Rabu, 07 Maret 2012

Matahari Kembar Pemerintahan Daerah


Matahari Kembar Pemerintahan Daerah
Teuku Kemal Pasya, DOSEN ANTROPOLOGI DI UNIVERSITAS MALIKUSSALEH, LHOKSEUMAWE
SUMBER : SINAR HARAPAN, 7 Maret 2012



Gerakan reformasi 1998 telah berhasil mengecilkan sentralisme dan arogansi pusat dalam mengurus daerah.Filosofi desentralisasi adalah memperkuat kemandirian pemerintahan daerah, di mana pada masa Orde Baru kepala daerah nyaris seperti karyawan yang diperbantukan pusat: tanpa improvisasi, kreativitas, dan inovasi.
Gagasan desentralisasi juga dimajukan untuk mencegah terpecahnya NKRI. Ketika bangunan kekuasaan Soeharto runtuh, publik menyaksikan dengan telanjang aneka gerakan separatisme yang timbul akibat Jakarta salah urus daerah.

Di samping itu, desentralisasi juga untuk mengurangi beban wewenang pusat melalui pendelegasian hampir sebagian besar kewenangan daerah, plus mempraktikkan demokrasi lokal.

Meskipun demikian, tidak semua idealisme mampu terpenuhi. Ide pembentukan wilayah administrasi baru demi mengefektifkan rentang kendali birokrasi dan pelayanan telah berubah menjadi politik pemekaran penuh nafsu kekuasaan.

Demikian juga, efek negatif otonomi daerah telah mendidik kepala daerah untuk menjadi raja-raja lokal yang keras kepala, egois, dan tak bertanggung jawab, baik kepada pusat maupun masyarakat.

Terakhir, simptom negatif otonomi daerah juga disumbangkan oleh sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung yang telah menyebabkan instabilitas pemerintahan daerah. Kasus mundurnya Wakil Gubernur Jakarta Prijanto dan Wakil Bupati Garut Dicky Chandra menjadi contoh sistem pilkada tak kunjung menghasilkan pemerintahan daerah yang solid.

Harmonis di Awal

Gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota adalah pasangan harmonis pada masa kampanye dan pilkada. Senyum pasangan kepala daerah itu mengembang dalam poster-poster kampanye dan baliho, dan menjadi semakin masam ketika bertugas.

Pasangan kepala daerah hanya menjadi duet strategis pada dua tahun pertama masa pemerintahan, setelah itu biasanya mulai ditumbuhi konflik dan rivalitas.

Pemandangan ini menjadi pengalaman yang jamak ditemukan di banyak daerah. Di Aceh sendiri, dari beberapa hasil penelitian demokrasi, menunjukkan lebih 70 persen pasangan kepala daerah menjadi “pasangan cerai” dan selalu bertengkar. Pertengkaran itu bahkan menjadi perbincangan publik dan bukan hanya diketahui internal pemerintahan.

Dari wawancara dengan seorang bupati di Aceh yang pernah meminta mundur, saya mendapatkan informasi bahwa ada dua hal yang menjadi sumbu konflik antara kepala dan wakil kepala daerah, yaitu ketika terjadi penempatan pejabat dan urusan pengelolaan proyek.

Hal ini juga biasanya ditambah dengan adanya tim kerja masing-masing yang membangun informasi negatif sehingga hubungan mereka semakin memburuk.

Aura negatif pemerintahan daerah itu seperti menunggu hari-hari tanpa makna hingga masa pilkada kembali tiba. Untuk periode Pilkada 2012, di Aceh hampir semua pasangan incumbent tidak lagi maju bersama.

Mereka akhirnya berpisah di ujung jalan dan memilih kendaraan politik masing-masing, baik melalui partai politik atau meminang partai politik lain, dan juga melalui jalur perseorangan.

Reformasi Setengah Sistemik

Sebenarnya konflik ini telah disadari oleh Kementerian Dalam Negeri. Sejak UU No 32/2004 diberlakukan, ditemukan banyak sekali kelemahan sistemik duet kepala daerah. Itu kemudian diantisipasi melalui amendemen undang-undang pemerintahan daerah yang mengatur tugas pokok dan fungsi (tupoksi) wakil kepala daerah.

Dalam Pasal 26 UU No 12/2008 disebutkan secara tegas peran wakil kepala daerah, di antaranya fungsi pengawasan pembangunan, bidang pemberdayaan perempuan dan pemuda, dan mengupayakan pengembangan serta pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup. Wakil kepala daerah hanya akan memiliki fungsi kepala daerah jika ada kesepakatan khusus atau kepala daerah sedang berhalangan.

Namun ternyata aturan normatif itu tidak juga berjalan efektif. Praktik politik lebih mengemuka dibandingkan menyesuaikan diri pada regulasi dan perundang-undangan. Dari pengalaman di lapangan diketahui konflik pasangan kepala daerah mudah terjadi jika di antara mereka memiliki basis politik yang tidak tunggal.

Koalisi partai yang mengusung duet kepala daerah itu hanya menjadi koalisi taktis dan bukan koalisi ideologis yang permanen. Konflik juga semakin bernyala jika basis politik partnernya lebih besar di parlemen.

Tak urung kepala daerah itu digoyang oleh politisasi partnernya yang berkonspirasi dengan basis politik di DPRD/K, termasuk melakukan mobilisasi massa untuk memperkeruh suasana.

Kekisruhan ini jelas membawa pengaruh buruk bagi demokrasi lokal. Idiom demokrasi lokal tidak dapat diintroduksi dengan hanya mengandalkan lembaga-lembaga lokal (termasuk lembaga adat) dan akar rumput saja.

Karena dalam banyak hal, terutama di era modern ini, lembaga formal negara, seperti bupati memiliki kekuasaan yang besar mengatur aset dan kekayaan daerah, termasuk kewenangan regulasi untuk menentukan kebijakan daerah.

Solusi

Belajar dari pengalaman itu, sudah harus dipikirkan untuk menghilangkan adanya raja kembar dalam pemerintahan daerah. Satu raja saja sudah cukup membuat iklim birokasi menjadi kerepotan, apalagi dua. Semakin sering rivalitas keduanya dalam perang birokrasi, semakin membangkrutkan daerah dan sepi dari pembangunan yang berkelanjutan.

Pemerintah perlu memikirkan untuk membuat undang-undang pemerintahan daerah baru yang mengatur bahwa sistem pilkada hanya untuk memilih gubernur/bupati/wali kota. Peran wakil hanya akan ditentukan ketika sang kepala daerah terpilih, apakah ia memerlukan sebagai sistem pendukung birokrasi atau tidak.

Jika kepala daerah menganggap keberadaan sekretaris daerah dan satuan kegiatan perangkat daerah (SKPD) telah cukup, maka tidak diperlukan lagi penambahan jabatan wakil yang juga akan berimplikasi pada anggaran. Logika efisiensi harus dipikirkan dengan pertimbangan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dan banyak.

Kepala daerah tidak memerlukan citra atau gincu lebih banyak lagi di pemerintahannya hanya dengan menambah posisi wakil. Cukuplah ia sendiri secara kesatria menanggung hasil pembangunan daerahnya, tanpa perlu mencari-cari kesalahan dari wakil atau sebaliknya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar