Mengurai Simpul Kerusuhan
Chusmeru; Dosen Jurusan
Ilmu Komunikasi FISIP Unsoed Purwokerto
SUMBER : SUARA
MERDEKA, 07 Mei 2012
KEKERASAN
dan anarki kembali terjadi di Solo (SM, 05/05/12). Kasus serupa, kendati
berbeda latar belakang terjadi di Mesuji Lampung, yakni kantor bupati dibakar
pengunjuk rasa. Kekerasan saat ini bukan hanya di jalanan melainkan juga bisa
terjadi di tempat hiburan malam, tempat ibadah, dan gedung pemerintahan. Sampai
kapan kekerasan di Tanah Air ini bisa berakhir?
Tak
mudah menjawabnya karena kekerasan di mana pun tidak pernah berdiri sendiri. Ia
senantiasa berada dalam ruang dan waktu. Bahkan agama yang dipandang sebagai
ruang bagi moralitas tak luput menjadi ladang kekerasan. Kampus dan sekolah
yang menjadi simbol kearifan dan kecerdasan juga bisa menjadi lahan tawuran.
Kerusuhan
biasanya berawal dari keresahan dalam kehidupan masyarakat. Berbeda dari
kerusuhan yang bersifat manifes dan aktual, keresahan lebih bersifat laten dan
potensial. Keresahan ibarat ranting kering pada musim kemarau, mudah terbakar
oleh percikan api. Sumber keresahan bisa bermacam-macam yang bermuara pada
konflik informal dan belum menemukan kanalisasi.
Keresahan
yang menjelma menjadi kerusuhan selalu mengakibatkan kerusakan. Memperbaiki
kerusakan fisik mudah dilakukan. Korban luka-luka juga segera bisa diobati.
Menangkap pelaku kerusuhan tidaklah sulit. Persoalan paling rumit justru
mencari dan menemukan sumber keresahan yang memicu kerusuhan.
Membedah
kerusuhan di Tanah Air bagaikan mengurai benang kusut. Tampaknya mudah, namun
rumit karena tak mudah menemukan simpulnya. Kerusuhan dan konflik tidak jauh
dari dimensi sosial politik dan ekonomi. Ada kekuasaan yang hendak diperebutkan
dan dipertahankan. Ada sumber ekonomi yang perlu dibagi untuk banyak orang,
tetapi dimonopoli.
Pesan
Menyejukkan
Aspek
sosial politik masih dipandang sebagai ruang bagi elite, sedangkan rakyat tetap
menjadi hamba sahaya mereka. Kekuasaan yang dipegang elite bukan untuk lebih
menyejahterakan kehidupan rakyat melainkan untuk membangun imperium birokrasi
yang sarat KKN. Rakyat yang tidak sabar menghadapi tiranisme seperti itu akan
melakukan perlawanan dalam bentuk kerusuhan.
Sumber-sumber
ekonomi yang mestinya bisa dinikmati banyak orang hanya menjadi kaveling
sedikit orang. Rakyat yang terimpit kesulitan ekonomi dihibur oleh proyek belas
kasihan pemerintah, semisal BLT. Proyek semacam itu pun tidak mudah lolos dari
perdebatan di DPR. Rakyat bingung dan sulit membedakan antara bantuan, niat
baik, belas kasihan, tebar pesona, dan konflik elite.
Jika
rakyat menumpahkan keresahan melalui kerusuhan maka elite politik ingin tampak
lebih santun, mengaktualisasikan keresahan dalam bentuk interpelasi atau
impeachment. Dalam kondisi resah diperlukan pesan-pesan komunikasi yang menyejukkan
(stroking message) untuk rakyat. Pesan itu bisa diperoleh dari ulama, tokoh
agama, atau cendekiawan. Mereka dipandang sebagai elemen pejaga roh kehidupan
rakyat, serta bebas dari kepentingan politik dan ekonomi.
Sayang,
elemen itu saat ini banyak yang tak lagi setia menjaga roh kehidupan. Mereka
bertebaran di DPR, departemen, perusahaan, dan di partai politik. Akibatnya,
pesan komunikasi yang mereka sampaikan tak lagi menyejukkan. Ucapan dan
tindakan mereka kadang justru meresahkan dan sarat kepentingan pribadi dan
kelompoknya.
Rakyat
yang senantiasa resah menanggung beban hidup akan mudah menjadi massa
periferal. Massa seperti itu gundah dan bingung, mudah dimobilisasi untuk
kepentingan elite. Ketika tokoh, ulama, dan cendekiawan tak lagi mampu memberi
kesejukan, dan para elite asyik berebut kekuasaan, kepada siapa dan dengan cara
apa lagi rakyat berharap mengatasi keresahan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar