Dulu P-4, Kini 4-P
Masdar Farid Mas’udi, Rois
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama;
Penulis
Buku Syarah Konstitusi: UUD 1945 dalam Perspektif Islam
SUMBER : KOMPAS, 05 April 2012
Di era Orba kita disuguhi mantra P-4, Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Kini di Era Reformasi kita disuguhi
mantra lain: 4-P.
Adalah Bung Taufiq Kiemas, Ketua MPR, bersama
jajarannya yang berjasa memopulerkan 4-P, ”empat
pilar”, untuk hidup bernegara dan berbangsa kita. Disebut memopulerkan
karena ”barang”-nya sudah ada sejak
lama: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam dunia dagang,
memopulerkan produk tidak kalah penting dengan menciptakannya.
Momentumlah yang menakdirkan konsep 4-P perlu
dikampanyekan. Seperti kita tahu, sejak Era Reformasi sebagai antitesis Orba,
popularitas Pancasila dan UUD 1945 jatuh terpuruk. Bukan karena bangsa ini
hendak mengingkarinya, melainkan karena bosan selama Orba terus-menerus
diceramahi dengan P-4.
Waktu terus bergerak maju. Ternyata derap
reformasi berjalan sekenanya. Korupsi dan kolusi yang semula dikutuk habis
bukannya menghilang, malah semakin jor-joran: pundi-pundi pajak diembat,
kekayaan negara dijarah, dan aset bangsa diobral kepada pihak asing. Sementara
itu, rakyat jelata dibiarkan semakin tenggelam dalam sengsara lama.
Kita pun kembali tercenung dan bertanya-tanya
jengkel. Sesungguhnya bangsa ini oleh para petinggi dan elitenya dipandang
sebagai apa dan hendak dibawa ke mana?
Ibarat rumah, Indonesia Raya tidak mungkin
berdiri sempurna hanya dengan 4-P. Sekokoh apa pun 4-P itu. Di antara
pilar-pilar yang empat, mesti ada anak-anak pilar atau tiang-tiang pendukung,
ada dinding dan tembok yang memagari dan melindungi segenap penghuninya. Juga
musti ada atap yang kokoh dan antibocor. Harus ada lantai yang lebar plus
perabot rumah tangga yang lengkap. Bahkan, kebun dan taman di sekelilingnya
yang luas dan tertata indah.
Pilar-pilar pembantu plus semua perangkat
rumah Indonesia yang kokoh, indah, dan membahagiakan segenap rakyatnya: itulah
pengamalan dari empat pilar utama. Semakin sempurna pengamalan 4-P, semakin
sempurna pulalah rumah Indonesia. Pada gilirannya semakin berbahagia pula
segenap rakyat yang menghuni dan memilikinya.
4-P yang Merana
Namun, pengamalan 4-P sebagai ajaran luhur
bangsa itulah yang sampai kini tetap belum jelas sosoknya. Alih-alih
mengamalkan sebaik-baiknya, justru semakin banyak pihak yang sengaja
menggerogoti pilar-pilar yang empat itu. Mari kita lihat satu per satu!
Pertama adalah pilar Pancasila. Sepantasnya
lima sila yang terumus sederhana itu tetap melekat dalam ingatan setiap kita.
Nyatanya semakin banyak di antara anak bangsa, bahkan pejabat negara, tokoh
masyarakat, apalagi warga biasa yang tidak lagi mengingat kalimat-kalimatnya.
Di kalangan komunitas tertentu, sila-sila
Pancasila malah hendak diganti substansinya: ”Allah Tujuanku, Al-Qur’an Konstitusiku, Muhammad Imamku, Jihad Jalanku,
dan Syahid Puncak Impianku”. Adalah hak mereka untuk mengambil lima sila
tersebut sebagai acuan hidup internalnya. Namun, menyodorkannya sebagai
alternatif Pancasila untuk hidup berbangsa dan bernegara Indonesia yang bineka
adalah hal yang berbeda.
Di pihak lain, dalam kehidupan sehari-hari,
sila Ketuhanan Yang Maha Esa praktis sudah diganti menjadi ”Keuangan Yang Mahakuasa”. Buktinya, di
negeri ini nyaris segalanya bisa ditundukkan oleh uang, uang, dan uang. Di
ranah legislatif, yudikatif, eksekutif, bahkan pada masyarakat umum berlaku
dalil ”ada uang, segalanya bisa
dibereskan”.
Kemudian pilar ”Bhinneka Tunggal Ika”. Pilar ini pun semakin rawan kondisinya.
Berbagai konflik dan kebencian antara kelompok etnisitas, politik, budaya, dan
kepentingan semakin gampang tersulut hanya oleh perkara sepele.
Tidak kalah serius ialah konflik sektarian,
terutama di kalangan umat Islam sebagai mayoritas bangsa. Adalah hak setiap
umat memeluk habis keyakinannya. Akan tetapi, menjadikan perbedaan agama atau
keyakinan sebagai alasan untuk saling membenci dan menafikan sesama sungguh
tidak bisa diterima.
Juga pilar ketiga, ”Negara Kesatuan Republik Indonesia” alias NKRI. Tuntutan otonomi
daerah yang overdosis, bahkan gelagat separatisme yang berlarut-larut tanpa
penyelesaian, juga semakin mengancam bangunan negara kesatuan kita.
Sejatinya otonomi an sich bukan masalah.
Bahkan, afdal apabila tujuannya mempercepat keadilan dan kemakmuran masyarakat
luas, terutama di lapis bawah yang terpencil dan jauh dari pusat. Namun, jika
yang terjadi dengan otonomi daerah adalah egoisme daerah, bahkan egoisme para
pejabat dan elitenya untuk bebas mengorupsi uang negara, persoalannya menjadi
lain sama sekali.
Ancaman terhadap integritas NKRI juga datang
dari gerakan ideologi subversif lama: NII, Negara Islam Indonesia. Jika di
zaman Orba gerakan ini sembunyi-sembunyi, di Era Reformasi ini mereka dibiarkan
tampil secara terbuka, bahkan bisa pamer kekuatan di jalan-jalan protokol Ibu
Kota.
Terakhir, pilar UUD 1945. Selain pasal-pasal
perihal bagi-bagi kekuasaan dan anggaran, UUD kita sedikit sekali yang
diamalkan. Paling telantar adalah pasal-pasal perlindungan hak-hak rakyat
banyak, baik sosial, ekonomi, maupun lingkungan.
Sudah lama di kalangan masyarakat UUD kita
dipelesetkan menjadi ”ujung-ujungnya duit”
untuk menyindir perilaku pejabat publik di semua lini, khususnya ketika
berhubungan dengan masyarakat.
Di pihak lain, pada tataran normatif, ada
persoalan amandemen. Sesungguhnya amandemen per se boleh-boleh saja. Bahkan, Al
Quran pun mengenal amandemen (nasakh)
untuk hal-hal yang bersifat teknis operasional demi lebih mempercepat
tercapainya tujuan, goal, ghoyah.
Tujuan bernegara kita terang: ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Amandemen konstitusi yang jelas-jelas menjauhkan kita dari
tujuan, terutama yang menggampangkan penjarahan aset bangsa oleh pihak asing,
jelas haram dan harus ditolak. Sebaliknya, yang bisa mempercepat tujuan tentu
tidak ada masalah, bahkan bisa sunah sampai dengan wajib.
Pemimpin Berkarakter
Sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa telah
menganugerahkan segalanya kepada bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita
luhurnya, yakni ”tanah air yang begitu
luas nan gemah ripah loh jinawi” sebagai perangkat kerasnya plus doktrin ”empat pilar” sebagai perangkat lunaknya.
Yang belum kita miliki sampai hari ini hanya
satu: ”Pemimpin yang berkarakter,
visioner, kuat, dan amanah yang mampu menyuguhkan keteladanan luhur kepada
rakyat bagaimana mengamalkan 4-P dalam kehidupan nyata”.
Atau, empat pilar itu dibiarkan teronggok
sepi sendirian dan rumah Indonesia Raya yang megah dan berwibawa hanya tinggal
khayalan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar