Jumat, 03 Februari 2012

Ukhuwah dan Keterbukaan


Ukhuwah dan Keterbukaan
Kholili Hasib, ALUMNUS PROGRAM KADERISASI ULAMA (PKU), PESANTREN GONTOR PONOROGO
Sumber : REPUBLIKA, 3 Februari 2012


Polemik tentang Syiah seperti yang dimuat beberapa kali di Harian Republika--menunjukkan bahwa penyelesaian masalah Sunnah-Syiah di Indonesia merupakan masalah yang penting. Karena itu, masalah ini menagih solusi secepatnya. Masing-masing pihak perlu menunjukkan sikap keterbukaan dan kejujuran. Polemik Haidar Bagir, Muhammad Baharun, dan Fahmi Salim, belum sepenuhnya menjernihkan masalah, bahkan penulis khawatir memunculkan lagi polemik-polemik yang tidak berkesudahan.

Perlu dipahami dalam masalah ini tampak ada cara pandang yang berbeda dalam melihat realitas. Misalnya, dalam hal isu tahrif (distorsi) Alquran. Jelas dalam masalah ini ada pandangan yang bebeda antara Muslim Sunni dan Syiah. Bagi kaum Syiah, isu tahrif Alquran sudah biasa. Ini tidak perlu disembunyikan karena banyaknya literatur Syiah yang menyebutkan hal itu sebagaimana dipaparkan oleh Baharun dan Fahmi Salim dan berbagai literatur Syiah yang dianggap otoritatif oleh kaum Syiah.

Bahwa ada sebagian kaum Syiah yang menyatakan, tidak adanya tahrif dalam Alquran, itu juga fakta. Terlepas dari apakah itu dilakukan untuk taqiyyah (menutup keyakinan di tengah pemeluk mayoritas) atau tidak.
Pada 2005, penulis pernah melakukan penelitian langsung ke sebuah pesantren di Jawa Timur yang dinilai menjadi salah satu pusat pengaderan penganut Syiah di Indonesia.

Seorang ustaz yang penulis temui menyatakan bahwa Syiah meyakini adanya konsep tahrif dalam Alquran. Tetapi, ketika digali terus, ia mengaku akan menerbitkan buku tentang ayat-ayat Alquran yang ia katakan hilang. Namun, ide tersebut, menurut pengakuannya, dicegah kawan-kawannya karena dikhawatirkan akan menimbulkan kisruh di kota tersebut.

Duduk Persoalan

Di tengah-tengah diskusi, ia juga melontarkan argumentasi seperti yang ditulis Haidar Bagir di Republika (20/1/2012) dan pada (27/1/2012). Bahwa, kalangan ulama Sunni juga mengakui adanya ayat-ayat Alquran yang disebut hilang itu. Ayat-ayat yang berbau tahrif dinukil dari kitab al-Itqon karya al-Suyuthi dan Shahih Bukhari bab “Syahadah“.

Inilah duduk persoalannya. Haidar Bagir dan kaum Syiah lainnya memahami hadis-hadis dalam literatur Muslim Sunni tersebut sebagai tahrif Alquran.
Padahal, para ulama Sunni sudah membahas masalah ini dengan sangat jelas. Bahwa, hadis-hadis itu tidak menunjukkan tahrif Alquran, tetapi di situ ada konsep nasikh-mansukh, yang hanya terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW. Tidak ada ulama Sunni yang mengatakan adanya tahrif dalam Alquran. Saya kira jawaban Fahmi Salim sudah cukup.

Di sini perlu dibedakan antara tahrif dan nasikh-mansukh. Sebab, tampak Haidar Bagir merancukan kedua konsep ini. Dalam konsep nasikh-mansukh, ayatayat yang di-mansukh, baik dari segi hukum maupun bacaannya, dihapus dalam mushaf Alquran, bukan atas inisiatif manusia, akan tetapi semata-mata kehendak Allah yang menurunkan Al quran, melalui Nabi-Nya, Muhammad SAW. Jadi, yang menghilangkan ayat-ayat itu adalah Allah.

Sedangkan tahrif berarti adanya perubahan terhadap teks Al quran yang dilakukan oleh ma nusia sepeninggal Nabi Muham mad SAW. Biasanya, ini    dituduhkan kepada sebagian sahabat Na bi SAW. Konsep tahrif ini, sebagaimana diuraikan oleh penulis sebelumnya, sudah sangat biasa dijumpai dalam literatur-literatur Syiah. Dalam literatur Syiah, dari sekian banyak ulama mutaqaddimin, hanya ada tiga ulama yang berpendapat tidak adanya tahrif dalam Alquran, yaitu al-Shaduq, al-Murtadha, dan al-Thabarsi sebagaimana dikemukakan oleh Ni’matullah al-Jazairi dalam alAnwar al-Nu’maniyyah juz II ha laman 246.

Hanya, menurut al-Jazairi sen diri, ketiga ulama Syiah yang mengatakan tidak adanya tahrif dalam Alquran tersebut sedang ber-taqiyyah. Artinya, sebenar nya ketiga orang ulama tersebut juga meyakini adanya tahrif da lam Alquran. Dan memang, ke yakinan tahrif itu telah menjadi perkara yang aksiomatis di ka langan Syiah. Imam Khomeini sen diri, yang ditulis oleh Haidar Ba gir tidak meyakini tahrif, ternyata dalam bukunya berjudul al-Qur’an Bab Ma’rifat Allah, ha laman 50 meyakini tahrif.

Di dalam kitab Al-Kafi terdapat petunjuk anjuran untuk bertaqiyyah dalam soal isu tahrif Alquran ini. Dalam kitab tersebut (juz II) dikemukakan bahwa suatu kali Abu Abdillah, Imam Syi ah, ditanya pengikutnya, “Wahai Abu Abdillah, saya mendengar bacaan Alquran orang-orang di sana yang tidak sama dengan bacaan yang kami baca. Sang Imam lantas menganjurkan untuk memakai bacaan orang-orang (bacaan Al quran kaum Mus li min), tetapi dalam hati yakin kelak di hari kiamat Imam terakhir akan membawa Alquran yang asli.”

Tentu, patut disyukuri jika konsep tahrif Alquran itu benar-benar sudah ditinggalkan kaum Syiah, bukan sekadar taqiyyah. Dan, kaum Muslimin semua menunggu kejujuran, bukan sekadar taqiyyah. Juga, tidak sepatutnya pihak Syiah memaksakan konsep tahrif itu pada kaum Sunni. Sedangkan, kaum Sunni sediri sejak dulu hingga kini menolak adanya tahrif dalam Alquran.

Akhirnya, penulis mengajak kaum Syiah dan Ahlu Sunnah untuk ‘menyimpan’ polemik tentang hal-hal yang sudah berlangsung selama ribuan tahun. Kemudian, kita semua kembali ke pokok masalah untuk menciptakan kerukunan Ahlusunnah dan Syiah, sebagaimana yang ditawarkan dalam Jurnal Islamia     Republika (19/1/2012).

Konsep itu juga disetujui Haidar Bagir dalam artikelnya (20/1/ 2012). Yaitu, untuk menciptakan kerukunan di Indonesia, kaum Syiah bersedia membuang ambisi nya untuk men-Syiahkan Indonesia dan meninggalkan caci-maki kepada sahabat-sahabat dan istri Nabi Muhammad SAW. Dengan itu, kita semua bisa mengkon entrasikan diri untuk bekerja keras membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa Muslim yang kuat dan terhormat. Amin. Wallahu a’lam bish shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar