seniman Kita
Satrio Wahono; Sosiolog
dan Magister Filsafat UI
SUMBER
: SINAR HARAPAN, 03 Mei 2012
Tragis! Di tengah gemerlap dunia hiburan
lengkap dengan para selebritasnya yang bergaya hidup mentereng, jagat kesenian
alias olah-rasa baru-baru ini menyimpan banyak kabar duka.
Di antaranya adalah merananya nasib H Bodong,
tokoh seni legendaris Betawi, karena tidak punya cukup uang untuk berobat.
Juga, kegalauan Drs Suyadi (Pak Raden) yang tidak bisa menikmati hasil
jerih-payah kreasinya dalam film kesayangan anak-anak Indonesia, Si Unyil,
selama berdasawarsa.
Dua fakta memiriskan hati di atas menambah
catatan hitam perlakuan bangsa ini terhadap para tokoh seni yang sebenarnya
telah ikut merawat dan menyebarkan nilai-nilai luhur bangsa. Tentu masih segar
dalam ingatan kita nasib malang ahli waris pahlawan seni kita Ismail Marzuki.
Ternyata, sang ahli waris masih belum punya rumah sendiri dan juga mengalami
kesulitan membiayai pengobatan bagi penyakitnya.
Tak urung kabar kelam bertubi-tubi di dunia
kesenian kita tersebut patut membuat kita bertanya: hanya sebegitukah apresiasi
kita terhadap mutiara khazanah kebudayaan kita? Padahal, bangsa yang tidak
menghargai kesenian sekaligus para senimannya bisa dikatakan sebagai bangsa
yang tak beradab.
Seni Tinggi versus Seni Rendah
Jika ditimbang lebih jauh, akar filosofis
perlakuan serampangan bangsa kita terhadap para empu seni di atas bisa dilacak
pada pertarungan antara dua mazhab kesenian yang dikemukakan Theodor Adorno
(1903–1969), seorang filsuf beraliran Frankfurt (dalam Yasraf Amir Piliang,
Hiperrealitas Kebudayaan, 1999).
Pertama, seni tinggi atau high culture.
Menurut pandangan ini, seni pada hakikatnya adalah instrumen bagi manusia untuk
mengekspresikan emosinya tentang keindahan secara rasional. Oleh karena itu,
seni yang sejati bertujuan mengasah rasio atau akal budi manusia dalam proses
menuju kesempurnaan insaniah.
Seni adalah alat bagi manusia untuk
menyublimasikan dan mengemas nilai-nilai luhur universal yang senantiasa ingin
manusia gapai dengan akal budinya tersebut. Dengan kata lain, seni tinggi
adalah sarana bagi manusia untuk melepaskan diri dari belenggu irasionalitas
dan merengkuh keutamaan akal budi sebagai gantinya. Pendeknya lagi, seni tinggi
adalah seni pembebasan.
Kedua, sebagai lawan seni tinggi, mazhab seni
rendah (low culture) atau seni komoditas. Mazhab ini berpandangan bahwa karya
seni hanya dibuat untuk menjadi barang dagangan alias komoditas demi
mendatangkan laba bagi pembuatnya beserta jejaring modal di balik seni komoditas
tersebut.
Segala tujuan mulia untuk menyempurnakan
pencarian rasionalitas manusia akan nilai-nilai kemanusiaan universal tidaklah
mendapat tempat. Ini karena kapital atau modal-lah yang justru menjadi
penggerak utama di balik seni rendah ini. Adapun istilah yang lebih terkenal
untuk seni model begini adalah seni atau budaya populer (popular art, popular
culture).
Dari perspektif di atas, kita tahu bahwa
masyarakat kita sekarang ini lebih menghargai seni populer sehingga para
seniman budaya populer ini lebih makmur secara materi dan begitu menyilaukan
publik dengan segala keglamoran mereka.
Mesin jejaring modal di balik budaya populer
ini pun bekerja giat siang malam lewat iklan, media massa, kerja sama sponsor,
dan lain-lain demi menggiring selera budaya konsumen secara seragam ke arah
konsumsi produk seni mereka.
Pada akhirnya ini hanya akan membiakkan laba
bagi para jejaring produsen seni komoditas tersebut. Alhasil, konsumen seni pun
mendapati akal budi dan daya reflektif mereka “terjinakkan” oleh produk budaya
populer yang tidak memberikan ruang bagi nilai-nilai kemanusiaan yang
bermartabat.
Contoh gamblang dari hal ini adalah fenomena
betapa lagu-lagu cinta populer sudah demikian merasuk ke dalam diri anak-anak
belia yang sebenarnya tidak tahu apa yang mereka nyanyikan. Sebaliknya, lagu
khas anak-anak sendiri terpinggirkan karena memang dianggap ”tidak menjual”.
Pemberhalaan budaya populer inilah yang lalu
meminggirkan seni tinggi, termasuk para seniman penghasil produk seni tinggi
tersebut. Seni tanjidor yang dirawat H Bodong, misalnya, dianggap tidak
menjual, tidak gaul, dan garing—meminjam bahasa anak muda sekarang. Demikian
juga cerita Si Unyil yang kalah jauh dengan Naruto, Power Ranger, dan
kisah-kisah lain yang lebih seru dengan adegan bak-bik-buk.
Akibatnya, tidak ada lagi transfer
nilai-nilai luhur bangsa lewat seni. Seni tinggi sudah ditenggelamkan
dalam-dalam oleh belitan sulur-sulur kapital ganas yang memiliki jangkauan luas
lewat berbagai aparatusnya, seperti media massa, media digital, tokoh
selebritas gemerlap, dan lain sebagainya.
Darurat Budaya
Oleh karena itu, penelantaran para seniman
tulen kita seperti H Bodong dan Drs Suyadi seyogianya membunyikan alarm bahwa
bangsa kita sedang dalam keadaan darurat budaya. Jika keadaan ini terus
berlangsung, kita niscaya akan kian menjauh dari pencapaian cita-cita menjadi
bangsa berperadaban akbar.
Ini karena suatu bangsa yang budaya tingginya
tidak mampu bersanding hidup (co-exist) secara setara atau bahkan lebih tinggi
daripada budaya populer, hanya akan menjadi bangsa kerdil dengan akal budi
tumpul.
Jadi, kinilah saatnya bagi kita untuk
menyikapi kondisi darurat budaya itu dengan mulai merawat seniman-seniman
tinggi kita seperti H Bodong dan Drs Suyadi. Untuk itu, setidaknya ada dua cara
konkret.
Pertama, pemerintah pusat dan daerah harus
mengangkat seniman-seniman penghasil seni tinggi seperti H Bodong dan Drs
Suyadi sebagai seniman daerah (kasus H Bodong) atau seniman negara (kasus Drs
Suyadi).
Konsekuensinya, para seniman tersebut layak
mendapatkan gaji bulanan; tunjangan kesehatan; tunjangan persalinan; tunjangan
perumahan; tunjangan hari tua; tunjangan kematian; plus insentif tambahan untuk
merangsang mereka terus berkarya. Layaknya karyawan, segala tunjangan itu pun
berlaku bagi pasangan hidup mereka dan anak mereka sampai usia tertentu.
Kedua, supaya pemerintah bisa secara cermat
dan bertanggung jawab menyeleksi dan mengangkat ”seniman negara”, pemerintah
daerah dan pusat bisa menyerahkan tugas seleksi itu kepada dewan kesenian
daerah atau dewan kesenian nasional yang dibentuk pemerintah.
Dewan kesenian inilah yang menjalankan
semacam ”proses sertifikasi” berdasarkan kriteria-kriteria tertentu bagi para
calon seniman negara tersebut. Dengan mekanisme ini, tidak sembarang orang bisa
diangkat sebagai ”seniman negara”, sehingga penggunaan anggaran negara pun
dapat berjalan efektif.
Semoga dengan kedua solusi di atas, kita tak
akan lagi menyaksikan drama-drama tak perlu yang memiriskan hati sebagaimana
dialami H Bodong, Drs Suyadi, Ismail Marzuki, dan banyak lagi tokoh seni tinggi
di negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar