Mendamaikan
Liberalisme dan Fundamentalisme Islam
Donny
Syofyan ; Dosen FIB Universitas Andalas
SUMBER
: KORAN
TEMPO, 25 Mei 2012
Irshad Manji, seorang penulis, feminis, dan
mengaku lesbian berkebangsaan Kanada, menjadi berita utama di pelbagai media
selama beberapa hari terakhir. Gelombang protes dipicu oleh organisasi Islam
yang membubarkan peluncuran buku terbarunya, Allah, Liberty and Love.
Pertama di Solo, dan kemudian di Salihara, Jakarta Selatan, dan terakhir juga
di Yogyakarta.
Lahir di Uganda, Manji dan keluarganya pindah
ke Kanada ketika ia berusia 4 tahun semasa pemerintahan Presiden Uganda Idi
Amin, yang memerintahkan pengusiran minoritas India atau Asia. Manji memulai
kariernya sebagai jurnalis, peneliti, dan aktivis di Kanada. Pada 2003, ia
menulis dan menerbitkan buku pertamanya, yang awalnya merupakan suratnya kepada
sesama muslim di seluruh dunia, The Trouble with Islam Today. Dalam buku
itu Manji menyatakan bahwa masalah pada umat Islam tidak hanya terletak pada
kelompok-kelompok militan, tetapi juga di mayoritas muslim yang telah mengubah
agama yang damai menjadi ideologi ketakutan.
The Trouble with Islam Today
menjadi best seller beberapa bulan setelah dirilis di Amerika Serikat.
Karena banyaknya isu-isu sensitif yang digadang-gadang dalam buku ini, Manji
mendapat respons keras dari umat Islam di seluruh dunia, namun pada saat yang
sama ia juga memperoleh pengakuan dari orang-orang yang memiliki pendapat
senada di berbagai negara. Dalam tahun-tahun berikutnya, buku ini sudah
diterjemahkan ke berbagai bahasa, dan Manji kemudian menerima ancaman
pembunuhan di banyak tempat. Dalam buku terbarunya, Allah, Liberty and Love,
Manji mencoba menjawab pertanyaan tentang bagaimana sikap defensif umat Islam
terhadap the others (yang lain) yang cenderung membawa persepsi negatif.
Sebetulnya, Manji ini bukanlah siapa-siapa
kecuali seorang yang berani menyuarakan pikiran liarnya secara lantang di
tengah konservatisme keislaman yang makin kuat. Kesarjanaannya tidak solid dan
impresif. Penguasaan terhadap materi kajiannya tidak cukup mendalam. Karyanya
menghiasi koran-koran, bukan jurnal; dibaca kalangan aktivis, bukan intelektual.
Ini sedikit bisa menjelaskan kenapa kontroversinya muncul dari ruang populer
semisal LSM, bukan dari kampus. Di Eropa dan Amerika, Manji lebih dianggap
sebagai selebritas ketimbang seorang akademisi hebat. Menurut saya, fenomena
Irshad Manji ini lagi-lagi terkait erat dengan tensi yang luar biasa antara
saudara-saudara kita dari kalangan muslim liberal dan fundamental, sesuatu yang
mengalami eskalasi dahsyat pascareformsi di republik ini. Di tengah suasana
yang penuh sesak napas ini, ada baiknya upaya-upaya rekonsiliasi di antara
keduanya terus dilakukan pada sejumlah hal.
Pertama, membangun kerja sama dalam perihal
akhlak. Kedua kelompok ini selalu bersitegang dalam ihwal akidah dan ibadah,
dua hal yang amat fundamental. Alih-alih menghabiskan energi dan waktu karena
kuatnya resistensi dan klaim dalam dua hal tersebut, kenapa kedua belah pihak
tidak bersinergi dalam isu-isu yang lebih besar, semisal penegakan keadilan,
persoalan pendidikan, perang terhadap korupsi, atau pengurangan kemiskinan?
Saya percaya bahwa upaya-upaya kerja sama
seperti ini bakal meminimalkan prasangka di antara kedua belah pihak. Dalam
konteks yang lebih luas, pendekatan seperti ini merupakan resep jitu guna
mendekatkan Islam dan Barat, yang selama ini selalu dihiasi dengan kecurigaan
satu sama lain. Ada baiknya kita merujuk kepada pesan Buya Hamka (almarhum)
yang menyatakan bahwa Timur tak bermakna tanpa Barat, begitu pula sebaliknya.
Pernyataan ini sangat fungsional untuk meraih harmonisasi di antara kedua belah
pihak, tanpa ada lagi klaim-klaim kebenaran sepihak.
Kedua, media massa perlu memposisikan diri
sebagai jembatan perantara rekonsiliasi, dan bukannya turut memanas-manaskan
suasana, sehingga yang muncul adalah wacana subyektivitas dengan membela
kelompok tertentu seraya pada saat yang sama memojokkan kelompok lainnya.
Obyektivitas media sangat diperlukan guna meredakan ketegangan yang dewasa ini
sangat dominan antara kelompok muslim liberal dan muslim fundamental. Media
massa, terutama yang dimiliki dua kelompok yang saling berseberangan ini, bisa
berperan menyejukkan suasana dengan berbagi data dan fakta di lapangan.
Keberhasilan ini bisa menjadi semacam proyek
percontohan bahwa, di Indonesia, media-media yang dikuasai oleh kubu Islam yang
berbeda bisa menjaga keseimbangan yang indah antara kebebasan dan tanggung
jawab; antara keterbukaan dan keterkendalian. Dalam skala lebih luas, kerja
sama dan harmonisasi antara media massa tersebut bakal berperan menghapus terma
Islam fundamental dan Islam liberal secara perlahan. Bayangkan! Alangkah
damainya bila suatu saat Ulil Abshar Abdalla dari Jaringan Islam Liberal (JIL)
bisa duduk mesra dan saling menghormati dengan Habib Muhammad Rizieq dari Front
Pembela Islam (FPI). Ini bisa dilakukan berkat media massa.
Ketiga, sinkronisasi lembaga pendidikan.
Sebetulnya lembaga pendidikan, terutama perguruan tinggi, dapat memainkan peran
strategis dan andalnya dalam menjembatani ketimpangan di antara kedua belah
kubu. Sebagai misal, ini bisa dimulai dengan penguatan kurikulum yang
memberikan bobot pada sirah Nabawiyyah (perjalanan kenabian Muhammad
SAW) tentang kedigdayaan Rasulullah membangun perdamaian dengan Yahudi lewat
Piagam Madinah (mitsaqul Madinah), apalagi masih sesama umat Islam. Hal
lain yang telah dan perlu terus dilakukan adalah tukar-menukar tokoh dan
sarjana lewat program scholar exchange and visiting fellows dari kedua
belah pihak tanpa adanya sabotase.
Lembaga pendidikan seyogianya adalah buffer
terakhir yang menjelaskan ihwal perbedaan dan dinamika mozaik dan khazanah
berpikir, terlepas apakah dari gagasan liberalisme ataupun fundamentalisme
Islam. Karenanya, sangat disayangkan bahwa kekerasan kemudian merasuki dunia
perguruan tinggi. Dalam kasus Irshad Manji, misalnya, seharusnya semua pihak
perlu menyampaikan ketidaksetujuan terhadap pemikirannya secara intelektual.
Kedatangan Irshad Manji justru seharusnya dimanfaatkan untuk menunjukkan kritik
terhadap kesalahan berpikirnya. Kalau belum-belum sudah ditolak, bagaimana
diskusi dan tujuan untuk meluruskan pemikiran dia bisa dilakukan? Lembaga
pendidikan harus tetap berkomitmen bahwa kekerasan tak boleh membombardir
Islam. Kekerasan adalah penumpang gelap yang kerap membajak Islam, sehingga
logika kekuatan telah menundukkan kekuatan logika. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar